Ada peristiwa menarik sehubungan pembebasan sandera di Mimika baru-baru ini, yaitu penolakan perwira yang sedianya akan memperoleh KPLB (kenaikan pangkat luar biasa). Simak opini Aris Santoso.
Iklan
Ada peristiwa menarik sehubungan pembebasan sandera di Mimika baru-baru ini, yang hampir saja luput dari perhatian publik, yaitu penolakan (secara halus) lima perwira yang sedianya akan memperoleh KPLB (kenaikan pangkat luar biasa). Lima perwira tersebut, satu berpangkat kapten dan empat berpangkat lettu (letnan satu), oleh pimpinan TNI dinilai pantas memperoleh KPLB, karena keberhasilannya memimpin operasi pembebasan sandera.
Lima perwira tersebut kemudian menolak secara halus, berdasarkan dua alasan. Pertama, tugas pembebasan sandera adalah kewajiban selaku perwira TNI, sama posisinya dengan tugas-tugas yang lain. Kedua, berdasarkan prinsip keberhasilan adalah milik anak buah, sementara bila tugas gagal menjadi tanggung jawab perwira selaku pimpinan. Jadi yang akhirnya memperoleh KPLB adalah prajurit dari unsur bintara dan tamtama.
Ini sungguh fenomena spektakuler, jangankan publik awam, Panglima TNI saja juga terkejut melihat pilihan sikap lima perwira tersebut. Sikap mereka bisa dibaca sebagai tamparan keras bagi perilaku elite politik, baik di pusat maupun di daerah, yang haus akan kekuasaan dan jabatan, bila perlu dengan cara kasar dan tak beretika. Peristiwa ini layak dicatat dalam tintas emas tonggak kebudayaan (baca: perilaku politik) di tanah air.
Reinkarnasi Pemberontakan PETA
Bila Panglima TNI saja sampai terkejut, artinya peristiwa ini benar-benar di luar kebiasaan, mengingat baru kali ini ada perwira yang menolak KPLB. Kita hanya bisa menduga-duga, kira-kira siapa yang menjadi inspirasi tindakan mereka. Sesuai hirarki dalam militer, jangan diharapkan ada pernyataan resmi dari mereka, dan lagi mereka sudah sulit dicari jejaknya, karena sudah kembali bertugas di belantara Papua.
Tindakan mereka bisa jadi adalah sebuah ekspresi visi baru generasi baru TNI, khususnya untuk level perwira. Salah satu perwira generasi pasca-1945 yang sudah merumuskan visinya adalah Jenderal TNI (Purn) Moeldoko (lulusan terbaik Akmil 1981). Naskah visi generasi baru TNI disusun Moeldoko, sekitar satu dasawarsa lalu, saat Moeldoko masih berpangkat kolonel, dan sedang bersiap dipromosikan pada pos brigjen.
Inti pemikiran Moeldoko adalah, pada dasarnya generasi baru TNI juga seorang prajurit pejuang, dengan mengambil inspirasi dari "seorang pendekar bangsa” (maksudnya adalah Jenderal Soedirman). Moeldoko mengakui, dalam perjalanan TNI selalu ada dinamika dan perubahan, namun di antara perubahan-perubahan itu, ada elemen yang konstan, yakni nilai kejuangan Jenderal Sudirman yang menjadi panduan prajurit TNI dari generasi ke generasi.
Perjudian Buntu di Tambang Grasberg
Kemelut antara Indonesia dan PT Freeport berpotensi cuma akan menghasilkan pecundang. Kedua pihak terjebak dalam pertaruhan besar seputar tambang Grasberg, tanpa ada jalan keluar.
Harus diakui, PT Freeport adalah salah satu perusahaan asing yang paling kontroversial di Indonesia. Hubungan antara perusahaan yang bermarkas di Phoenix, AS, dengan pemerintah selama ini dipenuhi kekisruhan dan perseteruan. Tidak heran jika jelang negosiasi perpanjangan kontrak, kedua pihak kembali bersitegang.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Bola Api dari Jakarta
Terakhir, raksasa tambang AS itu berseteru dengan pemerintah soal Kontrak Karya dan izin ekspor. Kontrak yang ada saat ini akan berakhir tahun 2021 dan Jakarta enggan memperpanjang karena khawatir merugi. Sebab itu Kementerian Energi dan SDM mengajukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi Freeport buat memperpanjang kontrak.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Simalakama Freeport
Tahun 2017 pemerintah mengubah status Kontrak Karya yang dikantongi Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bersamanya Freeport wajib membangun fasilitas pemurnian alias smelter dalam waktu lima tahun dan menyerahkan 51% saham tambang Grasberg pada Indonesia. Namun Freeport menolak klausul tersebut karena dinilai merugikan.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Menyambung Nyawa
Lantaran gagal memenuhi persyaratan yang diajukan, pemerintah mencabut izin ekspor Freeport dan sejak 2015 hanya memberikan izin sementara yang berlaku selama enam bulan. Situasi ini menyudutkan Freeport karena tidak bisa mengekspor ketika harga Tembaga sedang melambung. Terlebih tambang terbuka Grasberg nyaris habis masa pakainya dan Freeport harus mulai menambang tembaga di bawah tanah.
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Tekanan Pasar
Lantaran sikap keras Jakarta, Freeport merumahkan 12.000 pegawai akibat penurunan produksi. Kemelut di Indonesia akhirnya berimbas negatif pada saham Freeport. Analis pasar menganjurkan investor jangka panjang untuk tidak membeli saham Freeport hingga kisruh kontrak diselesaikan. JP Morgan bahkan menurunkan status Freeport dari "Overweight" menjadi "Neutral."
Foto: Getty Images/AFP/O.Rondonuwu
Gali Lubang Demi Utang
Tekanan pasar pada Freeport bertambah besar lantaran ketidakjelasan soal izin ekspor. Tahun ini Freeport merencanakan kapasitas produksi tambang Grasberg sebesar 32% dari total volume produksi perusahaan. Demi membiayai produksi dan menutup utang, perusahaan itu telah menjual sahamnya di tambang-tambang Afrika, dan mulai menambang tembaga berkualitas tinggi di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/T.Eranius
Terganjal Regulasi
Freeport berdalih akan berinvestasi senilai 15 miliar Dollar AS untuk mengubah Grasberg menjadi tambang bawah tanah. Untuk itu mereka menginginkan kepastian perpanjangan Kontrak Karya hingga 2041. Namun menurut UU Minerba, Indonesia hanya bisa menegosiasikan kontrak dua tahun sebelum masa berlakunya berakhir, dalam hal ini tahun 2019.
Foto: AFP/Getty Image
Jalan Buntu buat Dua Pihak
Akhirnya kedua pihak tidak bisa mengalah dan berniat membawa kasus Grasberg ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Buat Freeport, menerima IUPK berarti kehilangan kuasa atas salah satu sumber pemasukan terbesarnya. Sementara pemerintah Indonesia juga enggan mundur dari tuntutannya karena terancam merugi dan kehilangan muka di hadapan publik. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)
Inspirasi berikutnya adalah faktor historis. Dari sekian peristiwa heroik yang pernah terjadi di tanah air, satu peristiwa yang paling mirip dengan tindakan lima perwira tersebut adalah episode pemberontakan PETA di Blitar (1945), di bawah pimpinan Sodancho Supriyadi. Kemiripan pertama dari segi usia dan jabatan. Saat memimpin pemberontakan Supriyadi seusia dengan kelima perwira tersebut, dengan jabatan yang setara, setingkat komandan peleton.
Kemiripin berikutnya lebih substansial, yakni sebagai respons terhadap lingkungan yang muram. Pemberontakan PETA terjadi, karena para prajurit PETA tidak tahan melihat penderitaan rakyat saat itu, dan sudah berlangsung bertahun-tahun, sementara di sisi lain para perwira tentara Jepang di Blitar hampir setiap malam bersenang-senang.
Demikian pula dengan lima perwira tersebut, mereka menjadi saksi kehidupan rakyat Indonesia hari ini. Sebagaimana sudah disinggung sekilas di atas, mereka prihatin melihat perilaku elite politik yang demikian rakus terhadap kekuasaan dan harta. Bila anggota PETA mengekspresikan keprihatinannya dengan cara memberontak (kekerasan), sementara kelima perwira tersebut melawan secara kultural.
Ramainya Peringatan HUT Ke-72 TNI
Hampir 6.000 serdadu ikut meramaikan upacara peringatan HUT ke-72 Tentara Nasional Indonesia. Meski dibubuhi kegaduhan seputar ambisi politik panglima, perayaan tersebut tetap berlangsung meriah.
Foto: Reuters/Beawiharta
Bersolek Jelang Pawai
Sedikitnya 5.932 tentara ikut meramaikan parade prajurit dalam upacara peringatan HUT ke-72 TNI di Cilegon, Banten. Beberapa diantaranya bersolek memakai "riasan perang" untuk gelar atraksi kanuragan dan kelihaian bela diri militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Tertahan dan Terlambat
Meski sempat tertahan kemacetan lalu lintas dan harus berjalan kaki sejauh 3 km, Presiden Joko Widodo akhirnya memimpin inspeksi pasukan sebelum berpidato mengenai kesetiaan dan profesionalisme tentara. Jokowi juga mengutup ujaran Jenderal Sudirman mengenai kesetiaan tentara pada negara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Hantu Dwifungsi
Perayaan HUT TNI tahun ini dibumbui oleh polemik seputar hak berpolitik tentara yang dicetuskan Panglima Gatot Nurmantyo. Menurutnya tentara suatu saat bisa kembali berpolitik, "jika masyarakat sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Bugar dan Disiplin
Selain mendemonstrasikan disiplin dan kebugaran tubuh, sebanyak 1.800 prajurit juga menunjukkan kepiawaian mereka dalam olahraga bela diri, pencak silat serta olah kanuragan Debus.
Foto: Reuters/Beawiharta
Rakyat Terlibat
Mengusung tema "Bersama Rakyat TNI Kuat," TNI mengajak murid sekolah untuk menaiki lusinan kendaraan lapis baja dalam parade di hadapan rombongan Istana Negara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Demonstrasi Alutsista
Namun yang paling ditunggu-tunggu adalah demonstrasi berbagai sistem persenjataan yang saat ini dimiliki TNI. Terutama aksi gabungan tiga matra TNI yang digelar untuk menunjukkan kesiapan TNI menghadapi serangan asing menjadi tontonan paling seru selama peringatan HUT ke 72 tahun ini. (rzn/as - rtr,ap)
Menurut Panglima TNI, meski mereka "batal” memperoleh KPLB, namun kelak akan diberi kemudian dalam menempuh jalur pendidikan. Meskipun Panglima TNI tidak menyebut secara eksplisit pendidikan macam apa yang dimaksud, saya kira yang dimaksud adalah Seskoad (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung. Justru merupakan a blessing in disguised bila mereka diberi kemudahan masuk Seskoad, artinya mereka bisa masuk tanpa tes. Mengingat persaingan masuk Seskoad cukup berat, ada pemen (perwira menengah) yang baru tembus Seskoad, setelah sekian kali mengikuti tes masuk.
Dalam jangka panjang, faktor pendidikan lebih menguntungkan. Di masa lalu promosi perwira biasanya dengan mempertimbangkan pengalaman operasi tempurnya, sementara untuk masa datang, itu sudah sulit dilakukan, mengingat operasi tempur semakin langka, bahkan tidak ada sama sekali. Tatkala negeri dalam kondisi damai, maka salah satu kriteria mempromosikan perwira adalah dengan melihat aspek pendidikan. Bila telah mengikuti Seskoad, kemudian kelak dilanjutkan dengan Sesko TNI, prospek lima perwira tersebut sebenarnya sudah bisa dianggap aman.
Bila melalui KPLB, mungkin jalan yang ditempuh bisa berbeda. KPLB memang bisa mendorong karier perwira, namun kelak akan diuji oleh sang waktu, sementara kita tidak tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari. Seperti pengalaman Letjen TNI Purn Sintong Panjaitan (Akmil 1963), yang juga memperoleh KPLB usai memimpin pembebasan sandera di Bangkok (1981).
Karier Sintong kemudian melesat, sampai digadang-gadang sebagai calon KSAD. Namun semua harapan itu kandas, Sintong diperlakukan secara tidak fair. Sebuah rekayasa politik tingkat tinggi, yakni insiden Santa Cruz di Dili (November 1991), telah menepikan posisi Sintong. Dari segi waktu, usia "kejayaan” Sintong selaku peraih KPLB hanya sepuluh tahun (1981-1991). Bagi seorang tentara, rentang waktu sepuluh tahun terbilang cepat, karena seorang letnan dua yang baru lulus dari Akmil, harus menunggu sekitar 13-15 tahun, bahkan bisa lebih, untuk mencapai pos Danyon.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Bila dilihat dari pangkat, semuanya masuk level perwira pertama, lalu dari segi usia rata-rata masih di bawah 30 tahun, dengan begitu mereka bisa dikategorikan sebagai generasi milenial. Sekadar perbandingan, lima perwira ini adalah yunior dari Mayor Inf (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono (Akmil 2000), jaraknya berkisar 10 angkatan atau kelas. Sementara Agus sendiri masih bisa dianggao generasi milenal juga, dengan melihat segi usia dan tampilannya, walau sudah purnawirawan.
Bisa jadi para perwira tersebut juga terbawa spirit generasi milenial, yang dikenal sangat menikmati pekerjaan dan proses menuju hasil, serta tidak terlalu memikirkan soal uang sebagai imbalan dari jerih payah mereka. Mereka berprinsip, bila sukses kesejahteraan akan datang dengan sendirinya. Kepuasan mereka terletak bila target telah tercapai, dan itu tidak identik dengan uang.
Keberadaan perwira semacam itu, menjadikan kebanggaan bangsa ini membuncah. Kita tidak sabar menanti tampilnya generasi milenial memimpin negeri ini, baik sebagai pejabat publik maupun sebagai perwira tinggi. Mengingat generasi senior jauh mereka, sudah terlalu membosankan, yang ada di benak generasi tua ini hanya harta dan kekuasaan. Manusia model begini, kalau meninggal pun tidak ada yang meratapi.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Ribuan penduduk mengais emas dari limbah tambang Freeport di Timika. Pemerintah ingin menutup kegiatan ilegal itu karena memicu kerusakan lingkungan. Tapi banyak oknum yang terlanjur menikmati bisnis gelap tersebut
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tambang Ilegal di Aikwa
Penambang emas mendulang emas di sungai Aikwa di Timika, Papua. Meski banyak penduduk suku Kamoro yang masih berusaha mencari uang sebagai nelayan, kegiatan penambangan emas merusak dasar sungai yang kemudian memangkas populasi ikan di sungai Aikwa.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Emas Punya Siapa?
Sejumlah penduduk bahkan datang dari jauh untuk menambang emas di sungai Aikwa. Indonesia memproduksi emas yang mendatangkan keuntungan senilai 70 miliar Dollar AS setahun, atau sekitar 900 triliun Rupiah. Tapi hanya sebagian kecil yang bisa dinikmati penduduk lokal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Buruh Papua Mencari Kerja
Kebanyakan penduduk asli setempat telah terusir oleh kegiatan perluasan tambang. Saat ini Freeport mengaku memiliki hampir 30.000 pegawai, sekitar 30% berasal dari Papua, sementara 68% dari wilayah lain di Indonesia dan kurang dari 2% adalah warga asing. Berkat tekanan dari Jakarta, Freeport berniat menambah komposisi pekerja Papua menjadi 50%.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Sumber Kemakmuran
Tambang Grasberg adalah sumber emas terbesar di dunia dan cadangan tembaganya tercatat yang terbesar ketiga di dunia. Dari sekitar 238.000 ton mineral yang diolah setiap hari, Freeport memproduksi 1,3% emas, 3,4% perak dan 0,98 persen tembaga. Artinya tambang Grasberg menghasilkan sekitar 300 kilogram emas per hari.
Foto: Getty Images/AFP
Berjuta Limbah
Grasberg berada di dekat Puncak Jaya, gunung tertinggi di Indonesia. Setiap hari, tambang tersebut membuang sekitar 200.000 ton limbah ke sungai Aikwa. Pembuangan limbah tambah oleh Freeport ujung-ujungnya membuat alur sungai Aikwa menyempit dan dangkal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Nilai Tak Seberapa
Setiap tahun sebagian kecil dari jutaan gram emas yang ditambang di Grasberg terbuang ke sungai Aikwa dan akhirnya didulang oleh penduduk. Semakin ke hulu, maka semakin besar kemungkinan mendapatkan emas. Rata-rata penambang kecil di Aikwa bisa mendulang satu gram emas per hari, dengan nilai hingga Rp. 500.000.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Simalakama Penambangan Ilegal
Pertambangan rakyat di sungai Aikwa selama ini dihalangi oleh pemerintah. Tahun 2015 silam TNI dan Polri berniat memulangkan 12.000 penambang ilegal. Pemerintah Provinsi Papua bahkan berniat mengosongkan kawasan sungai dengan dalih bahaya longsor. Namun kebijakan tersebut dikritik karena menyebabkan pengangguran dan memicu ketegangan sosial.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kerusakan Lingkungan
Asosiasi Pertambangan Rakyat Papua sempat mendesak pemerintah untuk melegalisasi dan menyediakan lahan bagi penambangan rakyat di sungai Aikwa. Freeport juga diminta melakukan hal serupa. Ketidakjelasan status hukum berulangkali memicu konflik antara kelompok penambang. Mereka juga ditengarai menggunakan air raksa dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung penduduk setempat
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Persaingan Timpang
Konflik antara penambang antara lain disebabkan persaingan yang timpang. Ketika penduduk lokal masih mengais emas dengan kuali atau wajan, banyak pendatang yang bekerja dengan mesin dan alat berat. Berbeda dengan penambang kecil, penambang berkocek tebal bisa meraup keuntungan hingga 10 juta Rupiah per hari.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Bisnis Gelap di Timika
Pertambangan rakyat di sungai Ajkwa turut menciptakan struktur ekonomi sendiri. Karena banyak pihak yang diuntungkan, termasuk bandar yang menampung hasil dulangan emas penduduk di Timika dan oknum pemerintah lokal yang menyewakan lahan penambangan secara ilegal. Situasi tersebut mempersulit upaya penertiban pertambangan rakyat di Papua. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)