Dunia Tidak Lebih Baik, Cuma Cara Membunuh yang Berubah
26 September 2015 Sekilas, kabar yang menyebutkan jumlah hulu ledak nuklir di seluruh dunia berkurang memang terkesan baik. Sejak 2010 jumlahnya menurun dari 22.600 menjadi 15.850. Tapi adalah kekeliruan besar jika kita berasumsi bahwa umat manusia telah sadar dan mulai mengucurkan dana untuk kemaslahatan bersama.
Sayangnya yang terjadi adalah justru sebaliknya. Data-data yang diumumkan SIPRI tidak lain berarti bahwa negara adidaya nuklir mulai menyadari menyimpan cadangan hulu ledak nuklir dalam jumlah besar tidak lagi dibutuhkan setelah berakhirnya Perang Dingin.
Bukan karena mereka berhenti mengancam satu sama lain. Beberapa bulan lalu Presiden Rusia Vladimir Putin mengklaim ia telah memerintahkan militer untuk menyiagakan hulu ledak nuklir menyusul konflik di Ukraina. Pekan lalu Pakistan mengisyaratkan kesiapan mereka buat menggunakan kekuatan nuklir untuk menghadapi jiran India.
Alasan Strategis
Berkurangnya jumlah hulu ledak nuklir tidak lebih karena alasan strategis. Amerika Serikat dan Rusia harus meremajakan persediaan nuklirnya untuk menghadapi ancaman di masa depan dan buat menghemat dana. Kedua negara tidak berniat memusnahkan semua persediaan senjata nuklirnya.
Tidak pula dengan Inggris yang baru saja membeli sistem peluru kendali berhulu ledak nuklir, Trident dari Amerika Serikat. Hal serupa juga berlaku buat Perancis dan terutama Cina yang tidak lelah memanggang konflik di Laut Cina Selatan.
Sementara negara nuklir lain, India, Pakistan dan Israel masing-masing menyimpan sekitar 100 hulu ledak nuklir. Jumlah tersebut bisa melumat nyawa jutaan orang. Lalu Korea Utara dengan seorang penguasa yang despot, sudah memproduksi delapan hulu ledak nuklir - cukup buat mengawali perang terbuka.
Semua itu jelas tidak berguna. Penggunaan senjata nuklir bisa menyebabkan kehancuran yang luar biasa dan mengancam eksistensi umat manusia. Cuma seorang yang tidak waras saja yang bisa mengacuhkan fakta-fakta tersebut.
Terlebih, sejak berakhirnya perlombaan senjata nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet, konsep perang modern sudah banyak berubah. Konflik yang kita alami saat ini lebih sering melibatkan tentara pemberontak melawan serdadu pemerintah.
Amerika punya pengalaman pahit pada perang di Vietnam, Afghanistan dan Irak. Sementara Uni Sovyet pernah mengalami kekalahan telak di Afghanistan. Situasinya tidak berubah hingga kini. India masih memerangi pemberontak Maois di timur dan ekstremisme Islam di Kashmir. Kelompok Taliban masih mengangkat senjata di Afghanistan dan Pakistan. Dan kini gerilayawan Islamic State berambisi membantai non muslim di Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia.
Beralih ke Senjata Konvensional
Kekuatan militer besar atau menengah tidak akan mampu memenangkan perang melawan pemberontak yang didukung oleh penduduk lokal dengan cara mengancam atau menggunakan senjata nuklir.
Tidak mengejutkan jika angka pembelian senjata konvensional terus menggelembung. Cina, Rusia dan Arab Saudi belakangan lebih banyak berbelanja senapan serbu, kendaraan lapis baja atau peluru kendali anti darat dan udara.
Tapi juga negara-negara yang bertetangga dengan Rusia turut mengucurkan dana besar untuk pertahanan lantaran khawatir akan situasi keamanan yang tidak menentu. Fenomena serupa bisa diamati pula di Afrika.
Namun di banyak negara melejitnya anggaran belanja militer juga merupakan propduk dari korupsi, kepentingan sepihak dan kediktaturan. Amerika Serikat dan negara negara di Eropa Barat masih berpikir mereka bisa mengacuhkan ancaman Rusia dan berhemat dalam persenjataan. Buat mereka, prioritas utama saat ini adalah situasi ekonomi yang memburuk pasca krisis keuangan 2008.
Tidak, dunia tidak lantas menjadi lebih baik, cuma cara manusia mengancam dan membunuh satu sama lain saya yang berubah.
*Grahame Lucas adalah pakar Asia Selatan dan kini memimpin Departemen Asia Selatan dan Tenggara di Deutsche Welle, Jerman.