Dubes RI: "Indonesia Harus Masuk Peta Pemikiran Jerman"
13 November 2018Kamar Dagang dan Industri Jerman IHK di Bonn menggelar "Indonesien-Tag" 12 November lalu untuk mempromosikan perdagangan Indonesia-Jerman. Tapi Indonesia masih kalah dari negara-negara tetangganya di ASEAN dan belum memanfaatkan peluang menembus pasar Jerman. Mengapa? DW sempat berbicara dengan Duta Besar RI di Jerman, Arif Havas Oegroseno, di sela-sela acara Indonesien-Tag di Bonn.
DW: Apa yang diharapkan Indonesia dari Jerman, atau tepatnya pasar Jerman?
Havas Oegroseno: Dalam perdagangan dengan Jerman, Indonesia sekarang hanya ranking 5 di ASEAN. Jadi kita hanya pada volume sekitar 5,7 miliar dolar AS. Itu sebenarnya sedikit sekali, karena Indonesia negara besar, punya banyak sumber daya dan sektor manufaktur juga sudah mulai naik. Tapi mengapa kalah dengan negara-negara tetangga kita di ASEAN? Vietnam ada di peringkat 4, Thailand nomor 3, Singapura 2 dan Malaysia nomor 1. Malaysia itu volume perdagangannya (dengan Jerman) 12,2 miliar dolar AS.
Nah, jadi dalam 7 bulan terakhir ini saya melakukan assessment, bagaimana caranya meningkatkan perdagangan Indonesia-Jerman itu menjadi 15,5 miliar dolar dalam waktu 10 tahun. Saya memang pakai angka yang sangat ambisius, sebab memang harus dibuat target dengan angka yang. Karena biasanya kita hanya bicara (hal yang) terlalu umum, jadi tidak ada yang bisa dinilai. Karena itu, saya hadir hari ini dalam acara IHK, sebagai bagian dari upaya untuk melihat ke berbagai kawasan Jerman, apa yang bisa kita lakukan untuk penetrasi pasar.
Kalau kita lihat produk-produk yang bisa ditawarkan Indonesia untuk Jerman dan Eropa, kira-kira apa yang diprioritaskan lebih dulu? Apa yang gampang menembus pasar?
Sebenarnya manufacturing, spare parts misalnya. Kita terlalu terlena dengan Jepang. Sehingga hampir semua industri spare parts kita itu larinya ke mobil Jepang. Padahal di Eropa, di Jerman, jumlah pabrik sudah turun. Mereka pindah lokasi. Tapi di negara Uni Eropa lain pun, jumlah pabriknya juga turun. Jadi mereka membutuhkan itu…
..dan Indonesia punya kapasitas untuk menghasilkan spare parts dengan standar kualitas yang dituntut..?
Ada. Kemampuan itu ada. Dan yang menarik, ternyata di Indonesia sekarang ada banyak sekali UKM (Usaha Kecil – Menengah) yang bisa misalnya mensuplai untuk Airbus, tapi tidak punya akses ke pasar, tidak punya kontak di Eropa.
Jadi, kita tidak hanya ingin menghasilkan tenaga engineering, hanya menghasilkan insinyur di Airbus, tapi kita juga ingin masuk ke supplying Airbus, memasok small parts untuk mereka. Dan di industri dirgantara saat ini, tidak semua yang dipasok itu barang baru, banyak juga yang refurbished (barang yang dikembalikan dan diperbaiki lagi), karena kebutuhan sangat tinggi.
Nah, ini sebenarnya peluang besar yang tidak atau belum kita gunakan. Jadi saya tidak terlalu menitikberatkan pada komoditas, karena komoditas itu juga banyak faktornya, bahkan faktor domestik juga berpengaruh.
Misalnya kopi. Ekspor kopi arabica dari Indonesia ke Jerman itu malah turun, karena lebih banyak dijual di Indonesia. Pertumbuhan coffee shops di Indonesia itu 800 persen. Kan sekarang itu lagi nge-trend. Ada banyak coffee tasting. It is our new culture..
Jadi kalau pun saya setengah mati berusaha mempromosikan kopi Indonesia di sini, kalau ternyata ekspornya turun karena pasar domestik lebih menarik, ya bagaimana? Jadi saya mau masuk ke manufacturing.
Apa Indonesia melakukan riset pasar, atau punya data-data yang cukup tentang pasar di Jerman dan peluangnya?
Temporer sudah saya lakukan, tapi saya tidak puas. Jadi saya ingin melakukan lagi yang lebih dalam tahun depan. Sebenarnya untuk pasar Jerman, sederhananya barang-barang bisa kita bagi dua saja, barang komoditi, seperti ikan, kopi, minyak sawit, dan barang non komoditas. Nah, yang non-komoditas ini yang ingin saya galakkan. Dan juga bidang digital, kerjasama di bidang teknologi informasi, dengan anak-anak muda kita, misalnya pengembangan aplikasi. Tapi ini kan masuknya ke bidang jasa, bukan trading.
Jadi fokus saya ke manufaktur. Dan barang kita yang belum masuk (ke Jerman), dan itu punya potensi yang sangat besar, adalah spare parts mobil dan manufaktur yang lain. Padahal ekologi spare parts mobil itu di Indonesia sudah ada. Pendidikan kejuruan, SMK-nya, semua sudah ada. Bahkan perusahaan besar seperti MAN, Mercedes, mereka mengirim sendiri tenaga kerjanya untuk dilatih di sini. Mereka tahu apa yang mereka butuhkan.
Tapi karena kebanyakan mobil di Indonesia itu mobil Jepang, sampai sekarang spare parts lari ke sana. Padahal, bahwa di Indonesia tidak banyak mobil Eropa, bukan berarti kita tidak bisa memasok, mengekspor ke Eropa. Jadi kita juga harus perluas wawasan kita.
Indonesia tahun 2020 akan menjadi Partner Country untuk Pameran Industri Hannover Messe. Apa yang akan, apa yang ingin dipresentasikan Indonesia dalam pameran industri terbesar dunia ini?
Tujuan utamanya tentunya adalah: Kita ingin Indonesia itu masuk dalam peta pemikiran strategis orang Jerman. Karena Hannover Messe akan dikunjungi sekitar seperempat juta orang. Ini trade fair yang terbesar di dunia untuk bidang industri. Jadi punya arti yang sangat signifikan.
Dari sisi elemennya sendiri, kita ingin menunjukkan otomasi Indonesia, otomasi di bidang otomotif, di bidang industri makanan, dan bidang-bidang lain. Jadi kita mottonya: "Indonesia Making 4.0". Kita memang belum 4.0, tapi kita menuju 4.0. Jadi klop sekali dengan Jerman, yang sudah ada di industri 4.0.
Nah, ini akan kita jadikan kesempatan baik, agar Indonesia ada dalam pemikiran strategis orang Jerman. Tahun depan, kita akan membuat kegiatan-kegiatan di Indonesia dan juga di Jerman, sebagai warm up. Saya minggu lalu sudah bertemu dengan CEO Deutsche Messe di Hannover, dan kita juga nanti akan melakukan internal exercise, supaya kita bisa memanfaatkan ajang Hannover Messe 2020 dengan baik.
*Wawancara untuk DW dilakukan oleh Hendra Pasuhuk