Menjaga Toleransi, Menangkal Aksi Kekerasan dan Teror
8 Agustus 2016
Toleransi hidup bersama dalam masyarakat majemuk di Indonesia terus diuji. Kekerasan di tanjung balai, Sumatera Utara mendulang keprihatinan banyak pihak.
Iklan
Salam #DWNesia
Insiden Tanjung Balai, Sumatera Utara akhir Juli lalu, mengundang keprihatinan berbagai pihak. Tak kurang berbagai kelompok agama, hak asasi dan parlemen menyayangkan terjadinya insiden itu. Penyerangan dan perusakan vihara dan klenteng terjadi menyusul permohonan seorang warga etnis Cina agar pihak masjid merendahkan volume pengeras suara di sebuah masjid di Tanjung Balai.
Dalam #DWNesia kali ini, peneliti dan dosen antropologi budaya di sebuah universitas Arab Saudi, Sumanto al Qurtuby menyentil berbagai pihak lain yang juga kerap mengatasnamakan agama dalam melakukan serangan atau aksi anarkis. Sumanto menyampaikan perspektifnya mengenai bagaimana seharusnya kerukunan hidup dijalin dalam masyarakat majemuk. Simak opininya yang berjudul: Membela Agama atau Tafsir Agama?
Sementara, kandidat doktor di Freie Universität Berlin, yang juga merupakan Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman, Zacky Khairul Umam mengingatkan, negara maritim kita dibangun di atas susunan kemajemukan ras, sosial, agama, dan berbagai latar belakang. Belajar dari pengalaman masa silam, sebuah imperium tumbuh berkembang selama berabad-abad jika ia mampu mengelola potensi kemajemukan ini, bukan malah memanunggalkannya secara merata.
Penganut Muslim, yang merupakan penduduk mayoritas, seharusnya mampu untuk menjaga harmonisasi atas kemajemukan tersebut. Simak perspektifnya yang berjudul: Mendefinisikan Kembali Ruang “Arsipelago Islam”.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Berbicara soal kekerasan, tidak lepas dari aksi teror yang juga kerap melanda Indonesia. Menurut pengamat masalah Islam, M.Guntur Romli, selama radikalisme tumbuh subur, maka terorisme akan cepat berkembang-biak dengan cepat. Tewasnya buronan nomor satu untuk kasus terorisme, Santoso, tidak serta merta menghapus kemungkinan munculnya Santoso-santoso baru. Menurutnya, tidak adanya politik kebangsaan dan minimnya kebijakan pemerintah yang mempunyai visi dan misi yang tegas yang memerangi radikalisme hanya akan mengabadikan lingkaran kekerasan akibat terorisme ini: “mati satu, tumbuh seribu”. Selengkapnya simak opini M.Guntur Romli dalam: Lahirnya Santoso-santoso Baru.
Anda setuju dengan opini para penulis? Selamat berdiskusi, Sahabat DW…
Kami tunggu opini Anda di Facebook DW_Indonesia dan twitter @dw_indonesia.
Seperti biasa, sertakan tagar #DWNesia dalam mengajukan pendapatmu.
Salam #DWNesia
Keluarga Muslim Jaga Gereja Makam Suci
Meski terdapat enam golongan Kristen saling berbagi Gereja Makam Suci di Yerusalem, kunci gereja dipercayakan pada keluarga Muslim, yang selama ratusan tahun menjaga gereja itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Gereja Makam Kudus
Inilah Gereja Makam Kudus atau gereja makam Suci di Yerusalem (The Holy Sepulchre). Ini merupakan sebuah gereja Kristen di Kota Tua Yerusalem, yang dipercaya orang Kristen sebagai tempat Yesus disalib, dimakamkan dan dan mengalami kebangkitan.
Foto: Reuters/Cohen
Enam Golongan Kristen
Gereja ini terbagi dalam enam golongan Kristen, yakni Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia, Katholik, Ortodoks Siria, Ortodoks Koptik Aleksandria-Mesir, dan Ortodoks Ethiopia Tewahedo. Katholik Roma, Yunani, dan Armenia -- memegang 70 persen kepemilikan gereja. Tak jarang terjadi percekcokan di antara mereka.
Foto: Reuters/Cohen
Alasan manajemen
Ke-6 golongan Kristen yang berbagi gereja ini sulit menyepakati banyak masalah praktis seperti perbaikan, bahkan pembersihan gereja. Ada kekuatiran bahwa jika salah satu dari mereka memegang kunci, mereka bisa saja mengunci agar yang lain tak bisa masuk. Maka salah satu alasan ini diyakini sebagai alasan kunci diserahkan pada keluarga Muslim.
Foto: G.Tibbon/AFP/Getty Images
Tradisi Nenek Moyang
Nusseibeh adalah keluarga Muslim Yerusalem kuno -- yang turun-temurun dari zaman Nabi Muhammad. Mereka memegang kunci Gereja Makam Suci di Yerusalem. Dua jam setelah matahari terbenam, mereka mengunci gereja dan membukanya sebelum fajar, setiap pagi. Ini tradisi sejak zaman nenek moyang mereka selama ratusan tahun. Keluarga Nusseibeh sendiri tinggal di luar Kota Tua.
Foto: picture-alliance/Marius Becker
Sang Penjaga
Wajeeh Nusseibeh adalah penjaga pintu saat ini. Keluarganya telah melakukannya lebih dari 1.300 tahun, meskipun ada satu celah selama 88 tahun, ketika Tentara Salib Kristen memerintah Yerusalem pada abad ke-12. Kisah tetntang ini pernah difilmkan dengan judul: Im Haus Meines Vaters Sind Viele Wohnungen (Di Rumah Bapakku Banyak Apartemen).
Foto: X-Verleih
Harus Pulang tepat Waktu
Para biarawan yang tinggal di dalam harus tepat waktu untuk pulang. Jika tidak, terpaksa bermalam di tempat lain. Ini ritual terperinci. Ritualnya, begitu pintu dari kayu tebal ditutup, seorang biarawan di dalam mendorong tangga lewat lubang yang sengaja dibangun, sehingga orang dari luar hanya bisa memanjat untuk mencapai kunci paling atas.
Foto: picture alliance/Bildagentur huber
Peziarah datang dari Segala Penjuru
Peziarah datang dari berbagai penjuru dunia. Banyak di antara mereka yang terharu saat menyentuh batu di pintu masuk, dimana tubuh Yesus dibaringkan setelah diturunkan dari kayu salib. Setiap masa prosesei keagamaan, gereja ini dipadati peziarah.
Foto: Reuters/Cohen
Di Bawah Satu Atap
Biarawan dari gereja Armenia memulai prosesi di sekitar makam, sementara para biarawan Katholik berjarak tak jauh di depan mereka. Ibarat kompetisi bagi telinga Tuhan. Ini satu-satunya gereja di dunia dimana gereja timur dan barat memuji Tuhan, di bawah atap yang sama, pada saat bersamaan.Tentu saja terkadang ada beberapa perbedaan pendapat.
Foto: Tibbon/AFP/Getty Images
Dari Perselisihan Hingga Kekerasan
Terkadang, perbedaan pandangan berujung pada kekerasan, seperti pada perayaan Paskah Ortodoks tahun 1995. Tampak polisi Israel baku hantam dengan pemuda Kristen yang ambil bagain dalam perayaan itu. Pada umumnya konflik terjadi karena sengketa batas wilayah. Pihak yang satu cemas jika pihak yang lain mencoba melanggar batas wilayah yang bukan miliknya.