1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Ekonomi Iran Merosot Tajam di Bawah Sanksi AS

Shora Azarnoush
25 Oktober 2019

Laporan baru-baru ini menggambarkan prospek yang suram bagi ekonomi Iran pada tahun 2020. Penerapan sanksi yang meluas telah memukul perekonomian dengan begitu telak dan rakyat jelata di Iran memikul beban resesi.

Gelscheine Iran Banknoten
Foto: Imago/Upi Photo

Indikator ekonomi Iran yang baru saja dirilis oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia menunjukkan dampak sanksi terhadap negara yang ekonominya banyak digerakkan oleh bahan bakar minyak ini. Dalam laporan Outlook Ekonomi Dunia yang diterbitkan pada Oktober 2019, IMF mengatakan ekonomi Iran akan terkontraksi sebesar 9,5 persen tahun ini.

Angka ini menjadikan 2019 sebagai salah satu tahun terburuk bagi perekonomian Iran sejak 1984. Hanya ekonomi Libya (19 persen kontraksi dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB)) dan Venezuela (35 persen kontraksi PDB) yang diperkirakan berkinerja lebih buruk pada 2019.

Dalam laporan ekonomi terbaru tentang Iran yang diterbitkan pada 9 Oktober ini, Bank Dunia juga memprediksi hal serupa yaitu yaitu 8,7 persen kontraksi untuk ekonomi Iran pada 2019 karena "anjloknya" ekspor minyak dan gas, bersamaan dengan sanksi baru yang dikenakan pada sektor logam, pertambangan dan maritim Iran.

Bank Dunia mengatakan prediksi penurunan pertumbuhan ini berarti bahwa pada akhir 2019, ekonomi Iran akan menyusut sebesar 10 persen dibandingkan dua tahun lalu.

IMF dan Bank Dunia memang memperkirakan akan ada pertumbuhan antara 0 dan 0,5 persen pada 2020. Namun pertumbuhan ini dimulai dari basis yang jauh lebih kecil, dan bergantung kepada faktor apakah Iran akan mampu mengekspor 500.000 barel minyak setiap hari.

Setelah dicabutnya sanksi internasional pada tahun 2016 di bawah kesepakatan nuklir yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), ekonomi Iran bertumbuh lebih dari 13 persen, dengan pendapatan dari minyak pada tahun 2017 sebesar 57,4 miliar dolar AS (lebih dari Rp 800 triliun) akibat meningkatnya volume ekspor, demikian menurut IMF.

Namun pada Mei 2018, AS di bawah Presiden Donald Trump menarik diri dari kesepakatan itu, dan pada November 2018 sepenuhnya memberlakukan kembali sanksi unilateral yang menargetkan hampir setiap sektor ekonomi Iran.

Ancaman inflasi dan pengangguran

Laporan IMF pada Oktober 2019 menunjukkan meroketnya inflasi di Iran hingga sebesar 35,7 persen. Ini berarti harga rata-rata barang-barang konsumsi selama setahun terakhir telah meningkat sebesar persentase tersebut. Bank Dunia mengatakan bahwa kenaikan ini "secara tidak proporsional mempengaruhi penduduk pedesaan" dan khususnya untuk bahan makanan.

Pusat Statistik Iran (SCI) mengeluarkan penilaian yang lebih pesimistis lagi dengan tingkat inflasi secara umum mencapai 47,2 persen dan inflasi bahan makanan dan bahan bakar sebesar 63,5 persen.

Para ahli tentang Iran mengatakan bahwa orang-orang paling terpengaruh dengan inflasi harga barang-barang kebutuhan pokok.

"Ketika orang-orang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli barang kebutuhan pokok, mereka tidak lagi memiliki banyak uang tersisa untuk hal lain," ujar Ehsan Soltani, seorang ekonom yang berbasis di Iran. Ia menambahkan bahwa orang tidak lagi akan memiliki uang lebih untuk berbelanja jenis barang lainnya yang kemudian akan mengarah pada stagnasi ekonomi yang parah.

Pada akhir Agustus 2019, SCI melaporkan tingkat inflasi sekitar 60 persen untuk makanan, minuman dan tembakau dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut laporan yang sama, harga rata-rata harga perumahan per meter persegi naik 82 persen.

"Ketika tingkat inflasi ini ditempatkan bersamaan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi negatif, akan ada 'stagflasi,'" yang berarti stagnasi plus inflasi, kata Sara Bazoobandi, rekanan senior di Atlantic Council, sebuah lembaga kebijakan di Washington. Ia menambahkan ini adalah bencana sosial dan ekonomi.

SCI mengatakan tingkat pengangguran di Iran turun menjadi 10,5 persen pada bulan September. Namun tampaknya penurunan angka pengangguran ini lebih terkait pada pendefinisian kata 'bekerja' daripada betul-betul penciptaan lapangan kerja.

Definisi baru mengatakan bahwa orang Iran yang berusia 15 tahun ke atas dan bekerja setidaknya satu jam per minggu dihitung sebagai orang yang memiliki pekerjaan. Pengangguran di antara kaum muda telah mencapai 26 persen di negara berpenduduk 80 juta orang ini, di mana 40 persen penduduknya berusia di bawah 25 tahun.

"Dalam ekonomi dengan minyak bumi sebagai produk tunggal seperti Iran, pemerintah adalah penyedia lapangan kerja utama. Ketika ekspor minyak dibatasi oleh sanksi, investasi pemerintah akan berkurang, dan akibatnya banyak pekerjaan akan hilang," kata Bazoobandi, menambahkan bahwa ini menyebabkan tertundanya pembayaran upah, PHK dan pemogokan pekerja reguler di  pemerintahan.

Apa yang bisa dilakukan Teheran?

Publikasi laporan IMF dan proyeksi negatif untuk ekonomi Iran ini menyulut gelombang kritik dan cemoohan terhadap Presiden Hassan Rouhani di berbagai platform media sosial.

Para politisi Iran berusaha menghindari berbicara masalah ekonomi negara itu. Sehari sebelum laporan IMF diterbitkan, Rouhani berpidato tentang bagaimana mengatasi "badai" dan bergerak menuju perbaikan ekonomi.

Namun, dengan berlanjutnya sanksi "tekanan maksimum" dari Trump, dan tanpa adanya pengajuan kebijakan konkret dari Teheran untuk mengatasi proyeksi suramnya ekonomi, Iran bisa jadi akan menghadapi lebih banyak kesulitan pada tahun 2020.

ae/ts