Evakuasi Korban Bolaang Mangondow Gunakan Excavator Hidrolik
1 Maret 2019
Tim penyelamat akhirnya membawa excavator hidrolik ke kawasan penambangan emas terpencil yang ambles di Bolaang Mangondow awal minggu ini, guna mempercepat penyelamatan puluhan pekerja yang terperangkap.
Iklan
Peristiwa longsornya lokasi penambangan liar di Bolaang Mangondow telah menelan sedikitnya delapan korban jiwa dan dua puluh korban luka, tegas kepala penanganan bencana setempat, Abdul Muin Paputungan. Sementara itu, kurang lebih 30 pekerja masih terperangkap dalam reruntuhan pertambangan tak berizin ini. Pertambangan Bolaang Mangondow di Sulawesi Utara ambruk pada Selasa (26/02) sore waktu setempat.
Excavator hidrolik mulai digunakan sejak Jumat pagi setelah mendapat persetujuan dari para anggota keluarga korban dan jalur penyelamatan dikosongkan. Paputungan menambahkan, puluhan pekerja lainnya secara sukarela telibat dalam penyelamatan ini, „kami tidak pernah berhenti berdoa untuk rekan-rekan yang terjebak di dalam agar mereka bertahan sampai kami menyelamatkannya".
Meski makanan dan minuman telah didistribusikan kepada pekerja yang terperangkap, namun petugas menyatakan masalah terbesarnya adalah ketersediaan oksigen yang makin menipis di dalam pertambangan. Sejumlah korban yang telah berhasil ditarik keluar, selanjutnya dibawa ke desa terdekat.
Konstruksi kayu di pertambangan ambruk pada Selas sore akibat pergeseran tanah dan banyaknya lubang di area pertambangan. Penambangan ilegal sayangnya adalah hal yang lumrah di Indonesia. Inilah tempat bagi ribuan pekerja lokal, meski harus bekerja dengan standar keselamatan yang minim dan resiko kematian.
Seorang pekerja tambang harus mengalami amputasi pada salah satu bagian kakinya untuk bisa dikeluarkan, namun sayangnya korban meninggal dalam perjalanan ke lokasi yang lebih aman karena kehabisan darah.
Salah seorang penyelamat, Teddy Mokodompit, yang melakukan amputasi terhadap korban menyatakan ia dan timnya harus merangkak masuk ke dalam lokasi korban sejauh 12 meter. Udara pengap, ditambah reruntuhan tanah dan bebatuan kecil mempersulit jalur masuk. „Saya dan tim menangis saat mengamputasi kaki korban. Kami juga khawatir jika tanah longsor terjadi di dalam sana", ujar Laiya, salah satu anggota penyelamat.
Badan Penanggulangan Bencana Nasional menyatakan ada lebih dari 200 pihak terlibat dari berbagai instansi dalam upaya penyelamatan. Namun kecemasan makin menjadi di antara anggora keluarga korban tentunya.
Amin Simbala, ayah dari salah satu korban menyatakan bahwa proses penyelamatan untuk satu korban saja bisa memakan waktu satu hari. „Kalau bisa jangan hanya terpaku pada satu korban saja untuk diselamatkan. Jika perlu untuk mengamputasi kaki mereka, lakukan saja, agar yang lain juga bisa diselamatkan", tambahnya.
Usaha pencarian korban hanya dilengkapi dengan peralatan sederhana. Batang pohon atau alat lainnya digunakan sebagai perpanjangan tangan untuk menarik korban keluar. Sulitnya operasi pencarian dan penyelamatan bukan hanya soal lokasi kejadian yang terpencil, namun juga risiko longsor di dalam lokasi pertambangan.
Jumlah penambangan berskala kecil dan tak berizin makin meningkat di berbagai negara di Asia dan Afrika. Sebuah studi dari Intergovernmental Forum tentang Pertambangan, Mineral, Logam dan Pembangunan Berkelanjutan menemukan peningkatan angka pekerja dari yang hanya enam juta di tahun 1994 menjadi 30 juta pada 2014.
Tanah longsor, banjir dan ambruknya kanal hanyalah beberapa ancaman dari praktik ini. Penggunaan merkuri dan sianida kerap digunakan dalam penambangan emas, yang membahayakan para pekerja tanpa proteksi.
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Ribuan penduduk mengais emas dari limbah tambang Freeport di Timika. Pemerintah ingin menutup kegiatan ilegal itu karena memicu kerusakan lingkungan. Tapi banyak oknum yang terlanjur menikmati bisnis gelap tersebut
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tambang Ilegal di Aikwa
Penambang emas mendulang emas di sungai Aikwa di Timika, Papua. Meski banyak penduduk suku Kamoro yang masih berusaha mencari uang sebagai nelayan, kegiatan penambangan emas merusak dasar sungai yang kemudian memangkas populasi ikan di sungai Aikwa.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Emas Punya Siapa?
Sejumlah penduduk bahkan datang dari jauh untuk menambang emas di sungai Aikwa. Indonesia memproduksi emas yang mendatangkan keuntungan senilai 70 miliar Dollar AS setahun, atau sekitar 900 triliun Rupiah. Tapi hanya sebagian kecil yang bisa dinikmati penduduk lokal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Buruh Papua Mencari Kerja
Kebanyakan penduduk asli setempat telah terusir oleh kegiatan perluasan tambang. Saat ini Freeport mengaku memiliki hampir 30.000 pegawai, sekitar 30% berasal dari Papua, sementara 68% dari wilayah lain di Indonesia dan kurang dari 2% adalah warga asing. Berkat tekanan dari Jakarta, Freeport berniat menambah komposisi pekerja Papua menjadi 50%.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Sumber Kemakmuran
Tambang Grasberg adalah sumber emas terbesar di dunia dan cadangan tembaganya tercatat yang terbesar ketiga di dunia. Dari sekitar 238.000 ton mineral yang diolah setiap hari, Freeport memproduksi 1,3% emas, 3,4% perak dan 0,98 persen tembaga. Artinya tambang Grasberg menghasilkan sekitar 300 kilogram emas per hari.
Foto: Getty Images/AFP
Berjuta Limbah
Grasberg berada di dekat Puncak Jaya, gunung tertinggi di Indonesia. Setiap hari, tambang tersebut membuang sekitar 200.000 ton limbah ke sungai Aikwa. Pembuangan limbah tambah oleh Freeport ujung-ujungnya membuat alur sungai Aikwa menyempit dan dangkal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Nilai Tak Seberapa
Setiap tahun sebagian kecil dari jutaan gram emas yang ditambang di Grasberg terbuang ke sungai Aikwa dan akhirnya didulang oleh penduduk. Semakin ke hulu, maka semakin besar kemungkinan mendapatkan emas. Rata-rata penambang kecil di Aikwa bisa mendulang satu gram emas per hari, dengan nilai hingga Rp. 500.000.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Simalakama Penambangan Ilegal
Pertambangan rakyat di sungai Aikwa selama ini dihalangi oleh pemerintah. Tahun 2015 silam TNI dan Polri berniat memulangkan 12.000 penambang ilegal. Pemerintah Provinsi Papua bahkan berniat mengosongkan kawasan sungai dengan dalih bahaya longsor. Namun kebijakan tersebut dikritik karena menyebabkan pengangguran dan memicu ketegangan sosial.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kerusakan Lingkungan
Asosiasi Pertambangan Rakyat Papua sempat mendesak pemerintah untuk melegalisasi dan menyediakan lahan bagi penambangan rakyat di sungai Aikwa. Freeport juga diminta melakukan hal serupa. Ketidakjelasan status hukum berulangkali memicu konflik antara kelompok penambang. Mereka juga ditengarai menggunakan air raksa dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung penduduk setempat
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Persaingan Timpang
Konflik antara penambang antara lain disebabkan persaingan yang timpang. Ketika penduduk lokal masih mengais emas dengan kuali atau wajan, banyak pendatang yang bekerja dengan mesin dan alat berat. Berbeda dengan penambang kecil, penambang berkocek tebal bisa meraup keuntungan hingga 10 juta Rupiah per hari.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Bisnis Gelap di Timika
Pertambangan rakyat di sungai Ajkwa turut menciptakan struktur ekonomi sendiri. Karena banyak pihak yang diuntungkan, termasuk bandar yang menampung hasil dulangan emas penduduk di Timika dan oknum pemerintah lokal yang menyewakan lahan penambangan secara ilegal. Situasi tersebut mempersulit upaya penertiban pertambangan rakyat di Papua. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)