Facebook Tutup Sindikat Akun Palsu Terkait Papua
4 Oktober 2019Facebook mengumumkan penutupan ratusan halaman, grup dan akun lantaran "perilaku tidak otentik yang terkoordinasi" di Indonesia. Operasi tersebut melibatkan sebuah jejaring berisikan lebih dari 100 akun palsu di Facebook dan Instagram yang memuat konten berbahasa Inggris dan Indonesia.
Kebanyakan akun tersebut mengulas masalah Papua. Sebagian memposisikan diri mendukung kemerdekaan Papua Barat sebagian lain mendukung pemerintah dalam konteks negara kesatuan.
"Jejaring halaman dan akun ini dibuat agar terlihat seperti media-media lokal atau organisasi advokasi" kata David Agranovitch, Direktur Gangguan Ancaman Global di Facebook.
Pria yang pernah bekerja di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih itu juga mengaku memiliki tim yang khusus memonitor aktivitas di Indonesia terkait masalah Papua. Mereka antara lain menyelidiki akun-akun palsu yang aktif menyebarkan konten, membeli iklan atau mengalihkan pengguna ke situs milik perusahaan marketing Indonesia bernama InsightID.
Jurubicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu, mengaku pihaknya tidak meminta Facebook melakukan penutupan akun-akun tersebut. "Kadang-kadang penutupan itu dilakukan berdasarkan kebijakan internal sendiri, bisa jadi di luar permintaan pemerintah," kata dia kepada DW.
Dia mengaku keterlibatan perusahaan swasta dalam bisnis propaganda politik via media sosial sudah berakar sejak lama di Indonesia. Namun dalam hal ini Kemkominfo tidak membatasi "selama mereka tidak melanggar aturan yang berlaku."
Facebook menulis operasi pembersihan kali ini membidik 69 akun dan 42 halaman Facebook, serta 34 akun Instagram. Sebanyak 410.000 akun di Facebook dan 120.000 akun di Instagram tercatat mengikuti setidaknya salah satu akun tersebut.
Akun-akun itu juga tidak jengah menggelontorkan duit untuk beriklan. Jumlahnya menurut Facebook sekitar 300.000 USD atau setara dengan Rp. 4,2 miliar dan dibayarkan dalam mata uang Rupiah.
Pola serupa juga ditemukan Facebook di wilayah konflik lain di Timur Tengah. Agranovitch mengaku pihaknya menyelidiki tiga perusahaan jasa iklan di Uni Emirat Arab, Mesir dan Nigeria yang membeli akun palsu untuk mengunggah konten ihwal campur tangan UEA di Yaman atau program nuklir Iran.
Sementara dalam kasus Papua, kelompok-kelompok yang terlibat berusaha membangun dua narasi yang berbeda.
Sejak September silam berbagai peneliti sudah mewanti-wanti terhadap naiknya jumlah akun palsu di Twitter dan Facebook milik buzzer yang mengaku mewakili Papua, namun mengunggah konten-konten pro pemerintah dalam bahasa Inggris, seperti West Papua Now atau West Papua Indonesia.
Menurut Benjamin Strick, peneliti media sosial dari BBC, akun-akun tersebut turut menggunakan tagar pro-Papua untuk membanjiri percakapan dan narasi pro kemerdekaan atau anti-pemerintah dengan konten tandingan. Konten-konten tersebut biasanya berupa berita mengenai kemajuan proyek pembangunan di Papua atau jasa tentara.
Sementara narasi lain dibuat untuk membidik publik di dalam negeri dalam bahasa Indonesia.
Khusus masalah Papua, Jurubicara Kemkominfo Ferdinandus Setu mengaku lembaganya kesulitan menentukan nilai kebenaran informasi yang beredar. "Jadi klarifikasi resmi dari pihak kepolisian juga sangat terbatas. Dan ketika kami menelpon langsung, sering ada kendala teknis," kilahnya.
Untuk mengantisipasi kekeliruan dalam pengujian fakta, Menkominfo Rudiantara sudah menginstruksikan penambahan personal untuk mengawasi peredaran berita palsu. Setu membenarkan keputusan memblokir internet di Papua juga antara lain diambil lantaran ketidakmampuan lembaganya menyaring "sekitar 70.000" unggahan ihwal kerusuahan yang beredar setiap hari.
rzn/as (rtr, tempo, bbc, bellingcat)