Tahun 1995, era Azwar Anas, sepak bola Indonesia punya tag-line bagus: menuju pentas dunia. Tapi, 30 tahun kemudian, bahkan sampai delapan kali pergantian pengurus, pentas dunia itu tak kunjung ada.
Ya, pentas itu ngumpet. Sembunyi. Entah di mana. Yang bikin sesak, kini, kita jadi penonton ketika Kamboja berkembang menjadi tim paling menjanjikan, ketika kompetisi Malaysia menjadi peringkat satu, ketika Thailand dan Vietnam menjadi Raja di Asia Tenggara.
Sedih? Sesak? Sakit? Iya. Apa yang salah? Banyak, sebab semua masalah. Dari banyak sisi. Dari semua lini.
Yang terbaru, ini konyol: sidang komite eksekutif PSSI memutuskan kompetisi Liga 2 tidak dilanjutkan. Ada banyak alasan dan, katanya, didukung 20 dari 28 klub member Liga 2.
Fakta yang muncul, 20 klub yang mendukung Liga 2 dihentikan, beberapa membantah. Tanda tangan di absensi rapat, itu dipalsukan. Beredar juga fakta bahwa ada 15 klub, bahkan, mau meneruskan.
Oke. Itu sudah keputusan, dan menghadirkan dampak lain. Tidak ada Liga 2, itu artinya tidak ada yang promosi ke Liga 1 dan tidak ada yang degradasi ke Liga 3.
Jadi, Liga 3 pun, yang dihuni 612 tim di 34 provinsi pun stop.
Maka, dari dua strata, Liga 2 dan 3 yang tanpa kompetisi: ribuan pemain, ratusan pelatih, ratusan perangkat pertandingan, kehilangan pekerjaan. Mereka menjadi penganggur. Belum lagi sektor industri transportasi, perhotelan, kuliner dan UMKM yang terdampak.
Sedih lagi. Masygul.
Dan yang lebih parah, dampak dari Liga 2 yang dijegal, Liga 1 juga tanpa degradasi. Semua 18 klub rileks, tak perlu siapin mental, strategi bahkan kalah 1000 gol pun, mereka aman di strata teratas.
Terus buat apa ada kompetisi saat ruh-nya: promosi-degradasi, terbang?
Kasihan para pemilik klub yang buang uang banyak demi membangun tim yang kuat dan mewah.
Begini, saya ingin menyebut kalau produk Federasi, PSSI diantaranya, ada tiga: pembinaan usia muda, kompetisi dan tim nasional.
Tiga-tiganya saling mengkait. Satu masalah, yang lain keseret. Kompetisi, yang diamputasi, berekses pada tim nasional, di semua level.
Kini, kompetisi pula yang digergaji. Alamak.
Sampai kapan sepak bola Indonesia berhenti dirundung masalah? Sampai kapan Federasi kita jauh dari figur-figur yang futuris, well-plan, well design dan marketable? Kapan Federasi kita punya figur seperti Satoshi Saito, orang Jepang dan mantan Direktur Marketing Barcelona yang dengan cepat bikin Kamboja berkembang pesat?
Mau bertanya kepada tumpukan rumput di stadion pun tidak tega, sebab sudah meranggas seperti prestasi sepak bola Indonesia.
Ini, memang, era kegelapan sepak bola Indonesia.
Kalau pun berharap, bertanyalah kepada sederet calon Ketua Umum dan para komite eksekutif yang ber-Kongres sebentar lagi.
Boleh jadi, kepada mereka ada harapan soal pentas dunia itu.
Semoga.
Hardimen Koto: pengamat, analis dan komentator sepak bola
*tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.