Buat mengawasi pergerakan militer Cina di Laut Cina Selatan, Filipina sepakat meminjam lima pesawat mata-mata dari Jepang. Kedua negara sebelumnya menjalin kerjasama keamanan buat menjawab ancaman konflik di kawasan.
Iklan
Pemerintah Jepang bersedia meminjamkan lima pesawat mata-mata kepada Filipina untuk memantau pergerakan Cina di Laut Cina Selatan.
Kesepakatan tersebut tercapai lewat pembicaraan telepon antara Menteri Pertahanan Jepang, Gen Nakatani dan rekan sejawatnya dari Filipina, Voltaire Gazmin, hari Senin sore (3/5).
Jepang yang berseteru dengan Beijing di Laut Cina Timur sebelumnya sudah menandatangani kesepakatan pertahanan dengan FIlipina Februari silam. Perjanjian itu kini menjadi dasar hukum bagi Jepang untuk mengirimkan perlengkapan militer ke Flipina, "termasuk meminjamkan lima pesawat," TC-90 kata Gazmin.
Mesra Berkat Konflik
Kelima pesawat TC-90 yang digunakan armada ke18 angkatan bela diri Jepang, diklaim bakal meningkatkan kemampuan militer Filipina di Laut Cina Selatan. Saat ini jiran Indonesia itu tidak memiliki perlengkapan yang memadai untuk melakukan patroli berkala di kawasan yang diperebutkan.
TC-90 yang juga digunakan oleh militer AS dan Australia, dilengkapi dengan radar darat dan udara. Sebelumnya beredar kabar Filipina berniat membeli pesawat pengintai P-3 Orion dari Jepang yang miliki sistem radar termutakhir.
Hubungan kedua negara meningkat pesat menyusul eskalasi konflik di Laut Cina Selatan. Melalui kesepakatan keamanan terbaru, Filipina membuka pintu untuk membeli kapal selam dan kapal perang dari negeri sakura tersebut.
Baru-baru ini kedua negara menggelar latihan militer bersama di Laut Cina Selatan.
rzn/yf (ap,rtr)
Pangkalan Militer Cina di Laut Cina Selatan
Kendati luput dari perhatian, konflik Laut Cina Selatan terus memanas dalam diam. Cina membangun pulau buatan untuk dijadikan pangkalan militer. Salah satu landasan pacu bahkan mampu didarati pesawat pembom jarak jauh
Foto: CSIS, IHS Jane's
Pesawat Pembom di Spratly?
Sejak pertengahan 2014 militer Cina sibuk memperluas "Fiery Cross Reef" di tepi barat kepulauan Spratly. Pakar di "Centre for International and Strategic Studies" di Washington dan Asia Maritime Transparency Initiative meyakini, negeri tirai bambu itu tengah membangun pangkalan udara sepanjang tiga kilometer. Landasan sepanjang itu mampu menampung pesawat pembom jarak jauh tipe H-6 milik Cina
Foto: CSIS, IHS Jane's
Wilayah Abu-abu
Gaven-Riff yang terletak di utara kepulauan Spratly diperluas sebanyak 115.000 meter persegi sejak Maret 2014. Pakar hukum internasional menilai, Cina sedang berupaya membetoni klaimnya atas kepulauan tersebut.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Cepat Bertindak
Citra satelit yang dibuat 2014 silam menampilkan betapa militer Cina menggenjot kegiatan konstruksi di Gaven-Riff. Antara bulan Maret (kiri) dan Agustus (kanan) terbentuk sebuah pulau baru.
Cina juga membangun landasan pacu militer di Johnson South Reef. Landasan ini sendiri diyakini terlampau pendek untuk tujuan strategis. Namun pulau ini menegaskan klaim Cina terhadap kepulauan Spratly.
Foto: CSIS
Sistematis
Kegiatan konstruksi yang digalang Cina di Hughes-Riff serupa dengan di Gaven-Riff. Negeri tirai bambu itu diyakini telah mengembangkan metode baku tentang cara pembuatan pulau.
Foto: AMTI
Protes Filipina
Februari 2015 silam pemerintah Filipina kembali melayangkan nota diplomatik yang memrotes Cina. Penyebabnya adalah langkah Beijing membangun pangkalan di Mischief-Riff yang cuma terpaut jarak 135 kilometer dari pulau Palawan milik Filipina. Foto terbaru dari 19 Januari membuktikan kegiatan konstruksi di pulau tersebut.
Foto: CSIS
Perlawanan Seadanya
Tahun 1999 militer Filipina menenggelamkan kapal "Sierra Mader" di Ayungin Atoll. Sejak saat itu serdadu Filipina berjaga-jaga di sekitar kapal. Langkah tersebut adalah upaya Filipina menjauhkan Cina dari pulau yang diklaim Manila.
Foto: Reuters
Konflik Teritorial
Aksi Cina membangun pulau baru di kepulauan Spratly menambah ketegangan di wilayah. Saat ini Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei ikut menancapkan klaimnya di kepulauan tersebut. Sementara Indonesia bertindak sebagai mediator.