1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Hipokrisi Erdogan dan Imran Khan Terhadap Macron 

28 Oktober 2020

Presiden Turki, Erdogan, dan PM Pakistan, Khan, tidak punya hak mendikte Prancis soal sekularisme, ketika keduanya tidak mengindahkan sentimen minoritas agama di negeri sendiri, tulis editor senior DW, Shamil Shams. 

Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan (ki.), bersama Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (ka.) dalam kunjungan kenegaraan di Ankara, Januari 2019.
Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan (ki.), bersama Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (ka.) dalam kunjungan kenegaraan di Ankara, Januari 2019.Foto: Reuters/Presidential Press Office/K. Ozer

Ada yang asing saat mendengar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan berbicara soal nilai-nilai sekuler dan mengajari Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang rasisme. 

Amarah meluap dari negara-negara muslim terhadap ucapan Macron soal terorisme Islam seusai aksi teror pemenggalan kepala terhadap Samuel Paty, seorang guru yang dubunuh karena menunjukkan gambar karikatur Nabi Muhammad kepada muridnya. Erdogan, yang gemar berpose sebagai pemimpin dunia Islam, meratapi “kebangkitan Islamofobia” di bawah pantauan Macron. 

“Masalah apa yang dimiliki orang bernama Macron ini dengan kaum muslim dan Islam? Macron butuh perawatan dalam level mental,” kata Erdogan baru-baru ini. 

Sementara Perdana Menteri Imran Khan, yang dikenal mengagumi Erdogan, ikut berujar “ini adalah saatnya ketika Presiden Macron bisa menyembuhkan dan menutup ruang bagi kami ekstremis, ketimbang menciptakan polarisasi dan marginalisasi tambahan yang akan berujung pada radikalisasi,” tulisnya via Twitter. 

Hipokrisi murni 

Erdogan dan Khan tidak berhak berbicara tentang “Islamofobia” ketika pemerintahannya tidak menunjukkan rasa hormat kepada umat dari agama lain. 

Editor Asia untuk Deutsche Welle, Shamil Shams.

Juli silam, pemerintah Turki mengubah Hagia Sophia menjadi masjid, tanpa mengindahkan sentimen jutaan umat Kristen di seluruh dunia. Pemimpin Turki kini membidik bekas gereja lain untuk dijadikan rumah ibadah muslim, yakni Gereja Juruselamat Kudus di Chora

Erdogan yang berkuasa sejak awal dekade 2000an bersama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), berusaha menyusutkan sekularisme Turki dan mengubah negeri di tepi Bosporus itu menjadi sebuah kekhalifahan Islam.  

Haluannya itu ditentang hebat di dalam Turki, terutama oleh kelompok liberal dan sekular yang secara rutin berdemonstrasi atau menyuarakan protes. Namun bukannya tunduk pada nilai-nilai demokratis di negeri sendiri, Erdogan menghalau mereka dengan tangan besi. 

Jika Prancis mengubah masjid menjadi gereja, apa yang akan menjadi reaksi Erdogan? Akankah dia mengecam Macron karena mempromosikan “Islamofobia”? 

Adapun di Pakistan, Khan terus-terusan mengritik Eropa atau India karena dianggap menganaktirikan warga muslim, namun di negerinya sendiri, minoritas agama masih mengalami persekusi. Kaum Hindu dipaksa memeluk Islam. Sementara umat Kristen, Ahmadiyah dan Syiah disibukkan oleh kasus penistaan agama, ketika kaum Islamis garis keras dibebaskan mengadukan semua yang “non-muslim.” 

Tentunya Khan tidak punya hak mengajari Macron soal polarisasi dan marginalisasi yang mengarah pada radikalisme. Pakistan telah melakukan hal itu secara sistematis sejak beberapa dekade terakhir. 

Pada 2018, Khan menurunkan ekonom tersohor Pakistan, Atif Mian, dari Dewan Penasehat Ekonomi, lantaran didesak oleh kaum ekstremis yang mempermasalahkan keyakinan Mian yang pengikut Ahmadiyah. Sejak 1970an, Pakistan mendeklarasikan penganut Ahmadiyah sebagai non-muslim. 

Jumlah korban pembunuhan terhadap warga minoritas Ahmadiyah di Pakistan antara 1947-2014

Baru-baru ini, rencana pidato Mian di Institut Bisnis dan Administrasi di Karachi dibatalkan karena ancaman kelompok radikal terhadap otoritas sekolah. Tidak ada kecaman dari Khan atau menteri-menterinya terkait insiden tersebut. 

Perjuangan demi sekularisme 

Adalah hal mudah mengkritik orang lain ketimbang mengoreksi kesalahan sendiri. Saat ini perdebatan sedang berkecamuk di Prancis, tentang bagaimana Presiden Macron sebaiknya menanggulangi radikalisme, dan kenapa dia tidak seharusnya memarjinalisasi warga muslim di Prancis.  

Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, sudah benar ketika mengatakan kita tidak boleh menggabungkan rasisme dan perang melawan terorisme. Prancis sedang menghadapi masa-masa sulit untuk memisahkan kedua isu, sebagaimana juga negara lain. Isu ini merupakan masalah yang membutuhkan introspeksi. 

Kaum muslim sangat sensitif soal karikatur figur sucinya. Jadi penting bagi otoritas Prancis untuk merawat kepekaan ketika menanggapi masalah ini. Pada saat yang sama, pemimpin politik seperti Erdogan atau Khan harus memahami bahwa muslim Prancis menikmati kebebasan yang lebih besar ketimbang minoritas agama di Turki atau Pakistan. 

Serangan terhadap mereka yang mengekspresikan pandangannnya secara bebas, seperti aksi pemenggalan kepala Samuel Paty, pembantaian terhadap awak Charlie Hebdo pada 2015, atau bahkan serangan pisau seorang pria Pakistan di dekat bekas kantor majalah karikatur itu bulan September silam, juga akan akan memperkuat anggapan bahwa kaum muslim cendrung intoleran. 

Semua muslim tidak intoleran. Mereka mungkin sensitif terkait agama dan Rasulnya, tetapi mereka juga memperjuangkan demokrasi dan kebebasan berekspresi di negerinya sendiri. 

Erdogan dan Khan memahami betul karena geliat oposisi di dalam negeri sedang mencuat. Mereka ingin mengalihkan perhatian penduduk dari masalah domestik, dengan mengangkat isu “Islamofobia”. Tapi banyak warga di kedua negara yang meyakini Erdogan dan Khan tidak bersikap jujur terkait isu ini. Sikap diam Khan terhadap penindasan muslim Uighur di Cina hanyalah salah satu contohnya. 

(rzn/vlz) 


 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait