Jumlah pengungsi yang ingin masuk Eropa tahun 2014 mencapai rekor tertinggi dalam sejarah. Eropa tidak boleh membentengi diri tapi sekaligus juga jangan membuka terlalu lebar perbatasannya. Komentar Bernd Riegert.
Iklan
Ratusan ribu pengungsi dari kawasan krisis seperti Suriah, Afghanistan, Pakistan atau Eritrea berbondong menujui Eropa untuk memohon suaka. Tidak semua berhasil mencapai tanah harapan itu. Ribuan tewas tenggelam di laut tengah atau ketika berusaha mencapai perbatasan darat Eropa.
Mereka yang berhasil masuk Eropa, mula-mula harus menerima status sebagai pengungsi ilegal, sebelum mendapat pengakuan sebagai pemohon suaka. Ada prosedur birokrasi untuk menetapkan siapa yang akan diterima sebagai pemohon suaka. Itulah situasi absurd, yang harus ditelan oleh para pengungsi.
Tapi masalahnya juga tidak sederhana. Banyak pengungsi ilegal itu, diorganisir oleh bandit-bandit penyelundup manusia. Para kriminal inilah yang meraup keuntungan milyaran Euro, dengan mengirimkan para pengungsi lewat kapal bobrok yang kelebihan muatan melintasi laut tengah. Sering laut tengah jadi kuburan orang-orang yang justru mencari kehidupan lebih baik di tanah seberang.
Sebetulnya para menteri dalam negeri anggota Uni Eropa sudah sejak lama menyadari, aturan pengungsi dan politik suaka harus diubah. Bahkan Paus Fransiskus sudah memperingatkan pada Parlemen Eropa, jangan sampai laut tengah selalu jadi kuburan para pengungsi. Paus memang benar. Tapi masalahnya, apa yang benar-benar dapat dilakukan untuk mencegahnya?
Organisasi pembela pengungsi menuntut, agar Eropa mengurangi ketebalan "bentengnya" dengan cara membuka lebar perbatasan bagi imigran. Tuntutan itu secara manusiawi bisa dimengerti. Tapi secara politik mustahil bisa diterapkan. Realitanya, warga Eropa juga tidak menunjukan sikap bersedia untuk menerima jutaan imigran tidak berkualifikasi semacam itu setiap tahunnya.
Bahkan kini, sejumlah negara anggota Uni Eropa menunjukkan sikap menentang kewajiban kuota jumlah pengungsi yang harus mereka tampung. Lebih gawat lagi, sekarang mulai muncul kelompok-kelompok anti warga asing, pengungsi dan pemohon suaka yang mendapat cukup banyak dukungan warga.
Uni Eropa juga menyadari, tahun 2015 jumlah pengungsi yang ingin masuk ke Eropa akan makin meningkat. Dipertanyakan, apakah Eropa juga akan menetapkan aturan kuota ketat imigran berdasar negara asal seperti yang sudah lama diterapkan Amerika Serikat? Juga belum jelas, bagaimana mengatur pembagian kuota pengungsi yang adil di 28 negara anggota Uni Eropa.
Lara Tak Berbatas: Nasib Kaum Yazidi Irak
Ketika musim dingin menyapa, pengungsi menghadapi masa-masa sulit. UNHCR memperkirakan terdapat satu juta pengungsi domestik di Irak, kebanyakan kaum Yazidi yang terusir oleh Islamic State
Foto: DW/Andreas Stahl
Yang Terusir dan Mengungsi
Menurut badan PBB urusan pengungsi, UNHCR, Irak kini memiliki sekitar satu juta pengungsi domestik. Kebanyakan bergerak ke arah utara untuk mencari kehidupan baru di kawasan Kurdi.
Foto: DW/Andreas Stahl
Dalam Pelarian
Kebanyakan pengungsi domenstik di utara Irak adalah kaum Yazidi. Ketika geriliyawan Islamic State menyerang pegunungan Sinjar, yang selama puluhan tahun menjadi rumah kelompok minoritas itu, sebagian meninggalkan harta benda dan mencari tempat berlindung di utara.
Foto: DW/Andreas Stahl
Bertahan Hidup
Nyaris mustahil buat Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemerintahan Kurdistan buat membantu semua pengungsi yang melarikan diri ke utara Irak sejak awal Agustus. Mereka yang tidak mendapatkan tempat di dalam kamp pengungsi, terpaksa bertahan hidup tanpa bantuan apapun.
Foto: DW/Andreas Stahl
Mencari Atap
Kelangkaan tempat di kamp pengungsi memaksa banyak warga Yazidi hidup dan tinggal di bangunan terbengkalai atau gedung-gedung sekolah di utara Irak.
Foto: DW/Andreas Stahl
Maut di Puncak Sinjar
Tidak semua orang cukup beruntung bisa melarikan diri ketika teroris Islamic State menyerang desa-desa di sekitar gunung Sinjar. Kebanyakan dieksekusi atau tewas ketika mencoba melawan militan bersenjata lengkap. Peristiwa berdarah itu dikenal dengan nama "pembantaian Sinjar"
Foto: DW/Andreas Stahl
Tanpa Uluran Tangan
Musim dingin yang sudah di depan mata bakal mempersulit situasi keluarga Yazidi yang hidup di bangunan terbengkalai. Ketiadaan uang untuk makan atau setidaknya membeli selimut adalah kekhawatiran terbesar. Bantuan internasional bisa menyelamatkan kehidupan yang terancam.
Foto: DW/Andreas Stahl
Rumah Seadanya
Bangunan kosong ini dijadikan rumah dan tempat berlindung oleh sekitar 40 keluarga Yazidi yang mengungsi usai pembantaian Sinjar
Foto: DW/Andreas Stahl
"Menunggu dan Berharap"
Pengungsi Yazidi dijanjikan akan mendapat kamp pengungsi baru. Namun hingga kini belum terlihat adanya upaya serius membangun tempat berlindung buat kaum terusir itu. "Satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah menunggu dan berharap," kata salah seorang pengungsi.
Foto: DW/Andreas Stahl
'Binasakan Rumah Kami'
Sebagian besar kaum Yazidi mendesak AS dan koalisinya agar melancarkan serangan udara terhadap kampung halamannya sendiri yang diduduki kelompok teror IS. "Tolong, ledakan rumah saya," kata seorang Yazidi yang meyakini satu-satunya cara menghalau IS adalah dengan serangan udara.
Foto: DW/Andreas Stahl
Lindungi Masa Depan Mereka
Seorang bocah Yazidi bermain di sebuah area konstruksi di utara Irak. Masa depan mereka adalah salah satu kekhawatiran terbesar masyarakat internasional. Selama IS masih bergeliat, bocah-bocah ini masih akan hidup dalam pelarian tanpa kehidupan normal.
Foto: DW/Andreas Stahl
Terusir dari Tempat Pelarian
Seakan kondisi para pengungsi belum cukup mengenaskan, pemilik gedung tempat bernaung kaum Yazidi selama hampir tiga bulan, mengusir mereka keluar. "Kami tidak punya tujuan. Buat kami mustahil pergi hingga kamp pengungsi baru selesai dibangun," kata salah seorang pengungsi.
Foto: DW/Andreas Stahl
Tertinggal di Sinjar
Seorang remaja berpose di depan kamera. Banyak pengungsi Yazidi meninggalkan anggota keluarga dan sanak saudaranya di pedesaan Sinjar. Hingga kini tidak ada yang tahu nasib mereka.
Foto: DW/Andreas Stahl
12 foto1 | 12
Semua pertanyaan terkait pengungsi ke Eropa amat kompleks dan sulit dijawab. Tapi Uni Eropa juga tidak bisa menunggu terlalu lama, hingga gambar-gambar pengungsi yang mati karam di Laut Tengah kembali jadi kepala berita. Paling tidak, di tahun 2015 sudah harus ada solusinya.
Sebab semua mengetahui, terus meluasnya krisis di Timur Tengah, Afrika dan mungkin juga di Eropa Timur, akan memicu tekanan pengungsi yang juga semakin meningkat ke Uni Eropa. Artinya, Uni Eropa harus bersiap, agar tetap memangani pengungsi secara manusiawi.