Amerika membara. Kerusuhan bermotif rasime mengancam. Pemicunya "Grand Jury" kasus Ferguson memutuskan tidak akan mendakwa polisi penembak Brown. Komentar Miodrag Soric.
Iklan
Tembak dulu, baru bertanya! Itu praduga buruk umum terhadap polisi Amerika. Sayangnya praduga ini adalah realita sebenarnya. Dalam kasus Ferguson, Grand Jury memutuskan tidak akan mendakwa polisi Darren Wilson yang menembak mati remaja kulit hitam Michale Brown. Alasannya: Tidak ada bukti! Pernyataan saksi juga simpang siur.
Ibaratnya membubuhkan garam pada luka, Wilson juga mengeluarkan pernyataan, bahwa ia bertindak benar dalam kasus terbunuhnya Brown. Semua tindakan sesuai latihan di kepolisian. Kini pelaku memposisikan diri sebagai korban. Padahal seharusnya Wilson bungkam.
Sekarang warga kulit hitam AS yang disebut Afro-Amerika, bukan hanya di Ferguson tapi di seluruh negeri, makin sulit menerima argumen grand jury. Di puluhan kota warga turun ke jalanan memprotes keputusan grand jury. Harus diakui, Darren Wilson bukan tokoh yang bisa menarik simpati. Kini Presiden Obama dan politisi puncak di Washington yang harus turun tangan.
Di lain pihak, statistik juga menunjukkan, aksi kekerasan polisi terhadap kelompok kulit hitam tetap menjadi masalah berat di Amerika Serikat. Juga harus diakui, pendidikan kepolisian di negara Paman Sam itu, sebagian berkategori buruk. Polisi yang rapornya buruk, justru ditugasi menjaga kawasan "membara" seperti Ferguson. Juga diketahui umum, gaji polisi di AS relatif rendah.
Tewasnya remaja kulit hitam Michael Brown (18) lebih dari sekedar tragedi. Juga bukan kasus tunggal, di mana polisi yang kewalahan terlalu cepat mencabut senjata dan menembak. Kasus semacam ini, adalah berita setiap hari di Amerika Serikat. Tapi yang lebih parah lagi, kasus Brown memiliki potensi memicu kerusuhan rasisme di seluruh negeri.
Juga sejak lama diketahui, para politisi lokal di Missouri kewalahan dan tidak becus mengendalikan situasi. Gubernur Jay Nixon tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas keamanan di Ferguson. Sementara jaksa yang bertanggung jawab menangansi kasus, Robert McCulloh, ngotot tidak mau uji ulang bukti oleh penyidik khusus kejaksaan. Namun, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk melawan inkompetensi dalam politik.
Akan tetapi kekecewaan terhadap politik dan sistem hukum bukan merupakan pembenaran bagi aksi bentrokan kekerasan, pembakaran mobil atau penjarahan toko. Aksi semacam itu ganjarannya adalah masuk penjara.
Warga Ferguson seharusnya bertanya, bagaimana caranya meredakan situasi amat tegang itu. Orangtua Michael Brown menunjukan contoh bagus. Ia mengimbau agar tenang dan menggalang aksi damai. Serupa dengan itu, gereja, serikat buruh dan NGO juga berusaha menenangkan situasi. Ironis, justru kelompok warga, bukan polisi atau politisi, yang memikul tanggung jawab berat saat AS memasuki hari-hari kelam dan berat.
Amarah Membakar Ferguson
Keputusan dewan juri membebaskan perwira polisi, Darren Wilson dari dakwaan usai menembak mati remaja kulit hitam Michael Brown, menyulut amarah warga afro-amerika di seantero negeri.
Foto: Reuters/J. Young
170 Protes demi Michael Brown
Keputusan kontroversial dewan juri dalam kasus kematian remaja kulit hitam Michael Brown disusul oleh 170 aksi demonstrasi di seluruh negeri. Ribuan manusia tumpah ke jalan dan melumpuhkan kota-kota besar seperti New York, San Fransisco dan Los Angeles.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Polisi menjadi Sasaran
Kasus Ferguson tidak cuma menguak fenomena rasisme sistematis yang dialami kaum kulit hitam Amerika Serikat, tetapi juga brutalitas aparat kepolisian. Berulangkali polisi AS terlibat dalam aksi penembakan yang tidak perlu dan menelan korban jiwa. Amarah penduduk Ferguson kali ini pun diarahkan kepada kepolisian yang dianggap menganaktirikan warga kulit hitam.
Foto: Reuters/J. Young
Brutalitas Aparat
Tidak cuma warga kulit hitam yang berdemonstrasi, warga kulit putih AS juga ikut turun ke jalan buat menentang rasisme di tubuh aparat kepolisian. Baru-baru ini seorang polisi di Cleveland, Ohio, menembak mati seorang bocah hitam berusia 12 tahun karena menenteng pistol mainan. Dalam pembelaannya, sang polisi mengaku pistol mainan yang dibawa bocah itu serupa dengan yang asli.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Darren Wilson
Untuk pertamakalinya Darren Wilson, perwira polisi yang menembak mati Michael Brown, tampil ke depan publik. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi ABC, ia mengaku tidak menyesal dan akan melakukan tindakan yang sama dalam situasi serupa. Ia menyesali kematian Brown namun mengklaim dirinya tidak memiliki perasaan bersalah karena telah bertindak sesuai aturan.
Foto: Reuters/St. Louis County Prosecutor's Office
Penjarahan
Lusinan gedung dibakar massa. Termasuk salah satu restoran ini. Sementara toko-toko dikabarkan dijarah usai pengadilan membebaskan Darren Wilson.
Foto: Reuters/Adrees Latif
Mobil-mobil Dibakar
Demonstran melempar botol dan batu bata ke arah kendaraan polisi. Puluhan mobil dibakar massa. Termasuk di antaranya milik sebuah dealer mobil.
Foto: Reuters/Jim Young
Api Melalap Kota
Tidak terhitung jumlah gedung pemerintah, rumah dan toko yang turut terbakar. Terutama Ferguson dan kota terdekat, St. Louis menderita kerusakan terbesar akibat aksi demonstrasi.
Foto: Reuters/Jim Young
Aksi Protes
Amarah tersulut di beberapa kota besar Amerika Serikat ketika dewan juri memutuskan tidak mengajukan gugatan terhadap Darren Wilson, perwira polisi yang menembak mati remaja berkulit hitam, Michael Brown.
Foto: Reuters/Kate Munsch
Demonstrasi di Ibukota
Aksi protes juga muncul di ibukota Washington DC. Wilson, polisi yang menembak mati Michael Brown, mengklaim dirinya bertindak karena merasa terancam. Tidak jelas bagaimana seorang remaja tanpa senjata bisa mengancam seorang polisi.
Foto: Reuters/Joshua Roberts
"Nyawa kulit hitam juga berharga"
Tulisan berbunyi "Black lives matter" menempel di plakat yang diusung demonstran. Bahwa seorang polisi kulit putih dibebaskan dari dakwaan setelah menembak mati warga kulit hitam dianggap oleh sebagian besar warga Ferguson sebagai rasisme