Facebook Blokir Kampanye Anti-Vaksin Perusahaan Asal Rusia
11 Agustus 2021
Facebook blokir Fazze, perusahaan asal Rusia yang beroperasi di luar negeri, yang menggalang kampanye anti-vaksin Barat dengan informasi palsu tentang AstraZeneca dan BioNTech-Pfizer.
Iklan
Facebook mengatakan hari Selasa (10/8) mereka telah menutup kampanye hoaks yang berusaha menyebarkan informasi palsu tentang vaksin COVID-19 yang dibuat oleh perusahaan BioNTech-Pfizer dan AstraZeneca.
Teori konspirasi anti-vaksin dan virus corona, dalam beberapa bulan terakhir telah menyebar luas di situs media sosial. Facebook mengatakan, setelah melacak ratusan akun palsu, semua kembali ke Fazze, sebuah perusahaan asal Rusia yang terdaftar di Inggris.
Akun-akun palsu itu misalnya mengklaim, vaksin AstraZeneca bisa mengubah orang menjadi simpanse. Facebook mengatakan telah memblokir Fazze karena melanggar aturan di platform media sosial itu.
Vaksinasi COVID-19 Hingga ke Daerah Terpencil di Dunia
Tim medis menempuh perjalanan panjang dan sulit untuk memvaksinasi orang-orang di seluruh dunia. Pekerjaan itu membawa mereka melintasi pegunungan dan sungai, menaiki pesawat, perahu, bahkan juga berjalan kaki.
Foto: Tarso Sarraf/AFP
Mendaki gunung
Dibutuhkan fisik yang bugar bagi tenaga medis untuk memvaksinasi penduduk di daerah pegunungan di tenggara Turki. "Orang sering tinggal berdekatan dan infeksi bisa menyebar dengan cepat," kata Dr. Zeynep Eralp. Orang-orang di pegunungan tidak suka pergi ke rumah sakit, jadi "kita harus pergi ke mereka," tambahnya.
Foto: Bulent Kilic/AFP
Melintasi daerah bersalju
Banyak orang lanjut usia tidak dapat melakukan perjalanan ke pusat vaksinasi. Di Lembah Maira di Alpen Italia barat, dekat perbatasan dengan Prancis, dokter mendatangi rumah ke rumah untuk memberi suntikan COVID-19 kepada penduduk yang berusia lebih dari 80 tahun.
Foto: Marco Bertorello/AFP
Penerbangan ke daerah terpencil
Dengan membawa botol berisi beberapa dosis vaksin, perawat ini sedang dalam perjalanan ke Eagle, sebuah kota di Sungai Yukon di negara bagian Alaska, AS, daerah dengan penduduk kurang dari 100 orang. Masyarakat adat diprioritaskan dalam banyak program imunisasi.
Foto: Nathan Howard/REUTERS
Beberapa warga perlu diyakinkan
Setiap hari, Anselmo Tunubala keluar masuk pemukiman di pegunungan Kolombia barat daya untuk meyakinkan warga tentang pentingnya vaksinasi. Banyak warga meragukan vaksin dan cenderung mengandalkan pengobatan tradisional, serta bimbingan para pemuka agama.
Foto: Luis Robayo/AFP
Jalan kaki selama berjam-jam
Pria dan wanita dalam foto di atas berjalan hingga empat jam untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 di desa terpencil Nueva Colonia di Meksiko tengah. Mereka adalah penduduk asli Wixarika, atau lebih dikenal dengan nama Huichol.
Foto: Ulises Ruiz/AFP/Getty Images
Vaksinasi di sungai
Komunitas Nossa Senhora do Livramento di Rio Negro di Brasil hanya dapat dijangkau melalui sungai. "Cantik! Hampir tidak sakit," kata Olga Pimentel setelah disuntik vaksin. Dia tertawa dan berteriak "Viva o SUS!" - "panjang umur pelayanan kesehatan masyarakat Brasil!"
Foto: Michael Dantas/AFP
Hanya diterangi cahaya lilin
Presiden Brasil Jair Bolsonaro menentang vaksinasi COVID-19. Namun, di sisi lain kampanye itu telah berjalan. Penduduk asli keturunan budak Afrika, termasuk di antara yang kelompok pertama yang divaksinasi. Raimunda Nonata yang tinggal di daerah tanpa listrik, disuntik vaksin dibantu penerangan cahaya lilin.
Foto: Tarso Sarraf/AFP
Rela mendayung jauh
Setelah vaksinasi, seorang wanita tua dan putrinya mendayung menjauhi Bwama, pulau terbesar di Danau Bunyonyi di Uganda. Pemerintah negara Afrika tengah sedang mencoba untuk memasok daerah terpencil dengan vaksin COVID-19.
Foto: Patrick Onen/AP Photo/picture alliance
Medan yang berat
Perjalanan lain melintasi perairan tanpa perahu. Dalam perjalanan menuju desa Jari di Zimbabwe, tim medis harus melewati jalan yang tergenang air. Menurut badan kesehatan Uni Afrika, CDC Afrika, kurang dari 1% populasi di Zimbabwe telah divaksinasi penuh.
Foto: Tafadzwa Ufumeli/Getty Images
Dari rumah ke rumah
Banyak orang di Jepang tinggal di desa terpencil, seperti di Kitaaiki. Warga yang tidak bisa ke kota, dengan senang hati menyambut dokter dan tim medis di rumah mereka untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19.
Foto: Kazuhiro Nogi/AFP
Barang yang sangat berharga
Indonesia meluncurkan kampanye vaksinasi pada Januari 2021. Di Banda Aceh, tim medis melakukan perjalanan menggunakan perahu ke pulau-pulau terpencil. Vaksin di dalam kotak pendingin merupakan barang yang sangat berharga sehingga perjalanan tim medis didampingi petugas keamanan.
Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP
Tanpa masker dan tidak menjaga jarak
India menjadi negara terdampak parah pandemi COVID-19. Pada pertengahan Maret 2021, petugas medis mendatangi desa Bahakajari di Sungai Brahmaputra. Sekelompok wanita mendaftar untuk mendapatkan vaksin. Tidak ada yang memakai masker atau menjaga jarak aman. (ha/hp)
Foto: Anupam Nath/AP Photo/picture alliance
12 foto1 | 12
Isu hoaks orang yang divaksin bisa jadi simpanse
Para penyelidik Facebook menggambarkan, kampanye hoaks tersebut sebagai penggalangan "disinformasi lintas platform" lewat berbagai platform seperti Reddit, Medium dan Change.org, serta akun-akun palsu di Facebook dan Instagram.
Iklan
Tahun lalu, jaringan akun palsu mulai mengedarkan meme, bahwa vaksin AstraZeneca untzuk melawan Covid-19 akan mengubah orang menjadi simpanse, kata Facebook.
Sekitar lima bulan kemudian, kampanye hitam yang dikoordinir Fazze tersebut mulai menyebar hoaks berikutnya, tentang keamanan vaksin BioNTech-Pfizer dan menyebarkan apa yang diklaim sebagai dokumen AstraZeneca yang bocor. Kampanye ini terutama menargetkan pengguna media sosial di India Amerika Latin serta AS.
Fazze juga membayar para influencer di YouTube, Instagram, dan TikTok di beberapa negara untuk mendorong penyebaran konten anti-vaksin mereka, demikian menurut Facebook.
Nathaniel Gleicher, kepala kebijakan keamanan Facebook mengatakan, upaya Fazze merekrut influencer patut diperhatikan, meskipun kampanye mereka tidak mendapatkan banyak daya tarik online.
"Meskipun ceroboh dan tidak memiliki jangkauan yang sangat baik, itu adalah strategi bermasalah," kata Nataniel Gleicher, dan mengimbau para influencer untuk tidak berpartisipasi dalam kampanye hoaks itu.
Facebook mengatakan beberapa influencer telah memposting materi Fazze, tetapi kemudian menghapusnya lagi, ketika cerita tentang kampanye hitam itu mulai muncul. Dua influencer Jerman dan Prancis awal tahun ini mengungkapkan kampanye hoaks Fazze ke publik. Pemimpin divisi intelijen keamanan Facebook Ben Nimmo mengatakan, banyak influencer terpengaruh kampanye hoaks itu, terutama di India dan Brazil, tapi dua influencer Jerman telah "mengerjakan pekerjaan rumah mereka dengan baik".
"Ini benar-benar peringatan - berhati-hatilah saat seseorang mencoba memberimu cerita. Lakukan riset sendiri," kata Ben Nimmo mengingatkan.