1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dunia Seburuk Berita di Media?

Mira Maria Fricke
17 Mei 2021

Dilihat dalam jangka panjang, banyak hal berkebang menjadi positif. Tapi mengapakah berita buruk lebih melekat di ingatan kita daripada kabar baik?

gambar simbol menunjukkan topeng di antara daun warna-warni
Foto: picture-alliance/blickwinkel/McPhoto/C. Ohde

Di berbagai media, berita buruk bisa dilihat terus-menerus. Tapi apakah dunia kita memang sebegitu buruknya? Memang betul, pandemi virus COVID-19 adalah krisis yang tidak lazim.

Tapi jika diperhatikan dalam jangka waktu lebih panjang, banyak hal berkembang menjadi positif. Jumlah kematian anak misalnya, dulu tidak serendah sekarang. Selain itu, jumlah kematian akibat bencana alam berkurang separuhnya sejak 1970. 

Tapi tetap saja kita kerap merasa, segalanya jadi tambah buruk. Tidak hanya mereka yang mengonsumsi berita yang merasakan itu, melainkan juga wartawan yang menulis berita.

Mengapa demikian? Dan apa urusannya dengan otak kita?

Pertanyaan inilah yang berusaha dijawab ahli saraf Prof. Maren Urner dalam penelitiannya. 

Cara otak mengolah berita

"Otak kita mengolah berita buruk lebih cepat, lebih baik dan lebih intensif daripada berita postif serta berita netral. Oleh sebab itu kita mengingat berita buruk juga lebih lama,” demikian papar Prof. Urner.

Berita Buruk Lebih Diingat

03:36

This browser does not support the video element.

Dari segi biologi evolusi, lebih menguntungkan jika kita mengolah berita buruk lebih baik daripada yang postif. Ia mengambil sebuah contoh, ”Di zaman purba ketika mamut dan harimau bertaring panjang masih hidup, kelewatan berita buruk akibatnya bisa fatal bagi hidup.”

Peneliti menemukan bukti pada sejumlah responden dari berbagai benua, bahwa mereka lebih perhatian dan lebih sigap jika berita buruk disiarkan. Tidak peduli asal beritanya. 

Oleh sebab itu, banyak media mengambil keuntungan dari efek ini. Kepala berita negatif menarik perhatian banyak orang dan membuat jumlah klik tinggi serta meningkatkan eksemplar yang terjual. Sejalan dengan itu, studi menunjukkan, berita negatif di media bertambah, terutama di media online.

Sikap negatif manusia

Apakah itu masalah, jika media menunjukkan banyak berita negatif? Ahli saraf Prof. Maren Urner mengatakan, "Masalah utamanya, kita semua jadi punya sikap dan harapan yang negatif. Karena kita melalui hidup bersama gambaran dunia yang buruk, di mana kita beranggapan dunia lebih buruk daripada sebenarnya.”

Bagaimana kuatnya pengaruh media atas kita sebagai konsumen, bisa dilihat misalnya dari serangan pada maraton di Boston, AS. Sejumlah orang yang mengikuti berita dengan seksama, jauh lebih dibebani stres dan rasa takut, dibanding mereka yang ada di lokasi.

Akibat gambaran dunia yang negatif

Apa artinya? Prof. Maren Urner menjelaskan, "Pertama-tama akibatnya adalah, orang jadi pasif. Salah, kalau orang berpikir bahwa memiliki gambaran dunia yang negatif membuat orang jadi aktif. Sejumlah studi psikologi menunjukkan, itu tidak benar.

Selain itu, gambaran dunia yang negatif mendorong stres kronis. Kita sekarang juga tahu, stres kronis adalah penyulut banyak penyakit, termasuk diabetes, penyakit kardiovaskular, juga penyakit psikis seperti depresi.

Mengatur konsumsi berita

Karena melihat hasil penelitiannya ini, Maren Urner kini mendirikan wadah berita sendiri. Di wadah itu, berita dipresentasikan secara konstruktif dengan pendekatan solusi.

Tapi bukan hanya pihak media saja yang bisa mengubah cara penyampaian. Tiap orang juga bisa melakukan sesuatu bagi kesehatan otak.

"Misalnya, kita tidak segera menyalakan radio dan TV dan mengecek berita terakhir di telefon seluler begitu bagun di pagi hari. Tidak membiarkan informasi dari lima enam alat sebera menghujani kita, melainkan mengatur dengan lebih baik.”

Yang penting juga, sebaiknya orang memilih media yang bisa dipercaya, yang mengolah berita secara serius sebelum disiarkan. (ml/yp)