Dipaksa Blokir Grup Antimonarki, Facebook Gugat Thailand
26 Agustus 2020
Facebook akan menggugat perintah pemerintah Thailand memblokir akses bagi kelompok antimonarki. Padahal sehari sebelumnya raksasa media sosial itu masih patuh dan menutup sebuah laman yang kritis terhadap kerajaan.
Iklan
Facebook, sejak Senin (25/8), memblokir akses bagi kelompok antimonarki Thailand bernama The Royalist Marketplace yang memiliki satu juta pengikut. “Setelah mengkaji dengan hati-hati, Facebook memutuskan patuh untuk membatasi akses terhadap konten yang dianggap ilegal oleh pemerintah Thailand,” tulis Facebook dalam sebuah email kepada kantor berita dpa, Selasa (26/8).
Dalam keterangan persnya, Facebook mengaku terpaksa mematuhi perintah tersebut. “Permintaan seperti ini adalah sangat serius, bertentangan dengan hukum hak asasi internasional dan membuat efek takut bagi warga untuk mengekspresikan pandangannya sendiri.”
“Kami melindungi dan membela hak semua pengguna internet dan siap menggugat permintaan ini lewat proses hukum,” tulis raksasa media sosial asal California, AS, tersebut.
Grup The Royalist Marketplace, di Facebook didirikan oleh Pavin Chachavalpongpun, seorang akademisi antimonarki yang hidup di pengasingan di luar negeri. Di Thailand, dia bisa dijerat dengan pasal penghinaan kerajaan dengan ancaman penjara maksimal penjara 15 tahun.
Pavin menanggapi pemblokiran lamannya dengan membuat grup baru dengan nama yang sama. Hingga Selasa (26/8), grup tersebut sudah diikuti oleh sekitar 600.000 anggota. Pengguna di Thailand bisa mengakses laman tersebut.
“Blokir lah lagi dan saya akan membuat grup baru lagi. Biarkan mereka tahu – Apakah Anda benar-benar bisa memblokir berita dan informasi di tahun 2020?” tulis Pavin di laman barunya itu, Senin (25/8).
Prayuth siap ke pengadilan
Pavin saat ini bekerja sebagai guru besar di Universitas Kyoto di Jepang. Perintah pemblokiran yang dikeluarkan pemerintah Thailand hanya memacu semangatnya untuk bekerja lebih keras di media sosial.
“Saya lebih termotivasi untuk membesarkan laman ini karena saya tahu pemerintah Thailand berusaha keras untuk memblokirnya, artinya saya berada di jalur yang benar,” kata dia.
Sentimen antimonarki menguat selama aksi protes terhadap pemerintah. Kritik terhadap kerajaan selama ini dianggap tabu di masyarakat Thailand. Tidak jarang, aksi protes antimonarki disambut dengan demonstrasi tandingan loyalis kerajaan.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengatakan perintah untuk membatasi akses terhadap grup The Royalist Marketplace sudah sesuai hukum dan telah melewati prosedur peradilan. “Jika ada gugatan dalam isu ini, kami akan menggunakan hukum Thailand untuk membela posisi kami,” kata dia.
Langkah tersebut mengundang kecaman dari kelompok Hak Asasi Manusia, seperti Human Rights Watch. “Pemerintah Thailand kembali menyalahgunakan produk perundangan yang berlebihan dan membatasi hak sipil, untuk memaksa Facebook membatasi konten yang dilindungi oleh hak asasi untuk kebebasan berpendapat,” kata Direktur Advokasi Asia di HRW, John Stifton.
Menurutnya Facebook harus “melawan perintah pemerintah di setiap forum, untuk melindungi hak asasi warga Thailand” pungkasnya sembari menambahkan, “negara-negara yang khawatir (atas situasi di Thailand) harus memrotes ancaman serius pemerintah Thailand.”
rzn/hp (dpa,rtr)
Ketika Jendral Rolex Sudutkan Junta Militer Thailand
Sebuah jam tangan mewah yang dikenakan petinggi junta militer Thailand memicu protes dan cemooh. Ulah Prawit Wongsuwan menempatkan pemerintahan militer dalam posisi pelik menyusul aksi protes yang belum reda.
Foto: Getty Images/AFP/L. Suwanrumpha
Foto Menjadi Petaka
Gambar kabinet baru junta militer Thailand yang diunggah akhir 2017 silam memicu hujan sumpah serapah. Pasalnya sosok kedua paling berkuasa, Prawit Wongsuwan, yang dalam gambar sedang menutup mata, tanpa sengaja menampilkan kekayaan berlimpah.
Foto: Getty Images/AFP/K.P. Na Sakolnakorn
Jam Seharga Mobil Mewah
Prahara berawal dari jam tangan yang dikenakan Prawit. Perhiasan merek Richard Mille asal Swiss itu dibanderol seharga hampir 1 milyar Rupiah. Tak pelak, cibiran dan cemoohan terhadap sang jendral memenuhi ruang publik Thailand.
Foto: Getty Images/AFP/K.P. Na Sakolnakorn
Harta di Pergelangan Tangan
Beberapa hari berselang pengguna media sosial Thailand membanjiri dunia maya dengan gambar meme, termasuk foto yang menampilkan Prawit mengenakan 24 jam tangan mewah dalam berbagai kesempatan yang nilainya ditaksir mencapai belasan milyar Rupiah.
Foto: abc.net.au
Gelombang Protes Landa Bangkok
Sejak kudeta militer 2014 silam, pemerintah junta Thailand banyak memberangus kebebasan berpendapat dan berkumpul. Meski begitu ribuan penduduk turun ke jalan untuk menentang korupsi di kalangan pejabat tinggi. "Jam tangan ini menunjukkan bahwa waktu buat pemerintah sudah berakhir," kata aktivis Ekachai Hongkangwan. Beberapa jam kemudian dia babak belur dipukuli sekelompok orang tak dikenal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/S. Lalit
Seni Ganyang Korupsi
Olok-olokan terhadap Jendral Prawit tidak cuma muncul di dunia maya, tetapi juga hadir dalam bentuk seni jalanan di ibukota Bangkok. Gambar ini misalnya dibuat oleh seniman Thailand yang menamakan diri Headache Stencil. Setelah rumahnya disantroni polisi, dia memilih hidup bersembunyi.
Foto: Getty Images/AFP/L. Suwanrumpha
Kebangkitan Bintang Gemuk
Salah satu meme yang beredar pesat di internet adalah pelesetan poster film "Edge of Tomorrow" yang dibintangi Tom Cruise. Wajah Prawin dipasang pada poster dan diberi nama "Pom Cruise." Dalam bahasa Thailand, Pom artinya gemuk.
Foto: abc.net.au
Bola Panas buat Junta
Kasus Prawit menjadi bola panas buat junta militer Thailand, terutama karena bekas Jendral Prayuth Chan Ocha menjatuhkan pemerintahan sipil dengan dalih korupsi. Penanggulangan dan pencegahan korupsi juga dijadikan kebijakan prioritas pemerintahan junta militer.
Foto: Getty Images/AFP/P. Kittiwongsakul
Bersih Dosa Lewat KPK
Pada kasus Jendral Prawit, Komisi Anti Korupsi Thailand mengaku telah menggelar penyelidikan dan tidak menemukan kejanggalan. Prawit yang kini dikenal dengan sebutan "Jendral Rolex" itu mengklaim hanya meminjam jam tangan tersebut dan sudah dikembalikan kepada pemiliknya.
Foto: picture-alliance/dpa/N. Sangnak
Militer di Bawah Cengkraman Rakyat
Tapi manuver pemerintah gagal meyakinkan penduduk. Sejak awal Februari sebuah petisi online untuk memaksa Prawit Wongsuwan mengundurkan diri telah ditandatangani oleh lebih dari 80.000 orang. Militer yang menghadapi pemilu dinilai cuma memiliki dua opsi, mengakui adanya budaya korupsi di kalangan petinggi militer atau tetap melindungi "Jendral Rolex" yang akan semakin memicu amarah penduduk