Para peneliti mengatakan emisi karbon global turun sekitar 2,4 miliar metrik ton tahun ini karena kebijakan lockdown yang disebabkan pandemi corona. Namun, emisi disebut dapat meningkat lagi setelah pandemi berakhir.
Iklan
Dalam studi Proyek Karbon Global yang dirilis pada Jumat (11/12), dilaporkan emisi karbon dioksida pada tahun 2020 turun sebesar 7%. Ini adalah penurunan terbesar yang pernah ada. Penurunan ini disebabkan karena negara-negara di seluruh dunia memberlakukan kebijakan penguncian dan pembatasan dalam upaya menahan laju penyebaran virus korona.
Pada tahun di mana pandemi corona tengah berlangsung, emisi karbon terpangkas sekitar 2,4 miliar metrik ton, memecahkan rekor penurunan tahunan sebelumnya, antara lain 0,9 miliar metrik ton pada akhir Perang Dunia II atau 0,5 miliar metrik ton pada tahun 2009 ketika krisis keuangan global melanda.
Para peneliti mengatakan emisi turun dikarenakan banyak orang tetap tinggal di rumah dan lebih sedikit orang bepergian dengan mobil atau pesawat.
Sektor transportasi jadi penyumbang terbesar dari penurunan angka emisi karbon dioksida global.
Emisi dari transportasi darat turun sekitar setengahnya pada bulan April ketika gelombang pertama virus corona mencapai puncaknya. Pada bulan Desember ini, emisi transportasi darat telah turun 10% dari Desember tahun lalu. Emisi dari penerbangan juga dilaporkan turun 40% tahun ini.
Sementera aktivitas industri, yang menyumbang 22% dari total emisi global, turun 30% di beberapa negara sebagai dampak dari kebijakan penguncian yang ketat. AS dan Uni Eropa mengalami penurunan emisi yang paling menonjol, masing-masing turun 12% dan 11%. Namun, di Cina hanya turun sebesar 1,7% di mana saat ini negeri Tirai Bambu itu tengah berusaha memulihkan kondisi ekonominya.
Salah satu penulis studi, Corinne LeQuere, seorang ilmuwan iklim di Universitas East Anglia menjelaskan mengapa Cina mengalami penurunan yang rendah. Cina disebut menerapkan lockdown lebih awal dan tidak mengalami gelombang kedua virus corona separah negara-negara lain. Emisi Cina lebih besar disumbangkan oleh sektor industri daripada transportasi.
Berdasarkan Perjanjian Iklim Paris, yang ditandatangani lima tahun lalu, pengurangan emisi sebesar 1 hingga 2 miliar metrik ton per tahun pada dekade ini diperlukan untuk membatasi suhu global agar tidak naik melebihi 2 derajat Celcius. Sejak tahun 2015, emisi karbon global terus meningkat setiap tahunnya. PBB mengatakan angka emisi harus turun 7,6% setiap tahun pada 2030 agar kenaikan suhu tidak melebihi angka yang lebih ambisius ditargetkan, yakni 1,5 derajat Celcius.
Iklan
Lockdown bukan solusi
"Tentu saja, penguncian sama sekali bukan cara untuk mengatasi perubahan iklim," kata LeQuere.
Para ahli telah memperingatkan bahwa emisi dapat meningkat kembali setelah pandemi berakhir, meskipun masih terlalu dini untuk mengatakan dengan cepat bahwa emisi akan melonjak kembali. Tren emisi jangka panjang akan bergantung pada bagaimana negara-negara di dunia menjalankan pemulihan ekonomi pascapandemi.
"Semua elemen belum bersatu untuk penurunan berkelanjutan emisi global, dan emisi perlahan-lahan kembali ke level 2019," kata LeQuere.
10 Kota Dengan Jejak Karbon Tertinggi Di Dunia
Kota-kota menyumbangkan sebagian besar emisi karbon global. 100 pusat perkotaan membentuk 18 persen emisi di seluruh dunia. Inilah 10 kota metropolitan dengan jejak karbon tertinggi.
Foto: picture-alliance/AP/Joseph Nair
10. Riyadh, Arab Saudi
Kota terbesar di Arab Saudi ini adalah juga kota paling tercemar, terutama karena aktivitas industrinya. Para peneliti menemukan bahwa kota berpenduduk padat menyumbang sebagian besar emisi total di sebuah negara. Area kota besar menghabiskan lebih dari 70 persen total energi dunia - yang berarti bahwa kota-kota metropolitan punya pengaruh besar mengubah situasi iklim global.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Schreiber
9. Tokyo, Jepang
Hanya sekitar 2 persen mobil baru yang dijual di Tokyo ramah lingkungan. Daerah perkotaan Tokyo-Yokohama, dengan populasi urban terbesar dunia, memancarkan CO2 dalam jumlah besar setiap tahun - 62 juta ton untuk Tokyo saja. Tetapi Deklarasi Tokyo baru-baru ini memberi harapan: 22 metropolitan telah berkomitmen untuk mengatasi polusi udara dan mempromosikan kendaraan nol-emisi.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Tödt
8. Chicago, Amerika Serikat
Inilah kota ketiga terpadat di AS, dan memiliki jejak karbon terbesar ketiga. Polusi di wilayah metropolitan Chicago meningkat secara signifikan antara 2014 dan 2016, menurut sebuah studi dari American Lung Association. Chicago juga digolongkan sebagai kota terkotor ketiga di AS. Lalu kota manakah yang kedua lainnya?
Foto: picture-alliance/AA/B. S. Sasmaz
7. Singapura
Banyak industri di Singapura masih terbelakang, menurut besarnya emisi emisi CO2. Sektor manufaktur akan mencapai 60 persen dari seluruh emisi kota ini pada tahun 2020. Tetapi pemerintah Singapura telah menyadari bahwa inilah saatnya untuk bertindak, dan menyatakan 2018 sebagai tahun aksi iklim. Singapura juga mengumumkan pajak karbon atas fasilitas-fasilitas yang sangat polutif.
Foto: picture-alliance/AP/Joseph Nair
6. Shanghai, Cina
Tidak mengherankan kalau Shanghai masuk peringkat 10 besar, karena kota ini termasuk kota terpadat dunia. Kemacetan telah menyebabkan masalah lingkungan yang serius, termasuk polusi udara dan air. Seperti di banyak kota Cina lainnya, pembangkit listrik dan lalu lintas adalah penyebab utama emisi karbonnya.
Foto: picture-alliance/Imaginechina/Z. Yang
5. Los Angeles, Amerika Serikat
Kualitas udara di kota ini digolongkan sebagai yang terburuk di AS. Tapi Negara Bagian California telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 40 persen pada 2030. Terutama dengan menggunakan energi bersih dan mendukung mobil listrik atau hibrida. Gubernur California Jerry Brown telah mengambil peran utama dalam perang melawan perubahan iklim.
Foto: picture-alliance/Bildagentur-online/Rossi
4. Hong Kong, Cina
Wilayah otonomi khusus Cina ini berpenduduk padat. Ribuan kendaraan setiap hari memenuhi jalan. Selain itu, pembangkit listrik tenaga batu bara dan industri memuntahkan asap dan mencemari udara. Menurut Departemen Perlindungan Lingkungan, sektor pengiriman kargo juga bertanggung jawab sampai 50 persen dari emisi karbon Hongkong.
Foto: picture alliance/dpa/L. Xiaoyang
3. New York, Amerika Serikat
Kota terpadat di AS ini menempati ranking ketiga dalam peringkat kota dengan jejak karbon tertinggi dunia. Tapi Los Angeles bekerja keras untuk mengurangi emisinya. Pada bulan Januari, pemerintah kota menggugat lima perusahaan minyak terbesar dunia - BP, Chevron, ConocoPhillips, ExxonMobil, dan Royal Dutch Shell - karena kontribusi mereka terhadap perubahan iklim dan dampaknya terhadap kota.
Foto: picture-alliance/Sergi Reboredo
2. Guangzhou, Cina
Di kota terpadat ketiga di Cina ini, pabrik dan kendaraan terus menerus mengeluarkan emisi berbahaya. Smog menjadi pemandangan sehari-hari. Tapi Guangzhou telah berkomitmen untuk mengganti seluruh armada bus dan taksi berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik murni sampai tahun 2020. Langkah itu diambil setelah kampanye besar-besaran oleh kelompok-kelompok lingkungan seperti Greenpeace.
Foto: CC/Karl Fjellstorm, itdp-china
1. Seoul, Korea Selatan
Seoul adalah kota metropolitan dengan jejak karbon tertinggi di dunia. Polusi udara jadi masalah lingkungan dan kesehatan terbesar: Lebih 30.000 ton polutan berbahaya dikeluarkan ke udara hanya dari 10 pembangkit listrik tenaga batu bara. Dalam beberapa tahun terakhir, kota ini telah menghentikan operasi pembangkit listrik ini untuk mengatasi masalah tersebut. (hp/vlz)
Foto: Getty Images/AFP/E. Jones
10 foto1 | 10
Transisi ke energi bersih untuk tekan angka emisi karbon
Sementara itu, Philippe Ciais, seorang peneliti di Laboratorium Ilmu Iklim dan Lingkungan Prancis menyampaikan bahwa tanpa pandemi, jejak karbon dari negara seperti Cina akan terus bertambah pada 2020.
Ciais menambahkan, penurunan emisi tahun 2020 belum dihitung ke dalam penurunan tingkat polusi karbon di atmosfer bumi.
Chris Field, Direktur Institut Lingkungan Stanford Woods, lebih optimis tentang masa depan. Meskipun dia juga percaya bahwa emisi akan meningkat setelah pandemi, dia yakin bahwa orang-orang menjadi lebih sadar lingkungan.
“Saya optimis bahwa kita, sebagai masyarakat telah belajar beberapa pelajaran yang dapat membantu menurunkan emisi di masa depan,” kata Field. "Misalnya, ketika orang-orang menjadi ahli dalam bekerja dari rumah beberapa hari dalam seminggu atau menyadari bahwa mereka tidak memerlukan banyak perjalanan bisnis, kami mungkin melihat penurunan emisi di masa depan terkait perilaku," pungkasnya.