Filantrop Dunia Sumbang Rp. 6 Trilyun Buat Lindungi Hutan
12 September 2018
Sekumpulan filantrop internasional berkomitmen menyumbangkan ratusan juta Dolar AS untuk menyelamatkan hutan tropis, termasuk di Indonesia. Dana yayasan ini akan lebih mudah dicairkan ketimbang dana bantuan negara maju.
Iklan
Sehari menjelang Pertemuan Puncak Iklim Global yang akan dihadiri oleh 4.500 delegasi dari seluruh dunia, sembilan yayasan mengumumkan komitmen penghijauan kembali senilai 459 juta Dolar AS selama empat tahun ke depan.
"Ketika Bumi menghangat, banyak negara yang bergerak sangat lambat. Jadi kami sebagai filantrop harus bertindak," kata Darren Walker, Presiden Ford Foundation.
Jumlah dana bantuan tersebut dikumpulkan secara urunan oleh 15 organisasi, ditambah pemerintah Norwegia yang menyumbang 33 juta Dolar AS untuk proyek di Indonesia dan Brasil.
Charlotte Streck, Direktur Climate Focus di Amsterdam, mengatakan jumlah dana yang digalang oleh yayasan-yayasan tersebut menjadikan mereka donatur terbesar program perlindungan hutan.
Norwegia sendiri setiap tahun menganggarkan dana bantuan senilai 500 juta Dolar AS untuk membantu negara-negara tropis. Namun menurut Sterck, dana yang disiapkan gabungan yayasan itu lebih "fleksibel dan cair" ketimbang dana dari pemerintahan.
"Duit yang disiapkan sejumlah negara seperti Norwegia, Jerman dan Inggris, kebanyakan berupa dana perwalian yang dikelola Bank Dunia dan PBB. Jadi dananya tidak bisa cair dengan mudah," imbuhnya.
Seringnya "sebuah proyek kekurangan 20.000 dollar AS atau 50.000 dollar AS hanya untuk mengerjakan satu hal atau mengembangkan sebuah studi atau menyewa konsultan," kata Sterck merujuk pada kakunya sistem pencairan dana bantuan negara maju. "Dengan dana yayasan duit itu bisa dikucurkan."
Realita Getir di Balik Gelombang Islamisasi Suku Anak Dalam
Ratusan anggota Suku Anak Dalam ramai-ramai meninggalkan keyakinan leluhur dan memeluk agama Islam. Tapi bukan iman yang menggerakkan mereka, melainkan demi KTP dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Nomaden Sumatera Pindah Agama
Indonesia saat ini memiliki sekitar 70 juta anggota suku pedalaman, mulai dari Dayak di Kalimantan hingga suku Mentawai di Sumatera. Namun dari semua, Suku Anak Dalam adalah salah satu yang paling unik karena gaya hidupnya yang berpindah-pindah alias nomaden. Belakangan banyak anggota suku asli Jambi dan Sumatera Selatan itu yang memeluk agama Islam.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Digusur Manusia, Berpaling ke Tuhan
Baru-baru ini sebanyak 200 dari 3.500 anggota Suku Anak Dalam menanggalkan kepercayaan Animisme setelah menerima ajakan sebuah LSM Islam yang difasilitasi oleh Kementerian Sosial. Banyak yang terdorong oleh harapan kemakmuran, menyusul kehancuran ruang hidup akibat terdesak oleh perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Demi Kemakmuran
"Syukurlah pemerintah sekarang memperhatikan kami. Sebelum pindah agama mereka tidak peduli", kata Muhammad Yusuf, seorang anggota Suku Anak Dalam yang berganti nama setelah memeluk Islam melalui program pemerintah. Ia meyakini dengan pindah agama kehidupannya akan menjadi lebih baik.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Solusi Sesat Komersialisasi Hutan
Pemerintah menilai Islamisasi suku pedalaman merupakan langkah baik. Program Kementerian Sosial antara lain mengajak anggota suku untuk tinggal menetap dengan menyediakan rumah dan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Namun aktivis menilai fenomena tersebut didorong oleh rasa frustasi karena gaya hidup mereka terancam oleh komersialisasi hutan.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Agama, KTP dan Kesejahteraan
Yusuf mengakui alasan pindah agama karena masalah ketahanan pangan yang terancam lantaran pemilik lahan membatasi area berburu bagi Suku Anak Dalam. Pria yang punya 10 anak itu mengaku ingin mendapat KTP agar bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan gratis yang disediakan pemerintah. Memeluk Islam dan hidup menetap mempermudah hal tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Setia Pada Tradisi
Meski begitu masih banyak anggota Suku Anak Dalam yang tetap setia pada ajaran leluhurnya. Sebagian besar masih menjaga tradisi berburu dan hidup berpindah tiga kali sebulan untuk mencari ladang berburu baru atau ketika salah seorang anggota suku meninggal dunia.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Panggilan Leluhur
Kondisi kehidupan Suku Anak Dalam tergolong berat. Sebagian besar terlihat kurus dan terkesan mengalami malnutrisi lantaran hanya memakan hasil berburu. "Menurut tradisi kami, pindah agama dilarang," kata Mail, salah seorang ketua Suku Anak Dalam. "Kalau melanggar, kami takut dimakan harimau," imbuhnya kepada AFP.
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
Pilihan Akhir Kaum Terbuang
Aktivis HAM menilai suku pedalaman sering tidak punya pilihan selain pindah agama untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. "Mereka harus meminta bantuan ulama atau gereja buat mencari perlindungan," di tengah laju kerusakan hutan dan komerisalisasi lahan, kata Rukka Sombolinggi, Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sumber: AFP, Reuters, Antara
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin
8 foto1 | 8
Dana tersebut antara lain akan lebih banyak digunakan untuk membantu penduduk asli setempat yang menggantungkan hidup dari hutan. Mereka akan dibantu mengamankan sertifikat tanah agar tidak bisa diperjualbelikan kepada perusahaan swasta tanpa persetujuan mereka.
"Perusahaan-perusahaan ini datang ke desa kami, ke hutan kami dan bilang 'kalian harus pergi karena kami punya lisensi dari pemerintah'," kata Rukka Sambolinggi, Koordinator Internasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
"Bukti-bukti menunjukkan komunitas pribumi adalah pihak yang bisa menjaga lahan yang mereka huni dengan paling efektif," kata Darren Walker, Presiden Ford Foundation. "Dengan cara itu mereka memastikan level gas rumah kaca tidak mengancam manusia dan planet Bumi," imbuhnya.
Selain membantu suku asli setempat, dana bantuan penghijauan hutan itu akan disalurkan untuk membantu perlindungan, restorasi dan perluasan lahan hutan, serta menyokong komunitas untuk menggunakan hutan secara berkelanjutan.
Meski saat ini hampir separuh luas hutan di Bumi dikelola oleh suku asli, hanya 15% yang diakui milik mereka secara sah. Ilmuwan meyakini hutan membantu mengurangi 30% emisi karbondioksida dari atmosfer Bumi setiap tahunnya. Namun penggundulan hutan demi kegiatan industri, terutama pertambangan dan perkebunan, melumat kawasan hutan seluas 50 lapangan bola setiap menitnya.
rzn/ap (rtr,ap)
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)