Sejumlah sarjana Islam mengemukakan hukuman seorang murtad adalah hak prerogatif Tuhan, bukan wewenang manusia. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Masalah pemurtadan (apostasy) selalu menjadi isu penting dalam sejarah dan wacana keislaman. Dalam Islam, tindakan atau sikap seorang Muslim meninggalkan agama Islam—baik dengan perkataan maupun perbuatan—disebut dengan "riddah” atau "irtidad” dalam Bahasa Arab, dan orang Muslim yang melakukan tindakan ini disebut "murtad”. Seorang dikatakan "murtad” belum tentu mereka pindah atau konversi ke agama baru. Bisa juga mereka kemudian memilih untuk tidak beragama: menjadi sekuler, ateis, agnostik, dlsb. Masalah permurtadan ini bukan hanya diskursus dan fenomena eksklusif dalam Islam saja tetapi juga terjadi di agama-agama lain.
Ada banyak pendapat di kalangan sarjana Muslim tentang status riddah dan bagaimana seharusnya memperlakukan seorang murtad. Ada yang berpendapat riddah adalah masalah kepolitikan bukan masalah teologi-keagamaan sehingga orang yang keluar dari Islam (murtad) tidak perlu dikenai hukuman apapun, termasuk hukuman pembunuhan, karena itu akan bertentangan dengan doktrin Islam dan Al-Qur'an yang menggaransi kebebasan bagi seseorang untuk beriman dan beragama atau tidak beriman dan tidak beragama. Bagi mereka, sejarah hukuman pembunuhan bagi orang-orang yang keluar dari Islam itu lebih mengacu pada fenomena dan alasan sosial-politik belaka. Dengan kata lain, kata "murtad” bagi mereka, mengacu pada pengertian "pembangkangan politik” ketimbang "pemberontakan teologis”.
Tak ada konsensus mengenainya
Tetapi ada pula yang berargumen bahwa masalah pemurtadan adalah masalah teologi-keagamaan sehingga orang yang mendeklarasikan diri telah keluar dari Islam harus dihukum bunuh seperti yang dipraktikkan oleh generasi Islam awal pasca wafatnya Nabi Muhammad. Menariknya, sejumlah sarjana Islam terkemuka, baik klasik maupun kontemporer, baik Sunni maupun Syiah, sebut saja seperti Muhammad bin Ahmad al-Sarakshi, Abu al-Walid al-Baji, Ibrhamim al-Nakhai, Ibn al-Humam, Burhanuddin al-Marghinani hingga Ali Gomaa, Hossein Ali Montazeri, Javed Ahmad Ghamidi dan Tariq Ramadan, menyatakan tidak ada konsensus dari para ulama tentang hukuman bunuh bagi seorang murtad. Mereka juga menegaskan bahwa hukuman seorang murtad adalah hak prerogatif Tuhan, bukan wewenang manusia.
Masalah sejarah dan fenomena pemurtadan dalam Islam ini dengan baik dikupas oleh Abdullah Saeed dalam Freedom of Religion, Apostasy and Islam atau Taha Jabir al-Alwani dalam Apostasy in Islam: A Historical and Scriptural Analysis. Tulisanku ini tidak bermaksud membahas secara lebih dalam dan detail tentang pemurtadan ini. Tetapi ingin menyajikan sejumlah fenomena pemurtadan di kalangan masyarakat Islam kontemporer dimana banyak orang-orang yang memilih keluar dari Islam bukan lantaran menghadapi peliknya "masalah teologi keislaman” misalnya, melainkan dikarenakan telah muak menyaksikan perilaku umat Islam itu sendiri, khususnya kalangan Muslim ekstrimis.
Ketika Berganti Keyakinan
Mereka pindah agama karena kehendak mereka sendiri. Namun hal ini kerap menuai ketidakpahaman atau bahkan penolakan dari keluarga dan lingkungannya. Demikian pula yang dialami mereka di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Sebuah langkah besar
Ketika David Stang keluar Gereja Katolik, pada awalnya keluarganya syok. Dulu, waktu remaja, ia bahkan menjadi putra altar di gerejanya. Ia pun rajin membaca Alkitab. Ia merasa tidak cocok. Ia bercerita: "Saya dapat memahami, pastur tidak dapat menceritakan kepada saya tentang pasangan, misalnya."
Foto: DW/K. Dahmann
Tumbuh di hati
Dari kekecewaannya terhadap gereja Katolik, David Stang mulai melakukan pencarian makna pada agama-agama lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pengacara Jerman, yang masuk agama Islam. "Dia membuat saya apa mengenal Islam dan nilai-nilai yang terkait dengan itu," kata pria itu. "Dan di sana saya menemukan makna bagi diri saya lagi.“
Foto: DW/K. Dahmann
Sebuah proses yang panjang
Bagi David Stang, masuk agama Islam berarti proses pembelajaran lagi: "Awalnya, saya pikir jika masuk Islam, maka Anda harus menjauhi alkohol, makan babi dan memakai janggut. Tapi pengacara yang memperkenalkannya dengan Islam menunjukkan kepadanya bahwa yang terpenting adalah perasaan betapa menyenangkan untuk menjadi seorang Muslim. Sisanya tinggal mengikuti."
Foto: DW/K. Dahmann
Kompromi iman
Sebagai kaum profesional, sehari-hari David Stang mengalami kemacetan antara Hannover dan kota kelahirannya Bonn. Lima kali sehari untuk berdoa tidak selalu memungkinkan baginya, maka ia kemudian memperpanjang doa di pagi dan sore hari. Untuk alasan profesional janggutanya pun ia pangkas. Yang penting, katanya, "mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan."
Foto: DW/K. Dahmann
Penolakan Islam radikal
Terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kaum Salafi di Bonn pada tahun 2012, atau teroris radikal, ia menjauhkan diri: "Jika agama itu membenarkan apa yang dilakukan teroris, misalnya memasang bom di sekitar leher, saya tak ingin berurusan dengan hal semacam itu.“
Foto: picture-alliance/dpa
Meninggalkan gereja
Ute Lass tumbuh dalam keluarga Katolik, tapi menurutnya gereja membatasinya. Ia bermimpi belajar teologi: “Tapi sebagai seorang teolog, saya tidak bisa berperan banyak dalam Katholik . Ia kemudian pindah gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Rumah baru
Lewat suaminya, yang dibaptis sebagai Protestan, Ute cepat menemukan kontak ke gereja Protestan. Anaknya diikutsertakan dalam kelompok bermain , diapun mencari kontak untuk ikut dalam paduan suara gereja. Namun butuh waktu lima tahun sampai dia memutuskan untuk membuat "langkah besar". Pendeta Annegret Cohen (kiri) dan Nina Gutmann (tengah) menemaninya dalam pertarungan batin ini.
Foto: DW/K. Dahmann
Sikap toleran
Keluarga dan teman-teman bereaksi positif. "Mereka mengatakan , ini jauh lebih cocok! " Bagaimana dengan tempat kerjanya, organisasi bantuan Katholik Caritas? Ute Lass mendapat lampu hijau. Mereka mengatakan, adalah penting bahwa Anda tetap dibaptis sebagai seorang Kristen dan ke gereja.
Foto: picture-alliance/dpa
Disambut
Di gereja Protestan, Ute Lass disambut dengan tangan terbuka. Dengan sukacita ia menangani hal seperti misalnya bazaar gereja. Apakah ia kadang merindukan kehidupannya sebagai umat Katholik?Jawabnya: “Saya memiliki iman yang kuat terhadap Bunda Maria, yang perannya tak seperti di gereja Protestan," katanya. “Tapi untuk beberapa hal, saya tetap seperti itu.“
Foto: DW/K. Dahmann
Memfasilitasi masuknya anggota
Selama bertahun-tahun, gereja-gereja Kristen melaporkan bahwa jumlah jemaatnya menurun: Semakin banyak orang keluar gereja, entah karena alasan agama atau hanya untuk menghindari gereja. Dalam rangka memfasilitasi masuknya anggota baru, gereja-gereja di Jerman menyambut baik, seperti di Fides, Bonn dimana pastur Thomas Bernard (kanan) bekerja.
Foto: DW/K. Dahmann
Akibat skandal?
Gereja Katolik dalam beberapa tahun terakhir mengalami berkurangnya jumlah umat. Banyak orang percaya, ini terjadi setelah sejumlah kasus pelecehan seksual dalam biara. "Skandal yang substansial," Thomas Bernard mengakui. "Kami telah demikian kehilangan daya tariknya." Meskipun berita di media menghancurkan nama gereja, dia yakin: "Iman dapat memberikan dukungan."
Foto: DW/K. Dahmann
Membuka pintu iman
Salah satu alasan mengapa orang bergabung dengan Gereja Katolik saat ini, menurut Thomas Bernard adalah liturgi. "Banyak orang mengagumi perayaan ibadah," katanya. Reformasi di tubuh gereja seperti ynag dilakukan paus yang baru, diharapkan menyebabkan banyak orang yang telah keluar dari Katholik, kembali menemukan gereja.
Foto: DW/K. Dahmann
Permohonan untuk kebebasan beragama
Orang-orang yang telah mengubah agama mereka, pernah ditampilkan dalam sebuah pameran di Munchen. Pameran ini menunjukkan permohonan untuk kebebasan hak asasi manusia, termasuk kebebasan memilih agama.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
Bayipun ‘pindah agama‘
Gambar ini menunjukkan nasib putri Jennifer dan Ricky Grossman: Bayi tidak diakui sebagai Yahudi , karena ibunya bukan Yahudi. Oleh karena itu ibunya harus masuk Yahudi dulu, karena itulah syarat untuk bisa diterima sebagai anggota penuh dari komunitas Yahudi.
Foto: Jüdisches Museum München 2013
14 foto1 | 14
Faktor trauma
Bagi kelompok Islam militan-konservatif, pemurtadan adalah tindakan haram dan kaum murtad harus dibunuh. Tetapi mereka tidak menyadari bahwa banyak kaum Muslim yang memilih menjadi "murtad” justru karena mereka trauma dengan perilaku brutal kelompok radikal Islam itu sendiri. Lihat misalnya penuturan sejumlah "mantan Muslim” dalam buku Leaving Islam: Apostates Speak Out yang diedit oleh Ibnu Warraq (nama samaran), seorang "pensiunan Islam” kelahiran Rajkot, India. Dalam buku yang sangat provokatif ini sejumlah eks-Muslim bersuara keras memberi kesaksian tentang kebobrokan perilaku kelompok Muslim radikal di negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim seperti Pakistan, Bangladesh, Aljazair, Iran, Afganistan, dlsb.
Para penulis buku ini sebelumnya merupakan para sarjana-aktivis Muslim yang taat-saleh sampai akhirnya mereka menyaksikan momen-momen mengerikan dalam hidup mereka hingga akhirnya mereka menyatakan "good bye” pada Islam. Kini mereka memilih menjadi Kristen, agnostik, ateis, humanis, sekularis, free thinker, dlsb. Setelah mendeklarasikan diri "emoh” pada Islam, mereka kemudian—pada umumnya—memilih tinggal di Barat (khususnya Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat, dan Australia) sebagai suaka baru mereka dengan pertimbangan (1) masalah ketidakamanan jika mereka tetap tinggal di negara asal mereka sebab seorang yang pindah agama dihukumi murtad dan karena itu bisa dibunuh, dan (2) lantaran di Barat ada jaminan soal kebebasan beragama.
Realita Getir di Balik Gelombang Islamisasi Suku Anak Dalam
Ratusan anggota Suku Anak Dalam ramai-ramai meninggalkan keyakinan leluhur dan memeluk agama Islam. Tapi bukan iman yang menggerakkan mereka, melainkan demi KTP dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nomaden Sumatera Pindah Agama
Indonesia saat ini memiliki sekitar 70 juta anggota suku pedalaman, mulai dari Dayak di Kalimantan hingga suku Mentawai di Sumatera. Namun dari semua, Suku Anak Dalam adalah salah satu yang paling unik karena gaya hidupnya yang berpindah-pindah alias nomaden. Belakangan banyak anggota suku asli Jambi dan Sumatera Selatan itu yang memeluk agama Islam.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Digusur Manusia, Berpaling ke Tuhan
Baru-baru ini sebanyak 200 dari 3.500 anggota Suku Anak Dalam menanggalkan kepercayaan Animisme setelah menerima ajakan sebuah LSM Islam yang difasilitasi oleh Kementerian Sosial. Banyak yang terdorong oleh harapan kemakmuran, menyusul kehancuran ruang hidup akibat terdesak oleh perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Demi Kemakmuran
"Syukurlah pemerintah sekarang memperhatikan kami. Sebelum pindah agama mereka tidak peduli", kata Muhammad Yusuf, seorang anggota Suku Anak Dalam yang berganti nama setelah memeluk Islam melalui program pemerintah. Ia meyakini dengan pindah agama kehidupannya akan menjadi lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Solusi Sesat Komersialisasi Hutan
Pemerintah menilai Islamisasi suku pedalaman merupakan langkah baik. Program Kementerian Sosial antara lain mengajak anggota suku untuk tinggal menetap dengan menyediakan rumah dan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Namun aktivis menilai fenomena tersebut didorong oleh rasa frustasi karena gaya hidup mereka terancam oleh komersialisasi hutan.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Agama, KTP dan Kesejahteraan
Yusuf mengakui alasan pindah agama karena masalah ketahanan pangan yang terancam lantaran pemilik lahan membatasi area berburu bagi Suku Anak Dalam. Pria yang punya 10 anak itu mengaku ingin mendapat KTP agar bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan gratis yang disediakan pemerintah. Memeluk Islam dan hidup menetap mempermudah hal tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Setia Pada Tradisi
Meski begitu masih banyak anggota Suku Anak Dalam yang tetap setia pada ajaran leluhurnya. Sebagian besar masih menjaga tradisi berburu dan hidup berpindah tiga kali sebulan untuk mencari ladang berburu baru atau ketika salah seorang anggota suku meninggal dunia.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Panggilan Leluhur
Kondisi kehidupan Suku Anak Dalam tergolong berat. Sebagian besar terlihat kurus dan terkesan mengalami malnutrisi lantaran hanya memakan hasil berburu. "Menurut tradisi kami, pindah agama dilarang," kata Mail, salah seorang ketua Suku Anak Dalam. "Kalau melanggar, kami takut dimakan harimau," imbuhnya kepada AFP.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Pilihan Akhir Kaum Terbuang
Aktivis HAM menilai suku pedalaman sering tidak punya pilihan selain pindah agama untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. "Mereka harus meminta bantuan ulama atau gereja buat mencari perlindungan," di tengah laju kerusakan hutan dan komerisalisasi lahan, kata Rukka Sombolinggi, Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sumber: AFP, Reuters, Antara
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
8 foto1 | 8
Buku yang ditulis oleh kaum "murtad” ini penting untuk disimak sebagai kritik tajam atas tindakan radikalisme agama yang dilakukan oleh, meminjam istilah Muhammad Said Ashmawi, kelompok "Islam ekstrem” yang sering menebarkan kekerasan dan kebencian dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Tanpa disadari bahwa perilaku sadis dan barbar mereka telah menyebabkan sebagian umat Islam frustasi dan kehilangan kepercayaan terhadap agama mereka kemudian memilih hengkang dari Islam. Ini menunjukkan bahwa masalah pemurtadan atau proses konversi tidak semata-mata masalah teologi-keagamaan tetapi juga sosial-politik (dan ekonomi).
Itulah yang dialami Ibn Warraq, Ali Sina, Anwar Shaikh, Faisal Muhammad, Sheraz Malik, Samia Labidi, Abul Kasem, dan masih banyak lagi. Semula mereka adalah para pemeluk Islam saleh yang kemudian memilih keluar dari agama ini setelah mereka mengalami dan menyaksikan peristiwa tragis dalam sejarah hidup mereka. Simak misalnya penuturan Ali Sina. Dalam "Why I Left Islam: My Passage from Faith to Enlightenment”, Ali Sina yang masih keturunan Ayatollah Iran ini menuturkan pengalaman getir hidupnya menyaksikan serangkaian horor di negaranya, Iran. Dia mengatakan, sejak Ayatollah Khomeini berhasil menggulingkan diktator Shah Reza Pahlevi tahun 1979 segera ia mengganti ideologi sekuler negara dengan "ideologi Islami” yang tunduk sepenuhnya pada otoritas Khomeini.
Masih menurut Ali Sina, alih-alih ingin menegakkan "kedaulatan Tuhan”, dalam praktiknya yang terjadi justru penegakan "kedaulatan Khomeini” dimana melalui agen rahasianya yang bernama Sazamane Etelaat Va Amniate Kechrar (SEVAK) dia dan para pendukungnya menghancurkan siapapun yang tidak mau tunduk pada otoritas politik-keagamaannya, termasuk bekas sekutunya. Maka pada saat Imam Khomeini berkuasa, kata Sina, nyawa pun menjadi sangat murah: ribuan orang-orang Iraq dibunuh sebagai efek Perang Teluk antara Iran-Iraq, ribuan pengikut Bahai Faith disiksa dengan tuduhan murtad, dan ribuan penduduk Iran yang menolak otoritas politik dan agama sang Imam dipenjara. Nasib kaum perempuan lebih tragis lagi. Sebelum dibunuh mereka diperkosa oleh "tentara syari'at” dengan alasan: sebagai "imbalan” pembangkangan kepada sang Ayatollah sekaligus tiket menuju surga. Peristiwa tragis semasa rezim Khomeini ini membuat Ali Sina trauma dan kehilangan kepercayaan terhadap Islam sehingga ia memilih murtad. Sekarang dia mendirikan Faith Freedom Foundation untuk mengadvokasi orang-orang yang ingin meninggalkan Islam.
Khadijah, Feminis Islam Pertama
Nama Khadijah binti Khuwaylid, istri dari Nabi Muhammad SAW mengemuka dalam perdebatan mengenai peran perempuan dalam Islam. Ia dianggap sebagai feminis pertama dalam dunia Islam.
Pebisnis sukses dan terhormat
Ayah Khadijah merupakan saudagar sukses dari suku Quraisy yang bermukim di Mekah. Dalam masyarakat yang didominasi kaum pria, Khadijah mewarisi keterampilan, integritas, dan keluhuran ayahnya. Ia mengambil alih bisnis tersebut dan berdagang, mulai dari mebel, tembikar dan sutra -- melalui pusat-pusat perdagangan utama pada saat itu, dari Mekah ke Syria dan Yaman.
Berjiwa mandiri
Dia menikah dua kali sebelum akhirnya menikahi Nabi Muhammad. Kedua pernikahan itu dikaruniai anak-anak. Ketika kembali menjanda, ia sangat hati-hati dalam mencari pasangan. Sebagai perempuan sukses dan hebat, tak sedikit pria ingin meminangnya. Tak ingin lagi menderita ditinggal suami, ia memfokuskan diri sebagai orangtua tunggal, hingga akhirnya meminta Nabi menikahinya. Ia jatuh cinta...
Foto: Fotolia/Paul Posthouwer
Umur bukan halangan
Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Khadijah mempelajari sifat dan pengalaman Nabi Muhammad yang mengelola kafilah pada rute perdagangan ketika menyertai pamannya, Abu Thalib. Usianya menginjak 40 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad yang kala itu berusia 25 tahun.
Foto: Fotolia/Carina Hansen
Istri ideal, lambang kisah cinta sejati
Pernikahan Khadijah & Muhammad merupakan pernikahan monogami hingga akhir hayatnya 25 tahun kemudian. Kenabian Muhammad mulai sejak pernikahannya dengan Khadijah, ketika menerima wahyu melalui Malaikat Jibril yang membuatnya takut, tegang & merasa sendiri kala tak seorangpun percaya padanya. Khadijah menghibur dan mendukung suaminya di masa paling sulit dalam hidupnya.
Foto: fotolia/Anatoliy Zavodskov
Pemeluk Islam pertama
Khadijah, ibu pertama kaum Mukmin, adalah orang pertama di bumi yang menerima Muhammad sebagai nabi terakhir Allah dan menerima wahyu yang memuncak menjadi Al-Qur'an. Dia disambut dengan "Salam kedamaian” oleh Allah sendiri serta Malaikat Jibril. Dia mewariskan harta duniawi dan menempatkan dirinya untuk menghadapi ancaman bahaya dalam mendukung Nabi Muhammad menegakkan Islam di negeri itu.
Foto: Getty Images/AFP/M. Al-Shaikh
Ia mendermakan kekayaan duniawinya bagi kaum miskin
Khadijah memberikan penghasilannya kepada orang miskin dan anak yatim, untuk para janda dan orang sakit. Dia membantu gadis-gadis miskin untuk menikah dan memberikan mas kawin bagi mereka. Khadijah menjadi salah satu wanita paling luar biasa dalam sejarah. Perempuan saleh, sederhana dan berani mencapai cita-citanya. (foto: Mauseleum Khadijah di Mekkah, wikipediacommon)
6 foto1 | 6
Pengalaman getir
Selain Ali Sina, pengalaman getir juga dialami oleh Abul Kasem (Bangladesh), Sheraz Malik (Pakistan), Anwar Shaikh (Pakistan-Britain), Nadia (Marocco), Samia Labidi (Tunisia), Azad (India) dan masih banyak lagi. Setelah mengalami dan menyaksikan sejumlah peristiwa tragis "kekerasan agama” yang dilakukan kaum Muslim radikal di negara mereka, mereka kemudian hijrah ke "iman” yang baru. Memang tidak bisa dipungkiri di negara-negara "berbasis Islam” itu telah terjadi sejumlah peristiwa sadis yang dilakukan sekelompok rezim Muslim militan dan kaum radikal agama demi ambisi politik-kekuasaan mereka. Atas nama agama dan penegakkan "syari'at Islam”, mereka melakukan serangkaian teror dan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan lawan-lawan politik-agamanya.
Penulis perempuan Mesir, Bat Ye'or telah menunjukkan dengan baik sebagian dari sejarah gelap radikalisme kelompok militan-konservatif terhadap kaum minoritas ini dalam buku The Decline of Eastern Christianity under Islam from Jihad to Dhimmitude 7th–20th . Dalam buku ini, ia berpendapat bahwa konsep dhimmi—khususnya Kristen dan Yahudi—yang secara literal mengacu pada definisi "protected people” ("orang-orang yang dilindingi”) dalam realitasnya justru menjadi "exploited / oppressed people” atau "kelompok yang diperas/dieksploitasi” karena disamping dipaksa membayar pajak pada pemerintah, mereka tidak pernah menikmati hak-hak sipil sebagai warga negara. Di negara-negara berbasis Syari'at Islam, mereka memang menjadi warga negara kelas dua (kalau bukan malah "tidak berkelas” lagi).
Orang Jerman Tidak Percaya Lagi kepada Tuhan?
Baik Katolik maupun Protestan, dua organisasi gereja terbesar di Jerman semakin kehilangan anggotanya. Demikian halnya dengan jurusan teologi di berbagai universitas Jerman. Apakah Jerman mengalami krisis kepercayaan?
Foto: Fotolia/milkovasa
Kepercayaan Surut
Komunitas yang berdasarkan agama Kristen di Jerman sekarang semakin ditantang ancaman untuk tetap bertahan. Apakah pergi ke gereja masih sesuai jaman? Apa yang ditawarkan gereja sebagai institusi? Bagaimana institusi gereja bisa meyakinkan orang yang sudah tidak jadi anggota? Ada yang bilang ini "fase peralihan". Kritikus menyebutnya krisis.
Foto: Fotolia
Bangku-Bangku Kosong
Angka bisa jadi buktinya. Gereja Katolik Jerman kehilangan hampir 180.000 anggota tahun lalu, berarti 50% lebih banyak dari tahun sebelumnya. Gereja Protestan Jerman tidak kehilangan anggota sebanyak itu. Tetapi jumlah orang yang menjadi anggota jauh lebih sedikit.
Foto: picture-alliance/dpa
Masalah Dana
Berkurangnya jumlah anggota berarti juga berkurangnya pemasukan organisasi gereja. Karena di Jerman, orang yang jadi anggota, juga membayar pajak gereja. Bagi orang berpenghasilan menengah, jumlahnya sampai beberapa ratus Euro per tahun. Bagi mereka yang berpandangan skeptis terhadap institusi gereja, ini kadang jadi argumen untuk keluar dari keanggotaan.
Foto: Fotolia/Joachim B. Albers
Dalam Pencarian
Banyak orang, yang tidak merasa memperoleh apapun dari gereja kadang mengganti agamanya. Misalnya David Stang. Ia dulunya Katolik. Sebagai remaja ia bahkan aktif dan jadi putra altar. "Tapi ada yang tidak cocok," katanya jika mengenang kembali. Ia akhirnya memeluk agama Islam dan merasa menemukan dirinya sendiri.
Foto: DW/K. Dahmann
Didera Skandal
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang keluar dari keanggotaan gereja akibat sejumlah besar kasus pelecehan seksual oleh imam dan pekerja organisasi gereja. Gereja Katolik didera skandal berjumlah sangat besar dan paling jadi sasaran kritik. Ketika pelecehan seksual pertama terkuak 2010, Bischofskonferenz yang jadi instansi gereja Katolik tertinggi di Jerman adakan penelitian, tapi terhenti.
Foto: picture-alliance/dpa
Uskup Mewah
Jumlah orang yang keluar dari gereja Katolik kembali memuncak pertengahan 2013. Biaya pembangunan rumah baru uskup di daerah Limburg jadi kepala berita. Awalnya hanya empat juta Euro, kemudian naik jadi lebih dari 30 juta. Ketika tekanan makin besar, Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst ajukan pengunduran diri kepada Paus. Tapi banyak anggota tidak perjaya lagi pada gereja Katolik Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekurangan Penerus
Dua organisasi gereja terbesar di Jerman alami dilema yang sama. Jumlah mahasiswa jurusan teologi berkurang. Yang ingin menjadi imam Katolik juga semakin sedikit. Misalnya gereja Katolik, jumlah imamnya sekarang berkurang seperempat dibanding 1995. Tetapi jumlah pekerja pelayanan iman yang tidak memiliki ijazah resmi bertambah.
Foto: picture-alliance/dpa
Masa Depan Tidak Jelas
Semakin banyak komunitas gereja yang hadapi kesulitan untuk terus eksis. Kedua organisasi gereja terbesar masih memiliki 45.000 gereja. Sejumlah besar komunitas terpaksa disatukan dalam beberapa tahun terakhir. Anggota gereja Katolik Sankt Gertrud di Köln (foto) misalnya, sudah disatukan dengan tiga gereja lainnya. Banyak gedung gereja sudah tidak digunakan lagi untuk beribadat.
Foto: cc/by/sa/Elya
Pelayan Restoran, Bukan Imam
Mengurus bangunan gereja perlu biaya besar, terutama jika harus diperbaiki. Pakar memperkirakan, hampir 10% bangunan gereja harus dijual. Gereja Martini di Bielefeld misalnya, sejak 2005 jadi restoran. Balkon di dalam gereja yang menjadi tempat organ jadi ruang untuk tamu spesial.
Foto: picture-alliance/Robert B. Fis
Memanjat "dengan Iman"
Tapi ada juga inisiatif lain. Banyak gedung gereja seperti di Gelsenkirchen (foto) dijadikan gereja khusus remaja. Di sini kawula muda yang tidak bisa menerima ibadah secara tradisional berkumpul dan perdalam iman bersama, dengan pelayanan iman khusus bagi remaja. Di gereja, sejak 2009 mereka juga bisa berolahraga memanjat, mereka belajar bahwa iman jadi sumber kekuatan dan keyakinan diri.
Foto: picture-alliance/dpa
Apakah Benar Iman Tidak Penting Lagi?
Sekitar dua pertiga orang Jerman menyatakan percaya kepada Tuhan. Di Jerman Timur, karena sejarah ateis di masa Jerman Timur, jumlahnya lebih sedikit daripada di Jerman Barat. Banyak orang yang percaya kepada Tuhan tidak jadi anggota kedua gereja Jerman terbesar. Mereka memilih jadi anggota organisasi gereja yang lebih kecil. Selain itu, berdoa juga bisa dilakukan sendirian.
Foto: Fotolia/milkovasa
11 foto1 | 11
Tidak hanya non-Muslim saja, kaum Muslim yang kebetulan berseberangan dengan ideologi dan aliran keagamaan rezim penguasa, baik rezim Sunni maupun Syiah, juga mendapatkan perlakuan kejam dan diskriminatif. Sebagian dari kaum Muslim yang dizalimi oleh rezim Islam ekstrem ini masih bertahan memeluk Islam. Tetapi sebagian lain lebih memilih kabur ke negara lain dan emoh memeluk Islam lagi.
Ilustrasi di atas merupakan peringatan keras sekaligus memberi pelajaran berharga buat umat Islam, khususnya kelompok Muslim militan-konservatif yang selama ini getol "berdakwah” dengan cara-cara kekerasan dan intoleran. Perilaku brutal dan aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan tidak hanya menyebabkan simpati publik terhadap kaum Muslim merosot, atau melorotnya tingkat kepercayaan publik terhadap Islam sebagai agama damai, toleran-pluralis, dan "rahmatan lil alamain”, tetapi lebih dari itu tindakan konyol kaum radikal agama ini telah menyebabkan pemurtadan sebagian umat Islam itu sendiri.
Ke depan, kaum Muslim harus menebarkan Islam dengan cara-cara damai, santun, dan toleran, bukan dengan tindakan keras, kasar, dan intoleran yang justru merugikan Islam dan kaum Muslim itu sendiri. Jika memang Islam itu agama "rahmat bagi alam semesta”, maka buktikanlah itu dengan tindakan nyata. Wallahu ‘alam bishawwab.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby (ap/hpf)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Potret Muslim Uighur di Cina
Cina melarang minoritas muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya bangsa Uighur?
Foto: Reuters/T. Peter
Represi dan Larangan
Uighur adalah etnis minoritas di Cina yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah ketimbang mayoritas bangsa Han. Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Dalih Radikalisme
Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala redikalisme agama."
Foto: Reuters/T. Peter
Balada Turkestan Timur
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke20 etnis tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan Cina dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Foto: Reuters/T. Peter
Minoritas di Tanah Sendiri
Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar 6%, tahun 2010 lalu jumlahnya berlipatganda menjadi 40%. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. W. Young
Hui Yang Dimanja
Kendati lebih dikenal, Uighur bukan etnis muslim terbesar di Cina, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim Cina yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong
Terorisme dan Separatisme
Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.
Foto: Getty Images
Kemakmuran Semu
Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Foto: Reuters/T. Peter
Ketimpangan Berbuah Konflik
BBC menulis akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh Cina. Akibatnya etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti Cina di kalangan etnis Uighur. Ed.: Rizki Nugraha (bbg. sumber)