1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Renungan Sebagai Interupsi Spiritual di Tengah Wabah Corona

10 April 2020

Gereja, sinagoga dan masjid menutup pintu pada hari suci lantaran wabah corona. Namun dibalik rasa duka, penutupan rumah ibadah ini adalah kesempatan untuk sebuah kontemplasi bagi umat beragama, tulis Christoph Strack. 

Coronavirus - Vatikan
Foto: picture-alliance/dpa/E: Inetti

Dalam bentuknya yang paling padat, agama bisa didefinisikan sebagai sebuah interupsi, tulis Teolog Katholik, Johann Baptist Metz (1928-2019) yang merujuk pada filsuf Denmark, Søren Kierkegaard (1813-1815).  

Metz yang merupakan salah seorang pendiri aliran Teologi Politik mengasosiasikan interupsi spiritual dengan janji kemenangan bagi mereka yang menderita dan menggunakannya sebagai peringatan terhadap fenomena ‘pemborjuisan agama‘ 

Kini, dunia menghadapi interupsi lintas bangsa dan embarkasi. Virus corona tidak mengenal batas negara dan pandemi COVID-19 menjadi ancaman global. Dunia tertegun dan tenggelam dalam rasa takut.  

Ketika ratusan ribu nyawa melayang di Afrika akibat bencana kelaparan, ketika erupsi gunung berapi di Islandia memuntahkan azab dan tsunami di Asia mendatangkan nestapa dan ratusan ribu kematian, sebagian besar manusia di Bumi bisa menyimak peristiwa itu dari jauh, tanpa khawatir bencana-bencana itu akan datang menghampiri.  

Kini semuanya berakhir. Karena pandemi corona mengancam kita semua. 

Editor Politik DW, Christoph StrackFoto: DW/B. Geilert

Sebab itu wabah berkepanjangan ini juga kental akan nuansa spiritualitas. Duka, amarah dan rasa sakit – pada akhirnya semua umat beragama harus menerima bencana kesehatan yang sedang berkecamuk ini sebagai ciptaan Ilahi. 

Beberapa bahkan mengklaim pandemi corona sebagai azab Tuhan. Tapi pandangan seperti itu lebih disebabkan oleh pemahaman sesat tentang perwujudan Ilahi. 

Interupsi bagi Kristen, Yahudi dan Muslim 

Hari-hari ini corona menjadi semacam interupsi. Umat Kristen di dunia menghayati Pekan Suci dan memperingati penderitaan, kematian dan kebangkitan kembali Yesus Kristus. Sementara buat kaum Yahudi, Pesakh dimulai Kamis (9/4) dengan mengenang eksodus dari Mesir dan pembebasan para budak. Dan dalam dua pekan, kaum muslim akan memasuki bulan Ramadan. 

Ketiga agama menyimpan tradisi kolektif untuk hari-hari suci tersebut. Yahudi mengenal makan malam Seder, kaum Kristen menjalani perjamuan malam terakhir, sementara umat Islam melakukan buka puasa bersama dengan kaum miskin dan anak yatim. 

Tahun in, perayaan suci ketiga agama Samawi ditandai oleh interupsi

Di Israel, komunitas Yahudi ultra-ortodoks enggan menaati arahan pembatasan jarak sosial dari pemerintah. Arab Saudi mempertimbangkan pembatalan ibadah Haji tahun ini.  

Betapapun sulitnya, reaksi komunitas agama terhadap larangan berkumpul menunjukkan posisi mereka dalam kaitannya dengan tuntutan modern. Adalah hal langka ketika para Rabi Yahudi mengimbau umatnya di seluruh dunia untuk menaati aturan nasional dalam perang melawan Corona. 

Vatikan tanpa manusia – simbol pandemi 

Adapun pada agama Kristen, foto yang beredar ketika Paus Fransiskus berdiri sendiri di depan lapangan Santo Petrus yang kosong belum lama ini, bernilai simbolik bagi pandemi corona. Pria tua itu berdoa dan mengharap pada Tuhannya. Di hadapannya terbentang lapangan yang lengang, seakan sengaja dikosongkan buat para korban dan mereka yang sedang berjuang melawan COVID-19. 

Bahkan buat abdi Tuhan paling taat sekalipun, wabah corona menciptakan situasi yang serius. 

Buat sebagian orang, perayaan Paskah di Jerman dan Eropa dalam beberapa tahun terakhir menjadi kesempatan beristirahat dari pekerjaan. Buat yang lain, Paskah menjadi semacam interupsi spiritual untuk menyimak kisah tentang Tuhan dan ciptaanNya, tentang Kamis Putih dan perjamuan terakhir, tentang penderitaan Yesus dan penyaliban yang kejam. 

Paskah berkisah tentang Sabtu Suci, hari yang muram tanpa kehadiran Tuhan, hingga kemenangan kehidupan atas kematian, berupa kebangkitan kembali Yesus. 

Dunia memasuki Sabtu Suci 

Pemuka agama di seluruh dunia kini merayakan hari-hari besar keagamaan di depan kamera, dan setiap upacara atau ritual disiarkan langsung kepada para jemaat. Mereka kini mencari alternatif. Mereka akan makan bersama dengan teman dalam arti spiritual, mengkaji ulang kitab-kitab kuno atau membuka diskusi tentang keyakinan, atau sebaliknya. 

Interupsi melumpuhkan kehidupan di Bumi. Dan kita terjebak di malam Paskah, malam tanpa cahaya dan harapan. 

Angka kematian pasien corona harian di Italia, Spanyol, Amerika Serikat dan di seluruh dunia kian mengkhawatirkan. Kehidupan pun tertunda. Apa yang tersisa adalah kebingungan, kegilaan dan rasa sakit.  

Khotbah penuh harapan dari tahun-tahun lalu tidak akan ampuh mengusir kegelisahan di tahun ini. Gereja saat ini lebih bermanfaat lewat simbolismenya, ketimbang kata-kata. 

Namun demikian ada fenomena lain yang sangat penting bagi Iman Kekristenan, yakni kebangkitan kembali. Dan hal itu menjadi penting pada hari-hari seperti saat ini. 

(rzn/as) 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait