Abdul Rasheed, seorang warga Pakistan pendukung Taliban berusia 22 tahun, tewas di Afganistan awal bulan ini. Ratusan orang menghadiri pemakamannya dengan meneriakkan slogan-slogan pro-Taliban.
Iklan
Baru-baru ini video warga Pakistan yang menunjukkan dukungan terhadap Taliban dalam aksi-aksi unjuk rasa beredar di sosial media. Hal ini terjadi di tengah cepatnya ekspansi Taliban jelang penarikan penuh pasukan AS dari Afganistan pada September mendatang.
Tidak hanya meneriakkan slogan-slogan Islamis, warga juga membawa bendera Taliban dalam aksinya. Selain itu, beberapa ulama di berbagai daerah juga meminta dukungan untuk Taliban Afganistan dan menyerukan pengumpulan donasi bagi mereka.
Kepada DW, banyak penduduk lokal dan saksi mata di Kota Quetta dan Distrik Pishin di provinsi Balochistan yang mengakui bahwa telah terjadi peningkatan aktivitas pro-Taliban di daerah mereka.
"Taliban menerima dukungan di daerah kami, tetapi aksi unjuk rasa tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan dari otoritas negara,” kata seorang penduduk yang tidak ingin disebutkan namanya. "Awalnya, para ulama meminta sumbangan untuk Taliban Afganistan di masjid-masjid; sekarang mereka datang dari pintu ke pintu, mengumpulkan dana untuk ‘jihad Afganistan',” tambahnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Mohsin Dawar, seorang anggota parlemen oposisi di Pakistan. Ia mengatakan bahwa "Taliban masih terus bebas berkeliaran di berbagai wilayah Pakistan, termasuk Quetta.” "Dan ini tidak mungkin terjadi tanpa dukungan negara.”
Merespons hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Pakistan, Zahid Hafeez Chuadhary, mengatakan bahwa laporan tentang aksi unjuk rasa pro-Taliban dan seruan permintaan sumbangan sebagai laporan tidak berdasar. "Tuduhan itu tidak berdasar. Tidak ada hal seperti itu yang terjadi,” katanya kepada DW.
‘Pemakaman Taliban' di Pakistan
Pengaruh Taliban di Pakistan juga mendorong para Islamis Pakistan untuk ikut berperang bersama Taliban. Dalam beberapa bulan terakhir, puluhan dari mereka dilaporkan tewas saat berperang melawan pasukan Afganistan, demikian menurut sumber-sumber lokal. Pengumuman dan iklan terkait upacara peringatan bagi mereka yang tewas pun beredar di sosial media.
Seperti di pemakaman Abdul Rasheed, seorang pendukung Taliban berusia 22 tahun, yang tewas di Nangarhar, Afganistan pada awal bulan ini. Muncul laporan bahwa banyak simpatisan meneriakkan slogan-slogan pro-Taliban di pemakamannya, dan ratusan orang mendatangi keluarganya untuk memberi selamat atas "kemartiran” Rasheed.
Pasukan AS Pulang, Afganistan Tertimbun di Bawah Sampah Amerika
Pangkalan Udara Bagram jadi markas besar pasukan AS di Afganistan selama hampir 20 tahun. Markas militer itu telah kosong sejak musim semi dan meninggalkan berton-ton sampah.
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
Rongsokan sejauh mata memandang
Sejarawan mungkin memperdebatkan peninggalan misi politik AS di Afganistan. Tetapi peninggalan fisiknya terlihat jelas dalam bentuk rongsokan dan sampah dalam jumlah besar. Angkatan Darat AS akan ditarik sepenuhnya dari Pangkalan Udara Bagram pada peringatan 20 tahun serangan teroris 11 September di Washington dan New York, jadi dalam waktu beberapa minggu ke depan.
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
Di mana harus menaruh semua sampah?
Tentara AS akan membawa pulang peralatan atau memberikannya kepada pasukan keamanan setempat. Tetapi masih banyak sampah kemasan dan elektronik tersisa. Lebih dari 100.000 tentara AS bertugas di Bagram sejak 2001. Pangkalan yang terletak 70 kilometer di utara Kabul, telah berkembang menjadi kota kecil ala Amerika, lengkap dengan pusat perbelanjaan dan restoran cepat saji.
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
Sampah seseorang adalah harta karun bagi orang lain
Tempat pembuangan rongsokan di luar pangkalan telah menjadi populer di kalangan pemburu harta karun. Mereka datang dalam jumlah besar untuk mengais sampah, mencari sesuatu yang masih berguna, seperti sepasang sepatu boot militer ini. Harapan mereka adalah menjual apa yang ditemukan untuk mendapatkan uang.
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
Mencari harta karun sampah elektronik
Sampah elektronik dalam jumlah besar juga terkubur di tempat pembuangan sampah. Orang mencari papan sirkuit berisi suku cadang dan sekrup yang dapat digunakan kembali. Beberapa bahkan mengandung bahan berharga seperti tembaga dan sejumlah kecil emas. Bagi orang Amerika, itu semua sampah. Tapi bagi warga Afganistan yang berpenghasilan hanya US $695 (Rp8,5 juta) setahun, itu adalah harta karun.
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
Apa yang akan terjadi dengan Bagram?
Bagram, di kaki pegunungan Hindu Kush, memiliki sejarah panjang sebagai pangkalan militer. Tentara Uni Soviet menggunakan pangkalan itu selama invasinya pada 1979. Banyak yang sekarang khawatir setelah pasukan Amerika pergi, Bagram akan jatuh ke tangan Taliban, yang berarti kemenangan strategis bagi kaum Islamis.
Foto: imago images
Penarikan pasukan yang riskan
Pasukan AS resminya ditarik pulang sejak 1 Mei dan tidak ada waktu untuk membuang sampahnya. Senjata berat dan pasukan tambahan tetap disiagakan untuk kemungkinan serangan Taliban selama penarikan. Pada minggu terakhir penarikan, total 36 negara NATO dan mitra terlibat dalam misi tersebut, termasuk 2.500 tentara Amerika dan 1.100 tentara Jerman
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
Wanita yang bekerja
Seorang gadis memulung peti logam usang dari tempat pembuangan sampah. Terlepas dari situasi sulit, anak perempuan dan wanita yang paling diuntungkan dari misi militer pimpinan AS dan jatuhnya Taliban pada tahun 2001. Mereka dapat bersekolah, dan sebagai wanita dewasa bisa bekerja di sektor yang sebelumnya tidak dapat diakses oleh mereka, termasuk di pengadilan tinggi dan institusi resmi lainnya.
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
Orang-orang yang ditinggalkan
Beberapa orang menemukan barang-barang bernilai sentimental murni di tempat barang rongsokan, untuk mengingatkan mereka pada pangkalan militer AS ini. Banyak pemukiman pasukan lokal Afganistan bermunculan di sekitar Bagram, dan eksistensi mereka bergantung pada pangkalan itu. Banyak yang sekarang bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan mereka dan keluarga mereka.
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
Apa yang tersisa?
Jadi apa yang tersisa dari kehadiran AS di Hindu Kush, selain sepatu usang dan kawat berkarat? Presiden AS Joe Biden menjanjikan kemitraan "berkelanjutan" pada saat pertemuan dengan mitranya dari Afganistan, Ashraf Ghani di Gedung Putih 25 Juni. Nasib jutaan warga Afganistan akan tergantung dari janji Biden. (bn/as)
Foto: Adek Berry/Getty Images/AFP
9 foto1 | 9
Menurut Michael Kugelmen, Wakil Direktur dan Senior Associate untuk Asia Selatan di Wilson Center yang berbasis di Washington, pengaruh Pakistan atas Taliban diperoleh bukan hanya karena tempat perlindungan yang diberikan kepada para pemimpin kelompok itu, tetapi juga melalui fasilitas medis yang disediakan bagi para milisi Taliban serta bantuan bagi keluarga mereka.
"Islamabad sebelumnya menyatakan bahwa hubungannya dengan Taliban menempatkan mereka dalam posisi yang bagus untuk memfasilitasi pembicaraan antara pemberontak dan AS, dan baru-baru ini dengan otoritas Afganistan. Namun, ketika mereka mengatakan pengaruhnya terbatas, ini tampaknya bertentangan dengan pesan mereka sendiri,” katanya kepada DW. "Ada dukungan publik untuk Taliban di Pakistan dan selama bertahun-tahun warga Pakistan masih menjadi pejuang sukarela bagi mereka,” tambahnya.
Iklan
"Kontradiksi kebijakan strategis”
Menurut Amber Rahim Shamsi, seorang jurnalis senior dan analis politik, aksi unjuk rasa pro-Taliban di Pakistan menunjukkan dua hal: "ketidakmampuan negara dan keengganan untuk melawan ekstremisme kekerasan sebagai tindak lanjut usai operasi militer.” "Pemerintah belum berbuat banyak untuk kelompok ekstremis karena kontradiksi politik dan strategi,” ujarnya kepada DW.
"Ini adalah sebuah kontradiksi bahwa pihak berwenang kerap mengatakan satu hal kepada komunitas internasional, tetapi di lapangan kenyataannya berbeda,” jelas Shamsi. "Benar bahwa campur tangan politik komunitas internasional telah memberikan legitimasi kepada Taliban, tapi Pakistan pada akhirnya harus menanggung dampak dari memburuknya situasi di Afganistan,” tambahnya.
Dalam kesempatan terpisah, Qamar Cheema, seorang analis politik mengatakan bahwa aksi unjuk rasa pro-Taliban sebagai "pelanggaran atas kedaulatan Pakistan.” "Di saat yang bersamaan, hal itu juga menunjukkan dukungan terhadap ideologi Taliban di masyarakat Pakistan. Dan pihak berwenang telah gagal melawan narasi mereka,” ujarnya.
Sementara itu, analis Kugelman juga berbagi pandangan yang sama tentang dukungan yang dinikmati Taliban dari masyarakat Pakistan.
"Banyak orang Pakistan melihat kelompok itu sebagai alternatif yang lebih baik untuk pemerintahan Presiden Ashraf Ghani, terutama karena persepsi bahwa mereka akan melayani kepentingan Pakistan di Afganistan dengan lebih baik,” katanya. "Jadi, jika memang ada demonstrasi di Pakistan yang mengadvokasi kepentingan Taliban Afganistan, hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan,” tambahnya.
Remaja Afghanistan Skeptis Masa Depan Bersama Taliban
Generasi Z Afghanistan dibesarkan dalam 17 tahun perang dan kehadiran militer internasional. Masa depan yang mengikutsertakan perdamaian dengan Taliban menimbulkan perasaan penuh harapan sekaligus rasa takut.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Sulta Qasim Sayeedi, 18, model
Sayeedi sering merambah Facebook, YouTube dan Instagram untuk mempelajari dunia fesyen dan model serta mencari inspirasi dari selebriti favoritnya, seperti Justin Bieber. "Kami khawatir, jika Taliban datang, kami tidak bisa lagi mengelar mode show," katanya. Namun ia juga berujar, sudah saatnya perdamaian datang.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Maram Atayee, 16 tahun, pianis
"Hal yang paling mengkhawatirkan bagi saya, jika Taliban kembali, saya tidak bisa bermain musik lagi," kata Maram Atayee. Ia belajar main piano di sekolah musik di Kabul. Bagus, jika pemerintah mencapai kesepakatan damai dengan Taliban. Dan nanti akses untuk bermusik harus terbuka bagi semua orang, dan hak-hak perempuan harus dijaga. Demikian tuntutan Atayee.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Hussain, 19, penata rambut
"Saya optimis mendengar Taliban ikut proses perdamaian," kata Hussain yang punya salon di Kabul. Seperti banyak warga muda Afghanistan lainnya, ia dibesarkan di Iran, di mana jutaan warga Afghanistan mengungsi. "Itu akan jadi akhir perang dan konflik di negara kami." Tapi ia juga berkata, ingin agar Taliban mengubah kebijakan dan tidak bersikap seperti dulu.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Mahdi Zahak, 25, seniman
Tentu ada harapan bagi perdamaian, kata Zahak. "Tetapi kita bisa benar-benar mendapat perdamaian adalah jika Taliban menerima kemajuan yang sudah terjadi di negara ini dalam 17 tahun terakhir, dan membiarkan orang lain menikmati hidup mereka."
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Kawsar Sherzad, 17, atlet bela diri
"Perempuan Afghanistan sudah punya banyak pencapaian di dunia olah raga. Jadi saya optimis Taliban akan menerima kemajuan perempuan ini," demikian ungkap Sherzad. Untuk wawancara, atlet cabang olah raga Muay Thai ini berpose di sebuah klub di Kabul.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Nadim Quraishi, 19, pemilik toko game
"Kami ingin melihat berakhirnya konflik di negara ini. Kami punya harapan besar, perdamaian akan berlangsung lama antara pemerintah dan Taliban," kata Quraishi. Untuk foto, ia berpose di depan toko gamenya di Kabul.
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Zarghona Haidari, 22, bekerja di toko buku
"Saya tidak terlalu optimis tentang perdamaian di negara ini." kata Haidari, yang bekerja di sebuah toko buku di Shahr Ketab Centre. Ia menambahkan, "Saya tidak yakin, Taliban akan mencapai kesepakatan perdamaian dengan pemerintah."
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
Mohammad Jawed Momand, 22, dokter
"Perdamaian menuntut semua pihak untuk meletakkan senjata, dan memikirkan pendidikan serta kemakmuran di negara ini," demikian dikatakan Momand. Laporan demografi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan 60% dari 35 juta populasi Afghanistan berusia di bawah 25 tahun. Demikian keterangan Sumber: Reuters (Ed.: ml/as)
Foto: Reuters/Mohammad Ismail
8 foto1 | 8
‘Pemerintah melakukan pengawasan'
Lebih jauh, analis politik Rahimullah Yusufzai mengatakan kepada DW bahwa orang Pakistan tidak mungkin bergabung dengan pasukan Taliban Afganistan, setidaknya tidak dalam jumlah besar seperti yang mereka lakukan selama perang melawan Uni Soviet dari 1979-1989.
"Saat ini situasinya jauh berbeda karena pemerintah melakukan pengawasan dengan cermat. Mereka tidak akan membiarkan orang menyeberang ke Afganistan dan berperang untuk Taliban,” kata Yusufzai.
"Meski begitu, di daaerah terpencil dekat perbatasan Afganistan, orang-orang mungkin masih bisa pergi untuk berperang dan mengumpulkan sumbangan,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa beberapa mahasiswa Afganistan yang belajar di seminari Pakistan mungkin akan mendukung Taliban dan pergi ke Afganistan.
"Mereka dapat melihat kemenangan Taliban dan situasinya menguntungkan bagi mereka,” tambahnya.
Sementara itu, seorang analis yang berbasis di Peshawar, Samina Afridi, meyakini bahwa dukungan untuk Taliban Afganistan telah berkurang.
"Memang ada banyak kantong-kantong dukungan untuk Taliban Afganistan di Waziristan Utara dan Selatan, tetapi kebanyakan warga di bagian lain provinsi Khyber Pakhtunkhwa justru menginginkan sekolah, rumah sakit, jalan dan infrastruktur, bukan militansi, baik dari Taliban Afganistan atau kelompok lain,” ujarnya kepada DW.
Sementara terkait para ulama yang diduga mulai merekrut atau mengumpulkan sumbangan, Afridi mengatakan bahwa tindakan seperti itu akan ditentang keras organisasi akar rumput anti-perang seperti Gerakan Pashtun Tahafuz.
gtp/ha
Laporan tambahan oleh S. Khan, koresponden DW di Islamabad.