Dalam pernyataan bersama pada pertemuan puncak perdananya, Uni Eropa mendorong pemimpin negara Teluk agar lebih mengecam Rusia, sebaliknya negara Teluk ingin pemimpin UE juga lebih keras mengecam Israel.
Iklan
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman terlihat melenggang di karpet merah pada pertemuan puncak pertama antara Uni Eropa dan enam negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Brussels, Rabu (17/10).
Ia melambaikan tangan kepada wartawan sambil berdiskusi serius dengan mitranya dari Prancis, Emmanuel Macron.
Bin Salman pernah menjadi tokoh kontroversi dan tersingkirkan dari panggung politik global karena kontroversi pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi tahun 2018. Sekarang, tampaknya ia benar-benar telah kembali ke panggung politik internasional.
Mereka lebih fokus berbicara tema lain. Kedua pihak saling menekan agar yang lainnya menyesuaikan diri dengan konflik yang berkecamuk di lingkungan mereka.
UE ingin Teluk lebih keras kecam Rusia
GCC adalah kelompok negara-negara Teluk kaya yang meliputi Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, dan Oman.
Sumber-sumber UE dan GCC mengatakan alotnya negosiasi tentang pernyataan bersama, yang telah difinalisasi dalam beberapa minggu menjelang pertemuan puncak pada hari Rabu. Keinginan utama Eropa adalah agar negara Teluk lebih keras mengecam Moskow atas invasi ke Ukraina.
Seorang diplomat UE mengatakan, awalnya, GCC tidak menginginkan referensi langsung ke Rusia dalam teks tersebut.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Cinzia Bianco, peneliti tamu di lembaga pemikir Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, mengatakan negara-negara Uni Eropa ingin membahas hubungan negara-negara Teluk dengan Rusia.
"Meskipun Qatar, Arab Saudi, dan UEA telah melakukan upaya mediasi yang signifikan antara pihak-pihak yang bertikai, seperti pembebasan anak-anak Ukraina yang ditahan di Rusia dan pertukaran tawanan perang, negara-negara Eropa dan negara-negara Teluk tidak punya kesepakatan tentang tentang asal-usul dan penyelesaian konflik," tulis Bianco dalam sebuah makalah yang diterbitkan awal bulan ini.
Iklan
Negara Teluk minta UE lebih tegas di Timur Tengah
Dengan meningkatnya kekerasan di beberapa bagian Timur Tengah, negara-negara Teluk juga mendorong UE lebih keras mengkritik Israel. Deklarasi bersama tersebut menyerukan gencatan senjata di Gaza dan Lebanon serta mengutuk "keputusan pemerintah Israel untuk memperluas permukiman dan melegalkan pos-pos pemukim di seluruh wilayah Tepi Barat yang diduduki."
Namun, seorang sumber dari negara GCC mengatakan kepada DW, mereka "kecewa" dengan bahasa yang digunakan dalam masalah Timur Tengah jika dibandingkan dengan apa yang disepakati mengenai Ukraina.
Peneliti Cinzia Bianco juga memperingatkan bahwa Uni Eropa "perlu lebih sedikit berbicara dan lebih banyak mendengarkan, khususnya mengenai isu-isu yang berkaitan dengan Timur Tengah."
Tanpa mengkritik blok Uni Eropa secara langsung, dalam pidato pembukaan di Brussels, pemimpin Qatar Sheikh Tamim Bin Hamad Al Thani memperingatkan tentang "standar ganda". Menteri luar negeri Qatar juga mengatakan kepada pers di Brussels bahwa negara-negara tidak boleh "selektif" mengenai prinsip-prinsip mereka.
Lebih hati-hati tentang Iran
Namun, bahasa yang digunakan untuk Iran lebih bersifat mendamaikan. Dalam pernyataan bersama, UE dan GCC "menyerukan Iran untuk melakukan deeskalasi regional."
Mereka menyatakan, "menyesalkan kemajuan nuklir Iran yang tak terbendung" telah mempersulit upaya untuk kembali ke kesepakatan diplomatik yang dirancang untuk membatasi aktivitas nuklir Teheran.
Para diplomat UE mengatakan negara-negara Teluk ingin menghindari bahasa kritis yang keras. "Mengenai Iran, situasinya sangat berbahaya dan sangat sensitif. Negara-negara GCC berurusan dengan Iran melalui diplomasi dan diplomasi adalah satu-satunya jalan ke depan," kata seorang sumber dari negara GCC kepada DW.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Kerja sama perdagangan, travel, dan energi
Kedua pihak juga mengatakan akan berusaha melanjutkan diskusi tentang kesepakatan perdagangan antarblok. Ide ini pertama kali digagas lebih dari tiga dekade lalu tetapi terhenti sejak 2008.
Seorang diplomat UE mengatakan, ada ketegangan di dalam GCC mengenai apakah akan melanjutkan perdagangan dengan UE sebagai perhimpunan Negara Teluk atau membentuk kesepakatan bilateral.
Kedua pihak juga sepakat untuk menyederhanakan akses bagi orang untuk bepergian antara kedua blok. Beberapa negara Teluk telah mendorong keringanan untuk memastikan warga negara mereka lebih mudah bepergian ke UE sebagai wisatawan. Namun hingga kini belum ada kepastian terkait tema ini.
"Kami telah memenuhi semua persyaratan untuk pembebasan visa. Kami pikir ini lebih merupakan masalah kemauan politik," kata seorang sumber GCC kepada DW.
Dampak perang Rusia di Ukraina juga telah mendorong UE untuk mencari sumber energi baru karena mereka berusaha keras untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada bahan bakar Rusia.