Berkat sistem lembaga pemilihan ini, dua kandidat yang tidak memiliki suara mayoritas terpilih sebagai presiden. Terakhir terjadi tahun 2016, saat Donald Trump unggul atas Hillary Clinton berkat Electoral College.
Iklan
Bagi kebanyakan warga negara Amerika Serikat sekalipun, sistem pemilihan presiden di negaranya sulit dimengerti. Semua warga negara AS yang berusia di atas 18 tahun berhak memberikan suara dalam pemilihan presiden 3 November 2020. Tapi calon yang paling banyak meraih suara tidak otomatis berarti akan jadi pemenangnya. Sebuah lembaga yang disebut "Electoral College" atau Lembaga Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden jadi penentu terakhir. Lembaga itu terdiri dari 538 orang wakil.
Dari 50 negara bagian di AS, kuota wakil dari tiap negara bagian dalam lembaga itu jumlahnya berbeda-beda. Wakil tiap negara bagian dalam lembaga itu terdiri dari orang-orang yang duduk dalam dua kamar Kongres, yaitu: Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative) dan Senat. Dalam Dewan Perwakilan Rakyat, jumlah wakil negara bagian tergantung jumlah populasinya. Sementara dalam Senat, tiap negara bagian diwakili dua senator.
Misalnya, negara bagian New York punya 27 kursi dalam Dewan Perwakilan Rakyat, dan dua Senator. Berdasarkan rumus ini, Partai Demokrat dan Republik di New York memiliki 29 pemilih yang duduk dalam Electoral College. "Mereka biasanya pendukung setia partai," kata George Edwards III, seorang pakar Electoral College pada Texas A&M University.
Demokrasi tak langsung
Saat warga Amerika memberikan suaranya tanggal 3 November, sebenarnya mereka menentukan partai mana di negara bagian mereka yang dipilih untuk mengirimkan wakil pemilih ke Electoral College. Nanti di bulan Desember, wakil pemilih ini berkumpul di ibukota tiap negara bagian dan memberikan suara bagi calon presiden. Baru Januari 2021, Kongres menerima dan menghitung suara yang diberikan semua pemilih dari 50 negara bagian dan dan dari Washington DC.
Kandidat yang berhasil meraih 270 suara pemilih di Electoral College, berarti terpilih menjadi presiden AS. Biasanya, calon yang dapat paling banyak suara di bulan November juga jadi calon yang mendapat paling banyak suara pada Electoral College Desember nanti. Tapi tidak selalu begitu. Jika hasilnya tidak sama, yang menentukan adalah pengumpulan suara pada Electoral College.
Iklan
Pemilih tak puas
Badan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu terbentuk dari kompromi yang tercapai antara orang-orang yang merumuskan konstitusi AS, yang disahkan tahun 1788. Ketika itu, demokrasi jarang terjadi dan tidak teruji. Sebagian dari mereka khawatir, demokrasi langsung akan mengarah pada situasi kacau-balau.
AS mengalami perubahan drastis dalam beberapa ratus tahun setelah didirikan, tapi lembaga Electoral College tetap ada dan berfungsi, walaupun mayoritas orang AS lebih suka jika lembaga itu tidak ada lagi. Menurut jajak pendapat Gallup tahun 2011, 60% rakyat lebih memilih pemilihan presiden secara langsung.
Di 48 negara bagian, Electoral Collage bersifat "the winner takes it all". Misalnya di California, secara tradisional sebagian besar penduduk memilih calon dari Partai Demokrat. Artinya, sebagian besar suara pemilih dari negara bagian itu selalu diberikan bagi kubu Demokrat. Sementara Partai Republik yang minoritas tidak terwakili di antara pemilih.
Akibatnya, Partai Demokrat sudah mengantongi California sejak awal, dan Republik tidak berusaha menang di sana. Situasi sama juga terjadi di Texas, tetapi terbalik. Di sana yang "berkuasa" adalah Partai Republik.
Sehingga akhirnya, negara bagian yang disebut "swing state" jadi medan laga bagi kedua kubu. Di sana kedua calon punya peluang sama untuk menang.
Pemilu AS dari Kacamata Kartunis
Donald Trump atau Joe Biden? Begini kacamata kartunis di seluruh dunia saat kedua kandidat berhadapan dalam debat terakhir.
Dua calon presiden saling mendiskreditkan satu sama lain
Apa yang terjadi dengan budaya debat politik di AS, tanya kartunis Ceko Marian Kamensky. Konfrontasi pertama di TV antar calon persiden merosot menjadi pertarungan lumpur. Alih-alih bertukar argumen, mereka saling menghina satu sama lain. Debat kedua pada tanggal 22 Oktober memiliki aturan yang lebih ketat, termasuk mikrofon yang dinonaktifkan untuk menghentikan interupsi.
'Taktik kotor' dan medan yang sulit
Pasangan Biden, Kamala Harris, menyebut strategi yang digunakan oleh petahana sebagai "taktik kotor". Demokrat tengah melalui medan yang sulit. Itu yang digambarkan karikatur Jerman karya Jens Kricke. Donald Trump, sang petahana, sepertinya tidak peduli. Dia tampak menyendiri, seperti penyihir jahat dalam dongeng.
Foto: Jens Kricke/toonpool.com
Propaganda yang dibuat-buat
Presiden ini senang melebih-lebihkan dengan berkata, "Saya orang paling tidak rasis yang pernah anda lihat", "Tidak ada yang lebih menghormati perempuan daripada saya" atau "Saya lebih memahami uang daripada orang lain." Dia pun yakin AS tidak pernah memiliki presiden yang lebih baik. Dalam sketsa karya Martin Erl ini, Trump memuji seorang fotografer sebagai "salah satu yang terbaik di dunia."
Foto: Martin Erl/toonpool.com
'Si Pengantuk Joe' dan 'Si Badut'
Biden adalah "orang tua yang mengantuk" dan "boneka kiri radikal," kata Trump, yang terus-menerus memotong lawannya dalam debat pertama. Biden menanggapi dengan menyebut Trump sebagai seorang rasis, pembohong, badut dan "presiden terburuk yang pernah dimiliki Amerika." Para komentator menyebutnya sebagai salah satu debat terburuk yang pernah dilihat Amerika. Seniman Italia Christi sangat setuju.
Perilaku kekanak-kanakan
Banyak orang Afrika juga heran dengan perilaku Trump yang tidak terlalu negarawan. Kartunis Damien Glez dari Burkina Faso melihat presiden sebagai anak nakal kecil yang ingin mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa peduli harganya. Apa yang tidak cocok harus dibuat pas dan dengan paksa. Orang-orang hanya berharap presiden tidak menekan tombol nuklir.
Trumpzilla
Film Godzilla Jepang pertama muncul di layar pada tahun 1954. Kemana pun kadal raksasa itu pergi, ia meninggalkan kerusakan. Kartunis Takeshi Kishino menciptakan sosok presiden AS yang kejam menjadi monster Godzilla raksasa. Bisakah Joe Biden memiliki peluang melawan Trumpzilla ini?
Laki-laki alfa tetap bersatu
Donald Trump dikelilingi para penguasa yang tidak terlalu peduli dengan norma demokrasi: Putin, Erdogan, dan diktator Korea Utara Kim Jong Un. Kartunis Belanda Tjeerd Royaards merasa bahwa kesamaan yang dimiliki para politisi ini adalah perilaku mereka-mereka yang mengaku sebagai lelaki alfa. Trump menyebut Biden, di sisi lain, sebagai orang tua yang lemah - yaitu baginya, bukan lawan yang serius.
Pemungutan suara melalui surat? Tidak mungkin!
Trump mengatakan penipuan akan merajalela dan surat suara dengan namanya akan ditemukan di keranjang sampah. Selama berbulan-bulan, Trump telah menyerang konsep pemungutan suara melalui surat dan memotong dana untuk layanan pos. Marian Kamensky merangkum situasinya di sini. Karena risiko yang ditimbulkan oleh pandemi corona, banyak Demokrat dan pihak lain ingin memberikan suara melalui surat.
Foto: Waldemar Mandzel/Toonpool
Uluran bantuan?
Dalam protesnya terhadap layanan pos, Trump lalai menyebutkan bahwa ia sendiri telah memberikan suara melalui surat pada beberapa kesempatan. Meskipun FBI menyatakan bahwa tidak ada kecurangan pemilihan di AS, Trump bersikeras bahwa AS terancam oleh "pemilihan yang paling curang dalam sejarah." Jika perlu, dia bisa mendapatkan bantuan dari luar negeri, kata kartunis Yunani Kostas Koufogiorgos.
Foto: Kostas Koufogiorgos/toonpool.com
Trump sebagai presiden
Pendukung Trump tidak hanya ditemukan di AS, tetapi juga di negara lain. Atas nama kartunis di seluruh dunia, Mark Lynch dari Australia menginginkan Trump sebagai presiden AS untuk masa jabatan kedua. "Kami membutuhkan teman kami" dan "Kami mencintai kepala Twitter", teriak para demonstran - karena tidak ada politisi lain yang menawarkan bahan mentah sebagai bahan kartun sebanyak Trump.
Tidak akan bergerak
Trump telah berulang kali menjelaskan bahwa ia ingin tetap berada di Gedung Putih. Seandainya ia kalah dalam pemilihan, ia belum secara tegas menyetujui masa transisi damai. Ia hanya mengatakan: "Baiklah, kita akan lihat apa yang terjadi." Ia sudah memanggil pendukungnya untuk melaksanakan protes jika ia tidak terpilih kembali.
Foto: Cartoonfix/toonpool.com
Dinasti yang stabil
Trump juga mempertanyakan konstitusi Amerika dan aturan yang melarang masa jabatan ketiga. Apakah ia ingin menjadi presiden seumur hidup? Seluruh keluarga Trump sering muncul di rapat umum kampanye, termasuk putra bungsu presiden, Barron. Hal ini memicu visi kartunis Jerman Christiane Pfohlmann tentang lahirnya monarki di AS. (Ed: st/rap) Penulis: Suzanne Cords
Foto: Chrsitiane Pfohlmann/toonpool.com
12 foto1 | 12
Dorong reformasi
Walaupun sebagian besar orang AS ingin sistem diubah, reformasi juga tidak mudah dilaksanakan. Mengubah konstitusi untuk menghapus Electoral College perlu dua pertiga suara di Kongres dan tiga perempat dari seluruh negara bagian.
Sebuah inisiatif yang disebut National Popular Vote berupaya melaksanakannya. 10 negara bagian dan ibukota AS Washington DC sudah menyatakan akan selalu memberikan suara pada Electoral College kepada calon yang dapat suara mayoritas rakyat. Supaya berhasil, National Popular Vote harus ditandatangani sebanyak mungkin negara bagian hingga 270 suara. Sejauh ini upaya baru berhasil 61%. (ml/as)