Ekonomi Cina Melambat Akibat Pandemi Corona Hingga Utang
19 Oktober 2021
Masalah utang di sektor properti, krisis energi dan kelangkaan akibat pandemi corona membuat pertumbuhan ekonomi Cina melemah. Cina berusaha membuat ekonominya lebih berkelanjutan dengan fokus pada konsumsi domestik.
Iklan
Ekonomi Cina tumbuh hanya di bawah 5% pada kuartal ketiga tahun ini. Angka tersebut mewakili perlambatan pemulihan ekonomi Cina dari pandemi virus corona, sementara pertumbuhan pada kuartal pertama dan kedua lebih tinggi.
Pertumbuhan PDB Cina untuk kuartal pertama tahun ini tercatat mencapai rekor 18,3%. Angka ini turun menjadi tinggal 7,9% untuk kuartal kedua dan sekarang merosot ke kisaran 4,9% untuk kuartal ketiga.
Seorang juru bicara Biro Statistik Nasional (NBS) yang menerbitkan data, mengatakan pelemahan ini terkait pada "ketidakpastian lingkungan internasional yang saat ini meningkat, dan pemulihan ekonomi domestik yang masih tidak stabil dan tidak merata."
Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia ini berjuang menghadapi kekurangan energi dan perlambatan di pasar real estate, serta diperburuk oleh hutang besar perusahaan raksasa properti Evergrande.
Mengapa pertumbuhan ekonomi Cina melambat?
Rebound awal telah diredam oleh serangkaian faktor penghambat. Kekhawatiran atas sektor properti tetap tinggi. Tetapi tindakan keras pemerintah terhadap perusahaan teknologi, lockdown regional yang berkelanjutan dengan tujuan menghilangkan kasus COVID-19, serta kekurangan pasokan listrik, semuanya memainkan peran kunci.
Iklan
Penjualan ritel domestik naik 4,4%, dibandingkan periode yang sama tahun lalu, karena pembatasan virus corona telah dilonggarkan.
Cina berusaha membuat ekonominya lebih berkelanjutan, dengan fokus yang lebih besar pada konsumsi domestik daripada ekspor, dan dengan pengetatan risiko keuangan.
Beiijing juga membatasi penggunaan energi, memaksa beberapa pabrik untuk menghentikan produksi pada bulan September untuk menghindari kelebihan penggunaan energi.
Kekuatan Ekonomi Global Masa Depan
Cina diprediksi akan merajai perekonomian dunia tahun 2050 menurut Economist Intelligence Unit. Tapi kiprah negeri tirai bambu itu bukan temuan yang paling mengejutkan, melainkan posisi Indonesia.
Foto: Fotolia
1. Cina
Negeri tirai bambu ini berada di peringkat kedua daftar negara sesuai besaran Produk Domestik Brutto-nya (PDB). Cina tahun 2014 berada di posisi kedua, di bawah AS dengan 11,212 Triliun Dollar AS. Tapi pada tahun 2050, Economist Intelligence Unit memprediksi Cina akan mampu melipatgandakan PDB-nya menjadi 105,916 Triliun Dollar AS.
Foto: imago/CTK Photo
2. Amerika Serikat
Saat ini AS masih mendominasi perekonomian global. Dengan nilai nominal PDB yang berada di kisaran 17,419 Triliun Dollar AS per tahun, tidak ada negara lain yang mampu menyaingi negeri paman sam itu. Tapi untuk 2050 ceritanya berbeda. AS akan turun ke peringkat dua dengan nilai PDB 70,913 Triliun Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa/J. F. Martin
3. India
Tahun 2050 India akan menikmati pertumbuhan konstan di kisaran 5%, menurut studi EIU. Saat ini raksasa Asia Selatan ini bertengger di posisi sembilan daftar raksasa ekonomi terbesar dunia dengan nilai PDB 2 Triliun Dollar AS. Tapi 35 tahun kemudian India akan merangsek ke posisi ketiga di bawah AS dengan pendapatan nasional sebesar 63 triliun Dollar AS.
Foto: Reuters/N. Chitrakar
4. Indonesia
Perekonomian Indonesia membaik setekah tiga kali bangkrut menyusul krisis moneter berkepanjangan. Saat ini Indonesia mencatat nilai nominal PDB sebesar 895 Miliar Dollar AS dan berada di peringkat 16 dalam daftar kekuatan ekonomi global. Tahun 2050, Econimist Intelligence Unit memproyeksikan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat dengan PDB sebesar 15,4 Triliun Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
5. Jepang
Serupa AS, Jepang terpaksa turun peringkat di tahun 2050. Saat ini negeri sakura itu masih bertengger di posisi ketiga kekuatan ekonomi terbesar sejagad, dengan perolehan PDB sebesar 4,6 Triliun Dollar AS. 35 tahun kemudian, Jepang digeser oleh Indonesia dan terpaksa melorot ke peringkat lima dengan 11,7 Triliun Dollar AS.
Foto: AP
6. Jerman
Perekonomian Jerman banyak ditopang oleh sektor riil yang didominasi oleh industri padat karya. Tapi menurut EIU, justru sektor inilah yang akan banyak menyusut di masa depan. Jerman diyakini bakal kehilangan seperlima tenaga kerjanya pada 2050. Hasilnya, Jerman yang saat ini di posisi keempat dengan PDB sebesar 3,8 Triliun, akan merosot ke posisi enam dengan perolehan 11,3 Triliun Dollar AS.
Foto: imago/Caro
7. Brasil
Dari semua negara di posisi sepuluh besar, cuma Brasil yang tidak berubah. Saat ini raksasa Amerika Selatan itu berada di posisi tujuh dengan nominal PDB sebesar 2,3 Triliun Dollar AS. Di posisi yang sama Brasil bakal mencatat perolehan sebesar 10,3 Triliun Dollar AS tahun 2050.
Foto: picture-alliance/dpa/W. Rudhart
7 foto1 | 7
Apa konsekuensinya bagi dunia?
Efeknya bagai riak gelombang ke seluruh dunia "bisa menjadi signifikan" karena melemahnya permintaan Cina untuk bahan baku, kata perusahaan investasi Fidelity International dalam sebuah laporan.
"Bahkan pasar di negara maju, termasuk AS, tidak akan kebal terhadap pengetatan signifikan dalam kondisi keuangan global sebagai akibat dari goncangan pertumbuhan negatif Cina yang disertai dengan tekanan keuangan," tambahnya.
Perlambatan di bidang manufaktur menyebabkan beberapa barang mungkin tidak dikirimkan tepat waktu, meningkatkan kemungkinan kekurangan barang-barang konsumen utama menjelang musim belanja Natal.
Saat ada harapan bahwa Cina dapat melonggarkan pembatasan pinjaman untuk mengucurkan lebih banyak uang tunai ke dalam perekonomian, Louis Kuijs dari Oxford Economics memperingatkan bahwa "pertumbuhan ekonomi akan melambat lebih lanjut."