Egalitarianisme Islam dan Ketegangan Rasial Antara Muslim AS
30 Juni 2020
Aksi protes antirasisme di AS mengungkap ketegangan rasial antara kaum muslim kulit hitam dengan migran Arab dan Asia Selatan. Kini komunitas muslim ingin mengikis kesenjangan melalui pesan egaliter dalam Islam.
Iklan
Hind Makki terbiasa mengingatkan murid di madrasahnya jika ada yang menggunakan kata “abd” atau “budak/hamba” dalam bahasa Arab untuk memanggil kaum kulit hitam Amerika Serikat.
“Mungkin 85% dari semua jawaban yang saya terima berbunyi ‘oh, kami tidak bermaksud memanggilmu, tetapi orang Amerika’,” kata Makki mengenang pengalaman tak sedap itu dalam sebuah diskusi virtual di tengah gelombang demonstrasi Black Lives Matter di Amerika Serikat.
“Fenomena ini adalah bentuk lain sikap anti kulit hitam, terutama terhadap warga Afrika-Amerika,” kata perempuan muslim berkulit hitam tersebut.
Dalam beberapa pekan terakhir, sebagian warga muslim di AS bergabung ke dalam aksi-aksi demonstrasi antirasisme yang melumpuhkan seluruh negeri. Buntutnya muslim Amerika lintas ras dan etnisitas juga ikut terseret ke dalam arus diskusi tentang identitas, kesetaraan rasial dan fenomena rasisme di kalangan kaum muslim sendiri.
“Semua orang membahas hal ini, entah itu seorang paman yang sudah hidup di sini sejak awal dekade 1970an, pensiunan doktor atau anggota dewan masjid, bahkan murid sekolah menengah atas di pingir kota,” kata Makki yang bekerja sebagai guru.
“Masalah ini harus lebih sering dibahas ketimbang kosakata atau istilah rasis yang seharusnya tidak Anda gunakan. Bagaimana kita bisa mencapai kesetaraan ras... di tempat-tempat yang memang bisa kita ubah?”
Refleksi komunitas muslim soal rasisme
Corak muslim di AS sangat beragam. Tidak ada jenis ras atau etnisitas yang bersifat dominan. Warga kulit hitam sendiri mewakili 20% dari total populasi, menurut survey Pew Research Center pada tahun 2017 silam.
Margari Hill, Direktur Eksekutif Muslim ARC, sebuah ormas Islam antirasisme di AS, mengaku kini lebih banyak warga muslim yang meminta bantuan menyusun agenda diskusi, menyediakan sumber informasi dalam bahasa Arab atau Bengali, atau untuk sekedar bertanya apakah sopan menggunakan sebutan “kulit hitam” atau sebaiknya “Afrika-Amerika.”
“Ada banyak yang saling mengingatkan, atau mengimbau untuk melakukan refleksi diri,” kata Hill. “Kami meminta kaum muslim untuk berkomitmen menanggalkan prasangka lama dan ikut membangun hubungan yang otentik,” yang bisa bertahan lama.
Para aktivis kini berusaha memanfaatkan momentum untuk mengarahkan diskusi menjadi sesuatu yang punya jejak dalam. “Tantangannya adalah jika aksi protes berakhir dan tragedi selanjutnya terjadi, apakah diskusi ini masih akan berlanjut di komunitas muslim?,” kata Imam Dawud Walid, Direktur Council on American-Islamic Relations di Michigan.
Muslim yang Membesarkan Nama Amerika
Donald Trump banyak dikecam karena pernyataannya yang rasis dan diskriminatif, juga terhadap warga Muslim. Ia tidak sadar bahwa selama ini sudah banyak warga Muslim di AS yang ikut membesarkan nama Amerika.
Foto: Getty Images/AFP/Joe Raedle
Muhammad Ali
Mantan petinju terbesar dalam sejarah olahraga ini dihormati pula karena aktivitas sosialnya. Dia memeluk Islam pada tahun 1975. Ia mengatakan: "Kata Islam berarti damai. Kata Muslim berarti orang yang menyerahkan diri pada kepada Allah…. Kristen , Hindu adalah saudara saya, mereka semua adalah saudara saya. Kami hanya berpikir yang berbeda dan percaya berbeda. "
Foto: picture-alliance/dpa/L. Gillieron
Kareem Abdul-Jabbar
Terlahir Ferdinand Lewis Alcindor, Jr, pebasket legendaris ini mencetak rekor angka tertinggi sepanjang masa. Di bangku perguruan tinggi ia masuk Islam dan berganti nama. Dilansir The Washington Post, ia menyebut: " Donald Trump merupakan kemenangan terbesar ISIS… bukannya menawarkan kebijakan nyata dan spesifik, malah memanfaatkan ketakutan publik, dengan melakukan pekerjaan ISIS untuk mereka.”
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Salangsang
Mike Tyson
Tercatat sebagai juara dunia tinju kelas berat termuda dalam sejarah dengan usia 20 tahun, Mike Tyson adalah atlit olahraga paling populer di dekade 1980an. Perjumpaannya dengan Islam berawal dari penjara, ketika ia menghabiskan masa kurungan dalam kasus pemerkosaan tahun 1992. Kini Tyson ikut terjun ke dunia sinema dengan membintangi berbagai film layar lebar
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
Malcolm X
Kehilangan kedua orang tua sejak kecil, Malcolm X alias Malik el-Shabazz menjelma menjadi aktivis kemanusiaan yang menentang diskriminasi dan rasisme terhadap kaum kulit hitam. Kini Malcolm X tercatat sebagai salah satu warga Afrika-Amerika paling berpengaruh dalam sejarah,
Foto: AP
Yasiin Bey
Penyanyi hiphop dan aktor yang juga dikenal dengan nama Mos Def ini merupakan nominator Emmy Award, Grammy Award dan Golden Globe. Namun artis multi talenta ini lebih dikenal untuk aktivisme sosialnya, terutama pada isu-isu yang berkaitan dengan kebrutalan polisi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/L.Zuydam
Huma Abedin
Huma Abedin pernah menjadi wakil kepala Departemen Luar Negeri AS. Kini ia dipercaya sebagai wakil ketua kampanye Hillary Clinton yang maju sebagai bakal calon kandidat presiden AS.
Foto: picture-alliance/dpa/D.Van Tine
Fareed Zakaria
Ia pernah menjadi editor majalah Time dan Newsweek International. Pria AS kelahiran India ini juga pernah meraih penghargaan sebagai kolumnis terbaik. Fareed yang menajdi warga Amerika lewat proses naturalisasi ini kini menjadi pembawa acara talkshow politik di CNN dan menulis kolom mingguan untuk Washington Post.
Foto: AP
Salman Khan
Ketika pebisnis ini bekerja sebagai analis, dia punya satu mimpi: membuat pendidikan lebih mudah diakses. Pada tahun 2006, mimpi itu menjadi kenyataan ketika ia meluncurkan Khan Academy, yaitu pembelajaran online yang memungkinkan orang untuk mempelajari segala sesuatu, mulai dari matematika sampai pemrograman. Ia salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia, versi majalah Time 2012.
Foto: CC by Steve Jurvetson
Shaquille O'Neal
Meski tidak pernah mengungkapkan keyakinannya ke publik, Shaquille O'Neal dikenal dekat dengan Islam. Ia antara lain dibesarkan oleh seorang ayah tiri yang seorang muslim. Ketika masih bermain untuk klub Boston Celtics, Shaq bahkan pernah mengungkapkan niatnya untuk melakukan ibadah Haji.
Foto: picture-alliance/Pressefoto Ulmer
Hakeem Abdul Olajuwon
Dengan tinggi badan lebih dari dua meter, Hakeem Abdul Olajuwon merupakan salah satu dari lima pemain legendaris NBA. Dia tak takut jika Donald Trump menjadi presdien, karena menurutnya,di AS, setiap hak warga negara dilindungi.
Foto: picture-alliance/Photoshot
10 foto1 | 10
Dia mengimbau agar kepemimpinan organisasi-organisasi muslim di Amerika Serikat lebih mewakili keragaman ras dan etnisitas warga muslim AS.
Desakan tersebut didukung Basharat Saleem, Direktur Eksekutif Islamic Society of North America (ISNA), yang tidak memiliki perwakilan kulit hitam di dewan direksinya. Meski menilai sudah banyak berbuat untuk menjembatani kesenjangan ras di organisasinya, Saleem mengaku masih harus lebih banyak berbuat.
Dia memberikan contoh konvensi tahunan ISNA, yang kendati rajin memberikan podium diskusi kepada tokoh muslim Afrika-Amerika, namun tidak mampu menjaring minat muslim kulit hitam untuk datang.
“Kami harus lebih giat berkecimpung dengan komunitas ini,” kata Saleem.
Dua sisi mata uang antara kaum migran dan warga kulit hitam
Melalui media sosial, warga muslim kulit hitam AS berusaha menyuarakan pengalaman mereka menyandang predikat minoritas ganda yang bergulat antara rasisme dan islamofobia.
Pengalaman menjadi korban rasisme bisa sangat “melelahkan,” kata Hill. Dia berkisah pernah dipanggil “budak” dalam bahasa Arab di sebuah toko milik seorang muslim. Pada suatu waktu, dia ditanya apakah “benar-benar bisa membaca” al-Quran yang ingin dia beli. “Tidak ada yang merasa harus membuat pembelaan atas kemanusiaan atau keyakinan sendiri.”
Ubaydullah Evans, seorang peneliti tamu di lembaga pendidikan American Learning Institute for Muslims, mengaku mengalami tindak “rasisme antarindividu” dari sejumlah warga muslim. Namun begitu dia juga mengakui ragam muslim nonhitam lainnya yang “selalu berusaha membantu membangun komunitas” dan bekerjasama dengan warga Afrika Amerika.
Walid, sebagaimana muslim yang lain, meyakini Islam mengkampanyekan egalitarianisme.
Sejak beberapa tahun terakhir sejumlah organisasi berusaha membangun jembatan. Beberapa kini mengeluarkan imbauan resmi agar tidak lagi menggunakan kata “abd” atau budak kepada warga Afrika-Amerika.
Menurut Ubaydullah Evans, sebagian muslim kulit hitam AS “sudah sedemikian menderita, akan sangat sulit bagi mereka untuk membangun rasa percaya.” Tindak rasisme kepada muslim kulit hitam, kata Evans kepada Athlantic, lebih banyak berasal dari komunitas Arab dan Asia Selatan.
Menurut Sylvia Chan-Malik, yang mengajar Islam dan sejarah rasisme di Rutgers University, ketegangan antarmuslim banyak berakar pada persepsi yang berbeda tentang Amerika Serikat.
Karena ketika warga Afrika Amerika sejak awal melihat Islam sebagai pintu keluar bagi fenomena rasisme anti kulit hitam di AS, dan “bahwa polisi mengancam komunitas hitam,” muslim dari kalangan migran sebaliknya “ingin mempercayai gagasan Amerika sebagai negeri harapan, dan mendukung penuh sistem,” yang selama ini menganaktirikan warga Afrika-Amerika.
Dan karena Islam masuk ke AS lewat “kebudayan, pengalaman dan perspektiv budak Afrika,” lanjut Chan-Malik, “Anda tidak bisa menceraikan Islam di Amerika dengan pengalaman pahit warga Afrika-Amerika.”
*Laporan ini dibuat secara ekslusif oleh kantor berita AS, Associated Press, dan disadur sesuai konteks.
rzn/as (ap, the athlantic, nytimes)
Potret Desa Muslim AS Yang Dicap "Sarang Teroris"
Pada dekade 1980-an sekelompok muslim membangun sebuah desa di tepi kota New York, AS, buat mencari kedamaian. Kini desa Islamberg dianggap sarang terorisme dan menjadi simbol permusuhan bagi kaum kanan Amerika.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Mencari Damai di Desa Kecil
Sebuah desa kecil sekitar 190 km dari New York menampung migran muslim dan menamakan diri "Islamberg." Suasana desa berpenduduk sekitar 40 keluarga yang asri dan nyaman terkesan kontras dengan tudingan miring yang dilayangkan kelompok kanan AS. Islamberg dianggap sebagai sarang terorisme,
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Mengasingkan Diri
Adalah pengikut tokoh Sufi asal Pakistan, Syeikh Mubarik Gilani, yang membangun pemukiman muslim di New York. Penduduknya kebanyakan adalah generasi kedua atau ketiga pendatang Afro-Amerika. Kendati banyak yang bekerja di luar kota, penduduk Islamberg cenderung tertutup. Satu-satunya kontak dengan dunia luar adalah lewat klub olahraga lokal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Oase Terpinggirkan
Islamberg terletak agak terpencil di tepi gunung Catskill. Satu-satunya akses ke dunia luar adalah sebuah jalan sempit berbatu. Sebuah supermarket kecil memasok bahan pangan dan kebutuhan pokok untuk penduduk lokal. Hingga baru-baru ini semua warga terbiasa membiarkan pintu rumah terbuka saat berpergian.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
"Mimpi Buruk Terparah AS"?
Belakangan Islamberg sering menjadi sasaran ujaran kebencian kelompok kanan AS. Blog Freedom Daily misalnya pernah mengklaim sebuah penggerebekan di Islamberg atas perintah Presiden Donald Trump mengungkap "mimpi buruk paling parah buat Amerika," yakni kamp pelatihan Jihad buat teroris. Tudingan tersebut kemudian dibantah oleh berbagai media besar.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Disambangi Kaum Kanan
Serangan terhadap Islamberg tidak sebatas ujaran kebencian. Tidak lama setelah geng motor "American Bikers Against Jihad" menyambangi Islamberg, seorang penduduk Tenessee ditangkap karena menyerukan pembakaran mesjid di Islamberg. Wali Kota Islamberg, Rashid Clark, menganggap kabar palsu dan ujaran kebencian terhadap desanya sebagai ancaman terbesar.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Pembelaan Kepolisian
Kepolisian setempat juga menepis tudingan tersebut. "Penduduk di sini adalah warga negara AS. Mereka telah hidup di sini sejak lebih dari 30 tahun. Mereka membangun komunitas dan menjalin kontak dengan dunia luar. Di sini tidak pernah ada masalah," kata James Barnes dari Biro Investigasi Kriminal Kepolisian New York.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Label Teror dari Dekade Lampau
Tudingan miring terhadap Islamberg antara lain terkait keberadaan organisasi Muslims of America (MoA) yang bermarkas di sana. Menurut pemerintah AS MoA adalah pecahan dari kelompok kriminal "Jemaat al-Fuqra" yang aktif pada dekade 1980-an. "Kalau kami melatih teroris sejak 30 tahun," kata Ketua MoA Hussein Adams, "kenapa sampai sekarang belum ada serangan?"
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Setumpuk Rasa Frustasi
Tudingan miring tersebut membuat frustasi penduduk Islamberg. "Mereka tidak mengganggu siapa pun," kata Sally Zegers, editor harian lokal Hancock Herald kepada Associated Press.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Lennihan
Normalisasi Kebencian
Hingga kini gelombang kebencian terhadap Islamberg belum mereda. Tahirah Clark yang bekerja sebagai pengacara hanya bisa berdoa sembari berharap segalanya akan berakhir. Namun hingga saat ini penduduk Islamberg harus membiasakan diri terhadap celotehan pedas kelompok konservatif kanan.