Filipina hadapi peningkatan pesat kasus infeksi HIV sebesar 543% antara tahun 2010 hingga 2023. Satu dari tiga orang yang hidup dengan HIV didiagnosis sudah pada stadium lanjut.
Iklan
Ruang tunggu di lantai tiga pusat perbelanjaan di Manila yang ramai terasa nyaman. Pria dan perempuan muda duduk di sofa biru muda yang mewah di sebelah meja tempat kondom. Ada yang tak beraroma, ada pula yang beraroma cokelat. Nampak pula pelumas berjejer di sebelah pamflet kecil berisi tips agar hubungan seks yang menyenangkan bisa berlangsung aman.
Dr. Jeremy Jordan Castro, petugas medis dari pusat pengujian HIV dan infeksi menular seksual (IMS) Klinika Eastwood, mengatakan kepada DW kenyamanan yang ditawarkan klinik itu sengaja dilakukan. Mengapa?
"Kami ingin menormalkan pengujian HIV dan IMS sebagai bagian dari perawatan kesehatan rutin. Dengan kemajuan dalam pengobatan dan teknologi, HIV sekarang dapat ditangani seperti kondisi kronis lainnya seperti hipertensi atau diabetes," ungkapnya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sebagian besar layanan klinik, yang mencakup pemeriksaan IMS serta pengobatan untuk mencegah HIV sebelum atau setelah potensi paparan, dilakukan secara gratis dan dijelaskan oleh tim beragam gender yang terlatih untuk memberikan konseling rahasia.
Klinika Eastwood merupakan bagian dari upaya pemerintah yang lebih luas, untuk menghilangkan stigma pada perawatan kesehatan seksual, mendorong pengujian dan perawatan HIV, serta berusaha menurunkan tingginya peningkatan infeksi HIV di Filipina, terutama di kalangan kaum muda.
Menurut laporan global UNAIDS yang dirilis awal bulan ini, negara tersebut telah mengalami peningkatan infeksi baru yang mengejutkan sebesar 543% antara tahun 2010 hingga 2023.
Meskipun masih menjadi negara dengan insiden rendah, dengan jumlah total orang yang hidup dengan HIV (ODHA) tercatat sebesar 189.900 tahun lalu, Departemen Kesehatan Filipina (DOH) memperingatkan, jika tren saat ini berlanjut, jumlah ODHA dapat mencapai 448.000 pada tahun 2030.
HIV: 10 Fakta Virus Mematikan
HIV/AIDS mungkin tidak lagi terdengar mengerikan seperti 20 tahun lalu, namun setiap tahun ada sejuta orang lebih yang terinfeksi. Fakta apa saja yang perlu diketahui mengenai penyakit mematikan ini?
Foto: Fotolia/Sebastian Duda
Kehidupan Sehari-hari
Lebih dari 35 juta warga dunia positif HIV - sepertiga diantaranya hidup di Afrika Sub-Sahara. Di Afrika Selatan, negara yang paling parah terjangkit HIV, satu dari enam orang mengidap HIV. HIV bisa dibilang keseharian hidup di Afrika Selatan, sampai-sampai acara anak-anak 'Sesame Street' versi Afrika Selatan memiliki boneka kuning yang positif HIV, Kami.
Foto: picture-alliance/dpa
Lelaki Lebih Berbahaya
Pada hubungan seks antar heteroseksual, HIV lebih mudah ditularkan dari lelaki ke perempuan ketimbang perempuan ke laki-laki. Namun apabila seorang lelaki sudah disunat, risiko penularan ke perempuan berkurang hingga 60 persen.
Foto: imago/CHROMORANGE
Penyakit Seumur Hidup
HIV dan AIDS tidak dapat disembuhkan, meski dapat dikontrol. Obat-obatan antiretroviral mencegah virus berlipat ganda di dalam tubuh penderita. Terapi antiretroviral mencakup tiga atau lebih obat yang harus diminum pasien selama hidupnya. Perawatan semacam ini dapat mengurangi laju kematian dari HIV sebesar 80 persen.
Foto: picture alliance/dpa
Mengurangi Harapan Hidup
Penyebaran HIV setelah tahun 1990 menyebabkan tingkat harapan hidup di banyak negara turun secara dramatis - kebanyakan di Afrika. Lalu pengenalan obat-obatan antiretroviral kembali menaikkan harapan hidup: di Afrika Selatan, contohnya, rata-rata tingkat harapan hidup naik dari 54 tahun pada 2005 menjadi 60 pada tahun 2011.
Foto: AFP/Getty Images
Pengobatan Terbatas
Karena perusahaan farmasi memegang paten yang mencegah produksi obat versi generik, obat-obatan HIV tergolong mahal - sebuah terapi biayanya ribuan Dolar per bulan. Ini pun menghambat pengobatan pada skala besar di negara-negara Afrika, dan trennya berlanjut: Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan 19 juta pengidap HIV tidak mempunyai akses terhadap obat-obatan.
Foto: AP
Masih Tahap Uji Coba
Tidak ada vaksin yang 100 persen efektif melawan HIV, dan baru ada sedikit studi klinik untuk vaksinasi pada manusia. Satu vaksin yang diujicoba di Thailand hingga tahun 2009 tampak mengurangi risiko terinfeksi HIV hingga 31 persen.
Foto: AP
Terlalu Beragam
Satu faktor yang menyulitkan pengembangan vaksin adalah begitu cepatnya HIV bermutasi, termasuk di dalam tubuh pasien. Ada terlalu banyak variasi patogen HIV - meski hanya dua variasi yang menjadi penyebab utama melemahnya sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan sakit.
Foto: picture-alliance/dpa
Masa Inkubasi Lama
Butuh enam minggu bagi seseorang yang terjangkit untuk mengembangkan antibodi, dan tes HIV tidak efektif pada periode ini. Mereka yang terinfeksi juga mengalami yang disebut infeksi HIV awal, yang gejalanya mirip flu. Beberapa pekan setelah terinfeksi, sistem imunitas untuk pertama kalinya mulai bereaksi terhadap virus.
Foto: picture-alliance/dpa
Rentan Penyakit Lain
Campuran mematikan: HIV dan tuberkulosis. Orang yang positif HIV mengidap risiko 20 kali lebih besar untuk terjangkit bakteri penyebab tuberkulosis. Di Afrika, tuberkulosis adalah penyebab kematian nomor satu di antara penderita HIV.
Foto: Alexander Joe/AFP/Getty Images
Ramuan Tersendiri
Kebijakan Afrika Selatan untuk menangani HIV mengejutkan dunia untuk waktu yang cukup lama. Tahun 2008, menteri kesehatan di bawah pemerintahan Presiden Thabo Mbeki menganjurkan bawang putih, ubi bit merah dan minyak zaitun untuk mengobati infeksi. Obat-obatan antiretroviral ditolak. Untungnya masa-masa itu sudah berlalu.
Foto: Fotolia/Sebastian Duda
10 foto1 | 10
Kaum muda paling terdampak oleh HIV
Berlawanan dengan tren global umum dalam mengelola dan mengurangi infeksi HIV, Filipina menjadi anomali, karena kini justru bergulat dengan perkiraan 50 infeksi baru yang didiagnosis setiap hari. Hampir setengah dari infeksi baru pada tahun 2024 terjadi pada individu berusia 15-24 tahun, dengan LSL (laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki) menyumbang 89% dari kasus ini.
Iklan
"Kami melihat tingkat infeksi yang mengingatkan kita pada New York atau San Francisco selama puncak krisis AIDS pada tahun 1980-an," papar Benedict Bernabe, yang merupakan kepala kelompok advokasi dan kesadaran HIV The Red Whistle.
Bernabe mencatat, sejak tahun 2005 kasus infeksi baru telah bergeser, terutama pada pria yang berhubungan seks dengan pria. Dia menekankan perlunya sumber daya kesehatan pemerintah untuk beradaptasi, dengan fokus pada peningkatan pengujian dan intervensi yang ditargetkan untuk kelompok demografi ini.
Gibby Gorres dari kolektif Asia Tenggara Melawan Stigma mengakui, peningkatan kasus HIV yang tercatat di kalangan pemuda sebagian mencerminkan keputusan pemerintah untuk menurunkan usia tes HIV tanpa persetujuan orang tua menjadi 15 tahun. Namun, ia memperingatkan, agar tidak terjadi kepanikan moral di negara yang mayoritas beragama Katolik itu.
"Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa kaum muda aktif secara seksual, beberapa mungkin dengan satu atau banyak pasangan. Kita perlu membekali mereka dengan informasi kesehatan seksual yang benar dan memungkinkan mereka mengakses pengujian dan pengobatan dengan aman," kata Gorres.
Filipina: Anak-anak dari Wisata Seks
Mereka terlihat berbeda dari anak-anak lain, tumbuh tanpa ayah dan dalam kemiskinan. Mereka adalah anak-anak wisatawan seks di Filipina.
Foto: DW/R. I. Duerr
Tergantung pada Industri Seks
Kemiskinan dan tidak adanya peluang kerja, kerap membawa gadis-gadis muda di kota Olopango, terjun dalam dunia prostitusi. Banyak juga perempuan muda dari kota lian datang ke sini untuk mencari pekerjaan di bar. Di negara bermayoritas Katolik ini , alat kontrasepsi sulit didapat. Akibatnya, setiap tahun lahir ribuan anak berayahkan wisatawan asing. Kebanyakan dari mereka tumbuh dalam kemiskinan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Generasi tanpa Ayah
Daniel (4 tahun) kemungkinan tidak akan pernah mengenal ayahnya, seorang Amerika. Kedua kakaknya berayahkan orang Filipina, yang juga meninggalkan ibunya. Sejak bertahun-tahun ia bekerja di sebuah bar. Agar dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya, kini ia berharap dapat bekerja di sebuah pabrik elektro milik Korea Selatan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Warisan Wisata Seks
Bermain dengan bola basket merupakan aktivitas favorit Ryan (tengah). Ayahnya berasal dari Jepang. Ibu Ryan masih bekerja sebagai PSK di sebuah bar di Olongapo. Ryan memiliki empat saudara, juga dengan ayah yang berbeda-beda.
Foto: DW/R. I. Duerr
Peluang Karir?
Anak berkulit putih, seperti Sabrina (tengah) kadang dijuluki "Bangus" atau Ikan Bandeng. Dalam lingkungan mereka, anak-anak ini biasanya "dibedakan". Namun, berkat wajah mereka kadang mereka beruntung bisa berkarir di Dunia film atau mode. Sabrina, maupun ibunya, tidak memiliki kontak lagi dengan ayahnya di Jerman.
Foto: DW/R. I. Duerr
Ditinggal sebelum Bertemu
Setiap hari Leila menyandang ranselnya yang penuh dengan buku dan pensil. Gadis berusia lima tahun ini tidak sabar lagi untuk bisa pergi ke sekolah tahun depan. Ayahnya 'kabur' kembali ke Amerika Serikat Saat Leila masih berada dalam kandungan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Tanpa Peluang
Ayah Ayla merupakan seorang Amerika berkulit hitam. Ibunya, yang tidak pernah belajar membaca dan menulis, dulu bekerja sebagai PSK . Sekarang ia membuka jasa cuci baju.
Foto: DW/R. I. Duerr
Stigma Seumur Hidup
Anak-anak yang berayahkan warga Afrika atau Afro-Amerika kerap menghadapi "diskriminasi" di lingkungan mereka, dengan menyebut mMereka "Negro".
Foto: DW/R. I. Duerr
Tidak Mampu Berobat
Lester masih berusia satu tahun saat ayahnya meninggal. Selama tujuh tahun, ibunya, Jessica, hidup bersama dengan ayah Lester, seorang Amerika, yang merupakan manajer di sebuah bar tempat Jessica bekerja. Lester menderita pneumonia parah. Namun ibunya yang kini bekerja di sebuah laundry tidak memapu membawanya ke dokter.
Foto: DW/R. I. Duerr
Hidup Baru
Putra Angela, Samuel, berayahkan seorang warga Swiss. Angela tidak memiliki kontak lagi dengannya sejak ia mengandung Samuel. Kini Angela bersuamikan orang Filipina, dan telah dikaruniai bayi. Pekerjaannya di bar ia tinggalkan demi suaminya.
Foto: DW/R. I. Duerr
Kabar Terputus
Sejak lahir ibu Rachel, Pamela (kiri), tunarungu dan tunawicara. Pada usia 16 tahun, Pamela mulai bekerja di bar di Olongapo. Dengan ponslenya, Rachel menunjukkan foto ibunya, Saat berumur sekitar 20 tahun, bersama pacar Jermannya. Sejak kelahiran Rachel, ayahnya kerpa mengirim uang dari Jerman. Namun sejak beberapa bulan, tidak ada kabar lagi darinya.
Foto: DW/R. I. Duerr
10 foto1 | 10
Kesempatan yang hilang untuk intervensi dini
Satu dari tiga orang yang hidup dengan HIV (ODHA) di Filipina didiagnosis pada stadium lanjut, dan seringnya baru terdeteksi setelah diagnosis infeksi yang mendasarinya, seperti tuberkulosis atau pneumonia. Pada tahun 2023, diagnosis yang tertunda menyebabkan 1.700 kematian terkait AIDS, meskipun ada kemajuan global dalam pengobatan seperti profilaksis pra dan pasca pajanan, yang tersedia gratis di klinik yang dikelola pemerintah.
Namun, data pemerintah menunjukkan, hanya 13% dari populasi kunci yang mengetahui profilaksis pra pajanan, dan hanya 60% yang mengetahui bahwa tes HIV gratis.
"Tingginya angka diagnosis terlambat menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk tes HIV yang mudah diakses dan tepat waktu," kata Direktur Eksekutif UNAIDS Filipina Lui Ocampo.
Saat ini, diperkirakan hampir 40% orang yang hidup dengan HIV (PLHIV) di Filipina tidak terdiagnosis, akibat kesalahpahaman tentang HIV dan rendahnya tingkat kesadaran warga. Di antara sebagian masyarakat, seperti wanita transgender (TGW) dan pekerja seks wanita (FSW), pengetahuan tentang HIV masih sangat rendah, berkisar sekitar 30%.
Tanda Seseorang Mengidap HIV
01:06
Jalan panjang masih harus ditempuh
Elena Felix telah hidup dengan HIV selama 30 tahun. Nenek berusia 66 tahun itu mengingat diagnosisnya pada tahun 1990-an, ketika dokter memvonisnya hanya maksimal 10 tahun untuk hidup.
Saat ini, Felix adalah pendukung setia hak-hak pengidap HIV, dan memimpin Association of Positive Women Advocates Inc. (APWAI), sebuah kelompok pendukung dan advokasi bagi perempuan yang hidup dengan HIV. Dia adalah salah satu pengadu dalam kasus besar terhadap pengacara Larry Gadon yang menyindir bahwa mantan Presiden Benigno Aquino III meninggal karena AIDS. Aquino meninggal karena penyakit ginjal pada tahun 2021.
Gadon bahkan mencemooh dan mengancam ODHA yang berencana mengajukan pengaduan, dan memperingatkan bahwa mereka akan dipermalukan di depan umum. Awal tahun ini, Mahkamah Agung memutuskan untuk mencabut izin praktik Gadon. Felix berharap kemenangan itu mengirimkan pesan yang kuat: Status HIV tidak boleh digunakan untuk mempermalukan atau mendiskreditkan siapa pun.
"Jika sebagian orang berpikir bahwa mereka dapat menggunakan misinformasi tentang HIV untuk mempermalukan dan merendahkan mantan presiden, hal itu dapat sangat merusak dan membuat putus asa, terutama bagi kaum muda. Kita perlu mengubah pola pikir menyalahkan korban yang mengatakan bahwa jika Anda tertular HIV, itu adalah hukuman mati atas perbuatan Anda sendiri,"pungkas Felix kepada DW.