1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

60 Tahun OPEC: Dulu Ditakuti Barat, Sekarang Hampir Sekarat

14 September 2020

Didirikan 14 September 1960 oleh lima negara kaya minyak, OPEC pernah menggegerkan dunia Barat dengan mendikte pasar minyak. Namun, kini perannya makin sirna. Indonesia sejak 2016 bukan anggota lagi.

Kantor pusat OPEC di Wina
Kantor pusat OPEC di WinaFoto: picture-alliance/dpa/B. Gindl

Tahun 1973, OPEC pernah membuat ekonomi AS dan negara-negara industri Barat lain bertekuk lutut dengan memberlakukan embargo minyak, sebagai protes atas dukungan Barat terhadap Israel. Embargo itu mengguncang perekonomian di negara-negara industri karena pasokan minyak turun drastis dan harga minyak melonjak tinggi. Di Jerman mulai 25 November 1973 terpaksa diterapkan larangan berkendaraan, yang menjadi "car free day" pertama di negara itu.

Gebrakan OPEC menyebabkan resesi yang dalam di negara-negara industri Barat. Setelah negosiasi alot beberapa bulan, embargo itu kemudian dicabut. Tetapi pamor OPEC sebagai kekuatan yang menakutkan tetap membayangi Barat.

Organisasi Negara Pengekspor Minyak OPEC didirikan di Baghdad 14 September 1960 oleh Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan Venezuela. Negara penghasil minyak lain kemudian bergabung, termasuk Indonesia. Namun dalam perkembangannya, OPEC mulai pecah dan tidak mampu menerapkan kebijakan bersama. Indonesia membekukan keanggotaannya di OPEC tahun 2009, namun bergabung lagi Januari 2016, sebelum kemudian menarik diri pada Desember 2016.

Bensin habis di pom bensin Jerman, 18 November 1973Foto: picture-alliance/dpa

60 tahun kemudian, pengaruh OPEC pudar

Sengketa di kalangan anggota OPEC, terutama perang Iran-Irak dan serangan Irak ke Kuwait yang berujung pada Perang Teluk, membuat pengaruh OPEC makin sirna. Sekarang anggotanya masih ada 13 negara, tetapi masa-masa kejayaan sudah lama berlalu.

Amerika Serikat kini bangkit menjadi salah satu negara pengekspor minyak utama. Namun, pamor minyak sebagai bahan bakar mulai memburuk di tengah kekhawatiran tentang perubahan iklim.

"OPEC dulu penting terutama sebagai blok politik. Tapi dia gagal secara ekonomi. Kebanyakan anggotanya tidak punya pengaruh apa-apa dalam perpolitikan dunia," kata Jeff Colgan, profesor di Brown University kepada DW. "Untuk berfungsi sebagai kartel, mereka perlu menetapkan batasan yang ketat untuk produksi minyak dan mematuhinya. Tapi OPEC sering menetapkan target dan gagal sendiri memenuhinya," tambahnya.

Pangsa OPEC di pasar minyak global juga terus turun, menjadi hanya sekitar 30% dari lebih 50% pada tahun 1973. Dua negara pendirinya, Iran dan Venezuela, kini tengah dilanda krisis politik dan ekonomi.

Ladang minyak Arab Saudi, negara penghasil minyak terbesar duniaFoto: picture-alliance/dpa/A. Haider

Mungkinkah OPEC bangkit lagi?

Sejak 2016, Arab Saudi mencoba menekan harga minyak serendah mungkin untuk menyulitkan negara-negara pengekspor minyak di luar OPEC, terutama AS. Harga minyak kemudian jatuh sampai sekitar 30 dolar AS per barrel. Namun ternyata AS tetap bertahan, bahkan dengan penggunaan teknologi baru mampu bangkit menjadi salah satu produsen minyak terbesar dunia.

Pandemi COVID-19 semakin meredupkan prospek minyak. Kebijakan lockdown di berbagai negara menghantam sektor transportasi, menyebabkan harga minyak untuk pertama kalinya turun di bawah 0 dolar AS. Artinya, penjual minyak bukan mendapat uang, melainkan harus membayar kepada pembeli. Tetapi mungkin masih terlalu dini untuk menulis obituari tentang OPEC. Pada beberapa tahun mendatang, minyak tetap punya peran besar sebagai bahan bakar dunia.

"OPEC sebagai agregator, titik pertemuan produsen minyak terbesar dunia, tetap berpotensi memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola pasar yang sedang berkontraksi," kata Philippe Benoit, konsultan energi di Global Infrastructure Advisory Services 2050.

hp/rap

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait