1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAsia

Filipina Cabut Moratorium Minyak dan Gas di LCS

16 Oktober 2020

Filipina mengakhiri moratorium eksplorasi sumber daya alam di Laut Cina Selatan dan membuka jalan bagi tiga proyek energi besar. Keputusan itu berpotensi membuka ruang kerjasama eksplorasi dengan Cina. 

Kapal Pasukan Penjaga Perbatasan Filipina berpapasan dengan kapal Cina di Laut Cina Selatan, 14 Mei 2019.
Kapal Pasukan Penjaga Perbatasan Filipina berpapasan dengan kapal Cina di Laut Cina Selatan, 14 Mei 2019.Foto: Getty Images/AFP/T. Aljibe

Filipina memberlakukan moratorium eksploitasi SDA enam tahun silam menyusul eskalasi konflik teritorial dengan Cina. Kini larangan itu dicabut oleh Presiden Rodrigo Duterte demi melanjutkan tiga proyek energi di dekat wilayah yang disengketakan. 

Menteri Energi, Alfonso Cusi, mengatakan pihaknya sudah memberikan izin operasi bagi perusahaan-perusahaan yang mendapat kontrak eksplorasi untuk ketiga proyek. Salah satunya bertempat di Reed Bank yang diyakini kaya minyak dan gas.  

Oleh PBB kawasan yang berada di timur laut Kepulauan Spratly itu dinyatakan berada di dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) milik Filipina. Namun klaim itu ditolak Beijing. Setidaknya dalam satu insiden, Cina berusaha mengusir kapal eksplorasi Filipina dari kawasan itu 

Presiden Duterte sejak awal menjabat 2016 silam, berusaha merawat hubungan baik dengan Cina. Dia memprioritaskan pembangunan dan kerjasama ekonomi, dan itu sebabnya menghindari konflik di Laut Cina Selatan agar tidak memicu eskalasi dengan Beijing. 

Kementerian Luar Negeri Cina seperti dilansir kantor berita AFP,menyatakan, pihaknya berharap bisa bekerjasama dengan Filipina menggarap SDA di Laut Cina Selatan usai pencabutan moratorium.

Eksplorasi di bawah bayang-bayang Cina 

Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah di Manila benegosiasi dengan Cina untuk menjalin kerjasama eksplorasi energi. Namun hingga kini kedua pihak belum bersepakat lantaran terganjal konflik teritorial, demikian menurut seorang pejabat Filipina. 

Cusi memastikan, keputusan mencabut moratorium eksplorasi “dibuat dengan niat baik dan dengan menghormati negosiasi yang sedang berlangsung antara Filipina dan Cina,” termasuk dengan perusahaan energi dari kedua negara. 

Perkiraan letak geografis cadangan minyak dan gas di Laut Cina Selatan.

Presiden sebelum Duterte, Benigno "NoyNoy" Aquino III yang menghentikan eksporasi dan eksploitasi SDA di kawasan yang diperebutkan saat ia memangku jabaran pada 2014 silam, setahun setelah menggugat Beijing ke Mahkamah Arbitrase Internasional. 

Pengadilan PBB itu memenangkan gugatan Manila pada 2016 lalu dan menyatakan klaim historis Cina tidak berlaku di bawah Konvensi PBB untuk Hukum Laut. Putusan pengadilan juga menegaskan hak Filipina memanfaatkan sumber daya di dalam Zona Ekonomi Ekslusifnya.  

Cina menolak mengakui putusan tersebut dan menyebut persidangan sebagai tribunal "palsu.” 

Desakan ekonomi 

Menteri Energi Cusi sendiri meyakini pihaknya akan bisa melakukan eksplorasi di LCS “secara bebas,” merujuk pada tekanan Cina. 

“Kita harus mengeksplorasi untuk bisa mengamankan pasokan energi nasional” katanya. Dalam keterangan pers yang dikeluarkan Kementerian Energi itu, dia juga berterimakasih kepada Duterte yang menyetujui rekomendasi kementerian untuk mencabut moratorium. 

Klaim maritim antara enam negara di Laut Cina Selatan.

Saat ini Filipina banyak bergantung pada ladang gas Malampaya yang menyuplai hampir 40% dari kebutuhan energi di kawasan Luzon. Namun menurut Kementerian Energi, cadangan gas di Malampaya sudah menyusut secara drastis, sehingga diyakini akan tutup dalam beberapa tahun ke depan. 

“Dengan menyusutnya cadangan gas alam di Malampaya, ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk melanjutkan aktivitas eksplorasi, pengembangan dan produksi di dalam batas Zona Ekonomi Ekslusif, untuk memastikan pasokan sumber daya lokal bagi negara,” imbuh Cusi. 

Tahun lalu Duterte mengatakan Beijing menawarkan bagi hasil kepada FIlipina dalam proyek eksplorasi minyak dan gas di LCS, dengan syarat Manila menolak putusan Mahkamah Arbitrasi terhadap Cina. 

Namun wabah corona mengubah sikap Filipina. Menurut laporan World Economic Outlook yang diterbitkan IMF, 13 Oktober silam, perekonomian Filipina akan anjlok sebesar 8,3% pada 2020, lantaran penyusutan devisa menghambat belanja dalam negeri. Prediksi itu lebih parah ketimbang proyeksi pertumbuhan ekonomi Juni silam yang memperkirakan pertumbuhan mundur sebesar 3,6%. 

“Pencabutan moratorium sekaligus mewajibkan kontraktor untuk mengalirkan dana investasi ke area kontrak dan mempekerjakan tenaga kerja Filipina,” kata Cusi lagi. 

rzn/as (rtr, afp,ap) 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait