1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiEropa

Eropa Selatan Sambut Hangat ‘Migran Energi’ dari Utara

29 November 2022

Musim dingin ini, sejumlah warga dan pekerja lepas dari Eropa utara berbondong pindah ke Eropa selatan yang lebih hangat untuk menghindari tingginya biaya energi.

Suasana di Barselona, Spanyol
Suhu musim dingin di Eropa selatan cenderung lebih 'ramah' dibandingkan dengan di utaraFoto: Jordi Boixareu/ZUMAPRESS/picture alliance

Victor Varlamov asal Polandia yang bekerja sebagai pengembang perangkat lunak, kini setiap hari bekerja dari sebuah pulau yang cerah milik Spanyol di lepas pantai Afrika. Ia memutuskan terbang ke sana untuk menghindari prospek harus membayar tingginya tagihan pemanas di rumahnya di Polandia.

Varlamov tidak sendirian. Belakangan ini banyak pekerja dari negara di wilayah utara Eropa berusaha menghindari gigitan dingin dan tingginya biaya hidup dengan berpindah ke Eropa selatan yang lebih hangat.

Varmalov, 50, bersama istri dan putrinya yang masih remaja, pindah dari Gdansk di pantai Baltik Polandia ke Gran Canaria di Kepulauan Canary Spanyol dua bulan lalu dan berencana untuk tinggal selama beberapa bulan mendatang.

"Krisis ekonomi dan sebagian besar situasi perang telah mendorong saya ke sini," kata Varmalov, yang lahir di Rusia.

Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari lalu telah mendorong kenaikan harga energi ke level tertinggi pada Agustus. Harga energi memang telah agak menurun, tapi tetapi kemungkinan akan tetap tinggi dan telah menyebabkan lonjakan inflasi.

Sebelum meninggalkan Gdansk, Varmalov menghitung bahwa dia dapat menghemat biaya hidup sekitar 250 euro (sekitar Rp4,1 juta) setiap bulannya. Uang yang ia hemat ini dipakainya untuk makan di luar. Mereka juga bisa menikmati berjalan-jalan di pantai saat istirahat makan siang. "Kenyataannya lebih baik dari harapan saya," ujar Varmalov.

Pemerintah daerah Kepulauan Canary, di mana suhu musim dingin rata-rata adalah 20 derajat Celsius, meluncurkan kampanye media sosial pada bulan September untuk menarik pendatang yang merupakan pekerja jarak jauh, seperti Varmalov, dan pensiunan dari negara-negara seperti Inggris, Jerman dan Swedia. 

Negara-negara Eropa Selatan lainnya juga melihat potensi tersebut. Menteri pariwisata Yunani pada bulan September telah mengunjungi Austria dan negara-negara Eropa utara seperti Swedia, untuk "mengubah krisis energi besar yang mengganggu Eropa ini menjadi sebuah peluang."

Dewan Pariwisata Portugal juga menggelar kampanye serupa. Luis Araujo, Ketua Dewan Pariwisata Portugal, mengatakan harapan untuk datangnya turis musim dingin dari Eropa utara "sangat positif".

'Pengungsian' saat musim dingin

Sejumlah warga Jerman juga mempertimbangkan cara ini. Banyak dari mereka yang bermigrasi ke Eropa selatan baik untuk sekadar berkunjung selama musim dingin, maupun untuk menjadi penduduk tetap. Jerman yang sangat bergantung pada gas Rusia sebelum perang Ukraina khawatir akan kemungkinan kekurangan energi pada musim dingin.

Sebuah sekolah Jerman di Gran Canaria pada tahun ini saja telah menerima 40 lamaran dari siswa asing. Tanpa memberikan angka pasti, jumlah ini dikatakan lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Repeople, asosiasi tempat berbagi ruang kerja di Kepulauan Canary, juga mengatakan seluruh tempat yang mereka sewakan telah habis dipesan untuk bulan November dan 80% telah dipesan untuk selama musim dingin.

Salah satu yang menyewa ruang kerja di Repeople adalah pekerja lepas asal Jerman bernama Heiko Schaefer, 31. Schaefer berencana tinggal di sana hingga Natal.

Maskapai penerbangan juga menyatakan akan meningkatkan 31% jumlah kursi untuk penerbangan ke Kepulauan Canary, kata kantor pariwisata regional.

TUI fly, maskapai penerbangan terkemuka yang beroperasi antara Jerman dan Kepulauan Canary, mengatakan akan meningkatkan penerbangan sekitar 10%. Dalam sebuah pernyataan TUI fly mengatakan bahwa biaya energi adalah "elemen psikologis" yang mendorong lebih banyak orang terbang ke selatan.

Airbnb, perusahaan persewaan hunian jangka pendek, mengatakan pencarian untuk masa inap musim dingin di Eropa selatan telah meningkat tiga kali lipat antara April dan Juni.

Perusahaan Eropa juga tertekan

Selain menyebabkan peningkatan biaya hidup, krisis energi saat ini dan gangguan pasokan bahan bakar fosil dari Rusia memang telah mengganggu banyak sektor industri Eropa dan bahkan dapat menyebabkan deindustrialisasi, kata konsultan bisnis PwC dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada hari Minggu.

Eropa kehilangan daya saing dan daya tariknya sebagai tempat produksi. Sementara Jerman yang selama ini menjadi pusat kekuatan ekonomi di benua itu sangat terpukul oleh kenaikan tajam dalam biaya gas alam. 

"Banyak perusahaan dapat memutuskan untuk merestrukturisasi produksi mereka di Eropa," kata Andreas Späne, kepala anak perusahaan PwC Strategy yang menyusun penelitian tersebut. Sektor logam, bahan kimia dan otomotif di Jerman utamanya berada di bawah tekanan besar.

Sementara di Prancis dan Spanyol, kenaikan harga lebih bersifat moderat sebagai akibat dari energi yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga nuklir atau energi terbarukan, ungkap studi tersebut.

Tidak semua orang mampu pindah

Namun, bagi sebagian besar orang di Eropa utara, terbang ke selatan saat musim dingin hanya mampu dijangkau dalam mimpi. Naiknya biaya hidup berarti mereka tidak mampu membayar untuk melakukan perjalanan yang termasuk suatu kemewahan.

Alih-alih membelanjakan uang untuk terbang ke selatan, kebanyakan warga membeli barang-barang untuk menjaga diri mereka tetap hangat. Angka penjualan ritel di Inggris menunjukkan kenaikan pembelian untuk barang-barang seperti selimut, slow cooker, dan selimut listrik.

Warga lain memutuskan untuk pindah secara permanen, alih-alih hanya selama musim dingin. Natasha Caldeiras, dari Kent, Inggris selatan, pindah dengan keluarganya sebelum Natal ke Portugal, negara asal suaminya. Mereka mengatakan harga energi telah memicu langkah migrasi ini.

Caldeiras percaya cuaca yang lebih hangat di Portugal akan memungkinkan mereka untuk menyalakan pemanas dalam waktu yang lebih singkat daripada di Inggris, di mana tagihan bulanan mereka sekitar 200 pound (sekitar Rp3,8 juta) per bulan dan diperkirakan akan meningkat.

ae/hp (Reuters, dpa)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait