Dunia Kecam Penarikan Mundur AS dari Kesepakatan Iklim Paris
2 Juni 2017
Para pemimpin dunia berjanji untuk terus melanjutkan perjanjian iklim Paris tanpa Amerika Serikat. Banyak perusahaan, pemerintahan negara bagian dan kota-kota di AS menyatakan tetap dukung kesepakatan itu.
Iklan
Para pemimpin dunia mengecam keras keputusan Presiden AS Donald Trump pada hari Kamis (01/06), menarik diri dari kesepakatan iklim Paris, yang merupakan upaya menangkal pemanasan global. Keputusan yang diambil orang nomor satu di Amerika Serikat itu kemungkinan akan merusak hubungan AS dengan mitra-mitranya di seluruh dunia.
Trump mengatakan bahwa dia menarik Amerika mundur dari kesepakatan global yang penting tersebut, untuk "menempatkan pertama-tama kepentingan Amerika", dimana ia menganggap ongkos penanganan pemanasan global terlalu mahal. Namun Trump akan mempertimbangkan untuk menegosiasi ulang Kesepakatan Iklim Paris, yang dia sebut sebagai kesepakatan buruk.
Perancis, Jerman dan Italia kemudian mengeluarkan pernyataan bersama yang mengatakan bahwa kesepakatan iklim Paris tidak dapat dinegosiasikan ulang: "Kami menganggap momentum yang dihasilkan di Paris pada bulan Desember 2015 tidak dapat diubah dan kami sangat yakin bahwa Perjanjian Paris tidak dapat dinegosiasi ulang, karena ini adalah instrumen vital bagi planet, masyarakat dan ekonomi kita," papar para pemimpin ketiga negara itu dalam sebuah pernyataan bersama.
Presiden Perancis Emmanuel Macron tampaknya mengejek slogan "Membuat Amerika Kembali Hebat" dari Trump, dengan cuitan di Twitter: "Jadikan Planet Kita Hebat Lagi" dan juga menawarkan kesempatan bagi ilmuwan dan insinyur untuk melanjutkan pekerjaan dalam mengatasi perubahan iklim di luar Amerika Serikat.
Pejabat tinggi di sekretariat perubahan iklim Uni Eropa mengatakan, bahwa ini adalah "hari yang menyedihkan bagi masyarakat global." Uni Eropa sangat menyesalkan keputusan sepihak oleh pemerintahan Trump", tulis Komisioner Aksi Iklim Uni Eropa, Miguel Arias Canete dalam sebuah pernyataan, bahwa "dunia dapat terus mengandalkan Eropa untuk kepemimpinan global."
Kesalahan serius
Kanselir Jerman Angela Merkel mengungkapkan kekecewaannya melalui juru bicara pemerintah di Berlin, Steffen Seibert, yang mengatakan bahwa "sekarang kita akan bekerja lebih banyak lagi dari sebelumnya untuk mewujudkan kebijakan iklim global yang menyelamatkan planet kita."
Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengeluarkan sebuah pernyataan bersama kabinet Jerman mengatakan bahwa AS telah "melukai dirinya sendiri dan semua orang lain di dunia" dengan langkah yang Trump ambil.
"Bagi mereka yang menolak realita perubahan iklim dan tidak memeranginya, tidak hanya harus menghadapi badai, kekeringan dan banjir yang memburuk, strategi 'tanpa saya' ini juga mematikan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi," ujar para penandatangan pernyataan, termasuk juga Menteri Lingkungan Hidup Jerman Barbara Hendricks dan Menteri Ekonomi Jerman Brigitte Zypries.
Sementara itu, di luar kedutaan besar AS di berlin, aktivis lingkungan hidup Greenpeace, memproyeksikan siluet Trump dan kata-kata "#TotalLoser, sangat menyedihkan!"
Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker mengecam keputusan iklim AS sebagai suatu "kesalahan besar." Juncker juga menyatakan keraguannya bahwa Trump akan bisa melepaskan AS dari komitmen Paris yang ada sebelum pemilihan presiden berikutnya.
Uni Eropa mengatakan akan mencari aliansi baru dalam perang melawan perubahan iklim. Dikatakannya, penarikan AS merupakan hari yang menyedihkan bagi masyarakat dunia.
Menteri Lingkungan Hidup Kanada, Catherine McKenna mengatakan Kanada "sangat kecewa" atas keputusan Trump. Kekecewaan juga dilontarkan Perdana Menteri Inggris, Theresa May yang mengatakan kepada Trump bahwa kesepakatan Paris untuk melindungi "kemakmuran dan keamanan generasi mendatang".
Dampak Dahsyat Perubahan Iklim
Perubahan iklim akan membawa efek dahsyat bagi manusia penghuni Bumi. Penerbangan, pelayaran dan aktivitas sehari-hari terancam bahaya berbagai fenomena alam ekstrem dan dampaknya.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai dan Petir Makin Intensif
Energi panas beraksi seperti bahan bakar bagi awan badai. Jika temperatur global terus naik, aktivitas badai dan petir akan makin intensif. warga di kawasan badai akan makin menderita. Jumlah kebakaran hutan akibat sambaran petir akan meningkat. Petir ciptakan gas rumah kaca NOx di atmosfir yang secara tak langsung meregulasi gas rumah kaca lainnya, seperti ozon dan methana.
Foto: picture-alliance/dpa
Gunung Es Sumbat Samudra
Gletser di Greenland lumer dan pecah menjadi bongkahan gunung es yang mengapung di samudra Atlantik Utara. Lembaga maritim internasional melaporkan, bulan April 2017 tercatat 400 bongkahan gunung es menghalangi jalur pelayaran. Naiknya temperatur memicu makin banyak gunjung es pecah dan mengapung ke laut terbuka.
Foto: Getty Images/J. Raedle
Aktivitas Vulkanik Meningkat
Sepertinya tidak ada korelasi antara perubahan iklim dengan naiknya aktivitas gunung api. Nyatanya Bumi memiliki dinamika yang sulit diprediksi. Contohnya di Islandia, gunung api dan gletser sudah ko-eksis puluhan ribu tahun. Saat lapisan es setebal 2 km mencair, tekanan terhadap kerak Bumi berkurang dan akibatnya aktivitas vulkanisme dan magmatisme meningkat tajam.
Foto: Getty Images/S. Crespo
Gurun Makin Gersang dan Meluas
Gurun pasir sebetulnya penuh dengan kehidupan. Baik di tingkat bakteria maupun flora dan fauna khas. Tapi jika suhu terus naik, koloni bakteri akan musnah, dan juga flora dan fauna gurun mati. Akibatnya gurun makin gampang dilanda erosi dan terus meluas.
Foto: picture-alliance/Zuma Press/B. Wick
Turbulensi Udara Makin Hebat
Perubahan iklim akibat aktivitas manusia juga memiliki kaitan dengan makin hebatnya turbulensi udara di atmosfir. Penelitian yang dilakukan Universitas Reading, Inggris meenunjukkan, jika kadar karbon dioksida meningkat dua kali lipat, kasus turbulensi udara di jalur penerbangan akan naik sekitar 150 persen. Ini berarti ancaman risiko penerbangan juga meningkat.
Foto: Colourbox/M. Gann
Laut Jadi Keruh dan Pekat
Akibat perubahan iklim, curah hujan meningkat, dan sungai-sungai yang bermuara ke laut makin banyak membawa sedimen lumpur. Laut jadi keruh dan gelap. Fenomena ini sudah diamati terjadi di pesisir Norwegia. Dampaknya banyak flora dan fauna laut tidak lagi mendapat cahaya matahari dan mati.
Foto: imago/OceanPhoto
Manusia Jadi Lebih Mudah Stres
Situasi perasaan manusia juga amat peka terhadap perubahan iklim. Para hali psikologi sosial sejak lama mengamati fenomena makin hangatnya iklim dengan naiknya perilaku impulsiv dan aksi kekerasan. Terutama di negara kawasan khatulistiwa diamati orang makin mudah stres. Juga pemanasan global bisa memicu konflik global, akibat perebutan sumber daya alam seperti air dan bahan pangan.
Foto: Fotolia/Nicole Effinger
Kasus Alergi Makin Parah
Makin hangat Bumi, di belahan Bumi utara musim semi datang lebih cepat dan musim panas tambah panjang. Dampaknya tanaman pemicu alergi makin panjang masa berbunganya. Penghitungan volume serbuk sari pemicu alergi diramalkan naik 2 kali lipat dalam tiga dekade mendatang. Artinya musim alergi juga tambah panjang dan penderitaan penderitanya makin parah.
Foto: imago/Science Photo Library
Hewan Lakukan Evolusi Jadi Kerdil
Hewan kecil, terutama mamalia, populasinya akan berkembang biak dengan cepat. Inilah respons evolusi yang lazim yang terlihat dalam beberapa periode pemanasan global jutaan tahun silam. Di zaman Paleocen hingga Eocen sekitar 50 juta tahun silam, saat suhu Bumi naik sampai 8 derajat Celsius, hampir semua mamalia "mengkerdilkan" diri untuk beradaptasi.
Foto: Fotolia/khmel
Penyebaran Benih Tanaman Terhambat
Yang juga sering diremehkan terkait efek pemanasan global, adalah perilaku serangga, misalnya semut. Riset Harvard Forrest di Massachusetts menunjukkan, semut yang berperan dalam penyebaran benih tanaman, memilih tidak beraktivitas jika suhu naik. Juga kegiatan koloni melakukan sirkulasi nutrisi pada tanah berhenti. Semut akan aktiv lagi jika suhu kembali normal. Editor:Ineke Mules(as/ap)
Foto: CC BY-SA 4.0/Hans Hillewaert
10 foto1 | 10
Obama mengecam penarikan mundur AS
Mantan Presiden AS Barack Obama mengatakan bahwa pemerintahan Trump bergabung dengan "segelintir negara yang menolak masa depan" dengan menarik diri dari perjanjian tersebut.
Obama, yang pemerintahannya ikut menegosiasikan kesepakatan tersebut, mengatakan bahwa negara-negara yang masih dalam kesepakatan di Paris akan "menuai keuntungan dalam" melakukan pekerjaan memerangi perubahan iklim dan bahwa AS harus "berada di garda depan pakta tersebut. "Hillary Clinton, sementara itu, menyebutkan keputusan itu adalah "kesalahan bersejarah".
Sementara itu, perusahaan-perusahaan dan pemerintahan kota serta negara bagian AS juga mengkritik langkah Trump, dengan mengatakan mereka akan bertindak sendiri untuk memenuhi komitmen berdasarkan kesepakatan Paris. CEO Tesla, Elon Musk mengumumkan bahwa dia akan menghentikan pekerjaannya sebagai penasihat pemerintahan Trump.
CEO General Electric Jeff Immelt juga mengungkapkan kekecewaannya. "Perubahan iklim memang nyata. Industri sekarang harus memimpin dan tidak bergantung pada pemerintah," demikian tulis Immelt di Twitter.
CEO Goldman Sachs Lloyd Blankfein menulis cuitan pertamanya di Twitter mengenai masalah ini, dengan menyebut keputusan tersebut sebagai "kemunduran bagi lingkungan dan posisi kepemimpinan AS di dunia."
Reaksi Cina pertama-tama muncul dari media pemerintah dan bukan dari pemimpin politiknya. Kantor berita Xinhua menulis keputusan Trump tidak mengejutkan sama sekali. "Keputusan Trump untuk menarik diri dari kesepakatan Paris akan meninggalkan efek," komentar Xinhua. "Tapi pemain utama lainnya termasuk Uni Eropa, Cina dan India telah menegaskan kembali kesediaan mereka untuk meningkatkan upaya dalam menghadapi perubahan politik AS."
Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida menyebut langkah tersebut "amat disesalkan," karena "Jepang berharap dapat bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam kerangka kesepakatan Paris."
ap/as(rtr/dpa/ap/afp)
7 Perusahaan Minyak yang Paling Berdosa Atas Perubahan Iklim
Tujuh perusahaan minyak bertanggungjawab atas produksi separuh emisi CO2 dari perusahaan swasta selama 25 tahun terakhir. Sebagian perusahaan bahkan aktif membiayai kampanye untuk menyangkal fenomena perubahan iklim
Foto: picture-alliance/dpa
1. Chevron Texaco - 51,1 Gt Co2e
Raksasa minyak AS Chevron Texaco mendapat penghargaan miring "Public Eye on Davos" tahun 2015 silam, lantaran mengabaikan kerusakan lingkungan selama bertahun-tahun. Menurut studi ilmiah yang dipublikasikan pada Jurnal Perubahan Iklim, Chevron memproduksi 51,1 gigaton emisi gas rumah kaca, alias 3,52% dari semua emisi CO2 yang diproduksi manusia sejaki 1750.
Foto: Getty Images
2. ExxonMobil - 46,67 Gt Co2e
Perusahaan AS yang mengelola blok Cepu di Indonesia ini berada di urutan kedua daftar perusahaan pendosa iklim terbesar sejagad. Selama 25 tahun terakhir ExxonMobil memproduksi 46,67 gigaton CO2 atau sekitar 3,22% dari total emisi gas rumah kaca yang diproduksi manusia.
Foto: AP
3. BP - 35,84 Gt Co2e
Raksasa minyak Inggris, BP, memproduksi 35,84 gigaton CO2 atau sekitar 2,47% dari total emisi dunia. Perusahaan ini pernah mendulang reputasi buruk ketika anjungan minyak lepas pantainya di Teluk Meksiko "Deepwater Horizon" meledak dan mencemari laut sekitar. Kerugian yang ditimbulkan saat itu bernilai 7,8 miliar Dollar AS.
Foto: Reuters
4. Royal Dutch Shell - 30,75 Gt Co2e
Shell aktif memproduksi dan berjualan minyak di lebih dari 140 negara. Tidak heran jika perusahaan yang bermarkas di Den Haag, Belanda ini tercatat telah memproduksi 30,75 gigaton emisi gas rumah kaca. Jejak karbon Shell berkisar 2,12% pada keseluruhan gas CO2 yang diproduksi manusia sejak 1750.
Foto: Reuters/T. Melville
5. Conocophillips - 16,87 Gt Co2e
Conocophillips saat ini mengaku memiliki lebih dari 20.000 jaringan stasiun pengisian bahan bakar di seluruh dunia. Perusahaan yang ikut mengebor minyak di Laut Timor ini tercatat memproduksi 16,87 gigaton gas CO2 selama 25 tahun terakhir. Padahal Conoco sudah berdiri sejak 1875.
Berdiri sejak 1883, Peabody Energy adalah perusahaan batu bara swasta terbesar di dunia. Perusahaan ini juga aktif membiayai kampanye buat menyangkal fenomena perubahan iklim. Tidak heran karena Peabody Energy memproduksi 12,43 gigaton emisi gas rumah kaca sejak dekade 1980an.
Foto: Reuters/B. McDermid
7. Total S.A - 10,79 Gt Co2e
Total sering dikecam karena antara lain menyokong rejim militer dan menggagas penggusuran paksa di Myanmar buat membangun pipa minyak. Perusahaan Perancis ini juga terlibat dalam pencemaran berat di Siberia Selatan. Sejak 25 tahun terakhir Total telah memproduksi 10,79 gigaton emisi gas rumah kaca. (rzn/as - Guardian, Climate Accountability Institute)