1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Fenomena Pemurtadan dan Kelompok Islam Radikal

7 Agustus 2017

Sejumlah sarjana Islam mengemukakan hukuman seorang murtad adalah hak prerogatif Tuhan, bukan wewenang manusia. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.

Aktionstag der deutschen Muslime 19.9.2014 Muslime gegen Hass
Foto: Reuters/Hannibal

Masalah pemurtadan (apostasy) selalu menjadi isu penting dalam sejarah dan wacana keislaman. Dalam Islam, tindakan atau sikap seorang Muslim meninggalkan agama Islam—baik dengan perkataan maupun perbuatan—disebut dengan "riddah” atau "irtidad” dalam Bahasa Arab, dan orang Muslim yang melakukan tindakan ini disebut "murtad”. Seorang dikatakan "murtad” belum tentu mereka pindah atau konversi ke agama baru. Bisa juga mereka kemudian memilih untuk tidak beragama: menjadi sekuler, ateis, agnostik, dlsb. Masalah permurtadan ini bukan hanya diskursus dan fenomena eksklusif dalam Islam saja tetapi juga terjadi di agama-agama lain.

Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Ada banyak pendapat di kalangan sarjana Muslim tentang status riddah dan bagaimana seharusnya memperlakukan seorang murtad. Ada yang berpendapat riddah adalah masalah kepolitikan bukan masalah teologi-keagamaan sehingga orang yang keluar dari Islam (murtad) tidak perlu dikenai hukuman apapun, termasuk hukuman pembunuhan, karena itu akan bertentangan dengan doktrin Islam dan Al-Qur'an yang menggaransi kebebasan bagi seseorang untuk beriman dan beragama atau tidak beriman dan tidak beragama. Bagi mereka, sejarah hukuman pembunuhan bagi orang-orang yang keluar dari Islam itu lebih mengacu pada fenomena dan alasan sosial-politik belaka. Dengan kata lain, kata "murtad” bagi mereka, mengacu pada pengertian "pembangkangan politik” ketimbang "pemberontakan teologis”.

Tak ada konsensus mengenainya

Tetapi ada pula yang berargumen bahwa masalah pemurtadan adalah masalah teologi-keagamaan sehingga orang yang mendeklarasikan diri telah keluar dari Islam harus dihukum bunuh seperti yang dipraktikkan oleh generasi Islam awal pasca wafatnya Nabi Muhammad. Menariknya, sejumlah sarjana Islam terkemuka, baik klasik maupun kontemporer, baik Sunni maupun Syiah, sebut saja seperti Muhammad bin Ahmad al-Sarakshi, Abu al-Walid al-Baji, Ibrhamim al-Nakhai, Ibn al-Humam, Burhanuddin al-Marghinani hingga Ali Gomaa, Hossein Ali Montazeri, Javed Ahmad Ghamidi dan Tariq Ramadan, menyatakan tidak ada konsensus dari para ulama tentang hukuman bunuh bagi seorang murtad. Mereka juga menegaskan bahwa hukuman seorang murtad adalah hak prerogatif Tuhan, bukan wewenang manusia.

Masalah sejarah dan fenomena pemurtadan dalam Islam ini dengan baik dikupas oleh Abdullah Saeed dalam Freedom of Religion, Apostasy and Islam atau Taha Jabir al-Alwani dalam Apostasy in Islam: A Historical and Scriptural Analysis. Tulisanku ini tidak bermaksud membahas secara lebih dalam dan detail tentang pemurtadan ini. Tetapi ingin menyajikan sejumlah fenomena pemurtadan di kalangan masyarakat Islam kontemporer dimana banyak orang-orang yang memilih keluar dari Islam bukan lantaran menghadapi peliknya "masalah teologi keislaman” misalnya, melainkan dikarenakan telah muak menyaksikan perilaku umat Islam itu sendiri, khususnya kalangan Muslim ekstrimis.

Faktor trauma

Bagi kelompok Islam militan-konservatif, pemurtadan adalah tindakan haram dan kaum murtad harus dibunuh. Tetapi mereka tidak menyadari bahwa banyak kaum Muslim yang memilih menjadi "murtad” justru karena mereka trauma dengan perilaku brutal kelompok radikal Islam itu sendiri. Lihat misalnya penuturan sejumlah "mantan Muslim” dalam buku Leaving Islam: Apostates Speak Out yang diedit oleh Ibnu Warraq (nama samaran), seorang "pensiunan Islam” kelahiran Rajkot, India. Dalam buku yang sangat provokatif ini sejumlah eks-Muslim bersuara keras memberi kesaksian tentang kebobrokan perilaku kelompok Muslim radikal di negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim seperti Pakistan, Bangladesh, Aljazair, Iran, Afganistan, dlsb.

Para penulis buku ini sebelumnya merupakan para sarjana-aktivis Muslim yang taat-saleh sampai akhirnya mereka menyaksikan momen-momen mengerikan dalam hidup mereka hingga akhirnya mereka menyatakan "good bye” pada Islam. Kini mereka memilih menjadi Kristen, agnostik, ateis, humanis, sekularis, free thinker, dlsb. Setelah mendeklarasikan diri "emoh” pada Islam, mereka kemudian—pada umumnya—memilih tinggal di Barat (khususnya Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat, dan Australia) sebagai suaka baru mereka dengan pertimbangan (1) masalah ketidakamanan jika mereka tetap tinggal di negara asal mereka sebab seorang yang pindah agama dihukumi murtad dan karena itu bisa dibunuh, dan (2) lantaran di Barat ada jaminan soal kebebasan beragama. 

Buku yang ditulis oleh kaum "murtad” ini penting untuk disimak sebagai kritik tajam atas tindakan radikalisme agama yang dilakukan oleh, meminjam istilah Muhammad Said Ashmawi, kelompok "Islam ekstrem” yang sering menebarkan kekerasan dan kebencian dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Tanpa disadari bahwa perilaku sadis dan barbar mereka telah menyebabkan sebagian umat Islam frustasi dan kehilangan kepercayaan terhadap agama mereka kemudian memilih hengkang dari Islam. Ini menunjukkan bahwa masalah pemurtadan atau proses konversi tidak semata-mata masalah teologi-keagamaan tetapi juga sosial-politik (dan ekonomi).

Itulah yang dialami Ibn Warraq, Ali Sina, Anwar Shaikh, Faisal Muhammad, Sheraz Malik, Samia Labidi, Abul Kasem, dan masih banyak lagi. Semula mereka adalah para pemeluk Islam saleh yang kemudian memilih keluar dari agama ini setelah mereka mengalami dan menyaksikan peristiwa tragis dalam sejarah hidup mereka. Simak misalnya penuturan Ali Sina. Dalam "Why I Left Islam: My Passage from Faith to Enlightenment”, Ali Sina yang masih keturunan Ayatollah Iran ini menuturkan pengalaman getir hidupnya menyaksikan serangkaian horor di negaranya, Iran. Dia mengatakan, sejak Ayatollah Khomeini berhasil menggulingkan diktator Shah Reza Pahlevi tahun 1979 segera ia mengganti ideologi sekuler negara dengan "ideologi Islami” yang tunduk sepenuhnya pada otoritas Khomeini.

Masih menurut Ali Sina, alih-alih ingin menegakkan "kedaulatan Tuhan”, dalam praktiknya yang terjadi justru penegakan "kedaulatan Khomeini” dimana melalui agen rahasianya yang bernama Sazamane Etelaat Va Amniate Kechrar (SEVAK) dia dan para pendukungnya menghancurkan siapapun yang tidak mau tunduk pada otoritas politik-keagamaannya, termasuk bekas sekutunya. Maka pada saat Imam Khomeini berkuasa, kata Sina, nyawa pun menjadi sangat murah: ribuan orang-orang Iraq dibunuh sebagai efek Perang Teluk antara Iran-Iraq, ribuan pengikut Bahai Faith disiksa dengan tuduhan murtad, dan ribuan penduduk Iran yang menolak otoritas politik dan agama sang Imam dipenjara. Nasib kaum perempuan lebih tragis lagi. Sebelum dibunuh mereka diperkosa oleh "tentara syari'at” dengan alasan: sebagai "imbalan” pembangkangan kepada sang Ayatollah sekaligus tiket menuju surga. Peristiwa tragis semasa rezim Khomeini ini membuat Ali Sina trauma dan kehilangan kepercayaan terhadap Islam sehingga ia memilih murtad. Sekarang dia mendirikan Faith Freedom Foundation untuk mengadvokasi orang-orang yang ingin meninggalkan Islam.

Pengalaman getir

Selain Ali Sina, pengalaman getir juga dialami oleh Abul Kasem (Bangladesh), Sheraz Malik (Pakistan), Anwar Shaikh (Pakistan-Britain), Nadia (Marocco), Samia Labidi (Tunisia), Azad (India) dan masih banyak lagi. Setelah mengalami dan menyaksikan sejumlah peristiwa tragis "kekerasan agama” yang dilakukan kaum Muslim radikal di negara mereka, mereka kemudian hijrah ke "iman” yang baru. Memang tidak bisa dipungkiri di negara-negara "berbasis Islam” itu telah terjadi sejumlah peristiwa sadis yang dilakukan sekelompok rezim Muslim militan dan kaum radikal agama demi ambisi politik-kekuasaan mereka. Atas nama agama dan penegakkan "syari'at Islam”, mereka melakukan serangkaian teror dan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan lawan-lawan politik-agamanya. 

Penulis perempuan Mesir, Bat Ye'or telah menunjukkan dengan baik sebagian dari sejarah gelap radikalisme kelompok militan-konservatif terhadap kaum minoritas ini dalam buku The Decline of Eastern Christianity under Islam from Jihad to Dhimmitude 7th–20th . Dalam buku ini, ia berpendapat bahwa konsep dhimmi—khususnya Kristen dan Yahudi—yang secara literal mengacu pada definisi "protected people” ("orang-orang yang dilindingi”) dalam realitasnya justru menjadi "exploited / oppressed people” atau "kelompok yang diperas/dieksploitasi” karena disamping dipaksa membayar pajak pada pemerintah, mereka tidak pernah menikmati hak-hak sipil sebagai warga negara. Di negara-negara berbasis Syari'at Islam, mereka memang menjadi warga negara kelas dua (kalau bukan malah "tidak berkelas” lagi).

Tidak hanya non-Muslim saja, kaum Muslim yang kebetulan berseberangan dengan ideologi dan aliran keagamaan rezim penguasa, baik rezim Sunni maupun Syiah, juga mendapatkan perlakuan kejam dan diskriminatif. Sebagian dari kaum Muslim yang dizalimi oleh rezim Islam ekstrem ini masih bertahan memeluk Islam. Tetapi sebagian lain lebih memilih kabur ke negara lain dan emoh memeluk Islam lagi.

Ilustrasi di atas merupakan peringatan keras sekaligus memberi pelajaran berharga buat umat Islam, khususnya kelompok Muslim militan-konservatif yang selama ini getol "berdakwah” dengan cara-cara kekerasan dan intoleran. Perilaku brutal dan aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan tidak hanya menyebabkan simpati publik terhadap kaum Muslim merosot, atau melorotnya tingkat kepercayaan publik terhadap Islam sebagai agama damai, toleran-pluralis, dan "rahmatan lil alamain”, tetapi lebih dari itu tindakan konyol kaum radikal agama ini telah menyebabkan pemurtadan sebagian umat Islam itu sendiri.

Ke depan, kaum Muslim harus menebarkan Islam dengan cara-cara damai, santun, dan toleran, bukan dengan tindakan keras, kasar, dan intoleran yang justru merugikan Islam dan kaum Muslim itu sendiri. Jika memang Islam itu agama "rahmat bagi alam semesta”, maka buktikanlah itu dengan tindakan nyata. Wallahu ‘alam bishawwab

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby (ap/hpf)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.