Presiden baru Filipina, Rodrigo Duterte, menawarkan negosiasi bilateral dengan Cina. Sikap Manila tidak cuma bertentangan dengan strategi ASEAN, Duterte juga ingin menjauhkan Amerika dari sengketa teritorial tersebut.
Iklan
Cina menyambut tawaran negosiasi bilateral yang diajukan pemerintahan baru Filipina terkait isu Laut Cina Selatan. Hubungan kedua negara belakangan memanas menyusul sikap agresif Beijing dalam sengketa teritorial tersebut.
Sikap Filipina melunak menyusul kemenangan Rodrigo Duterte dalam pemilu kepresidenan. "Kita punya perjanjian dengan barat. Tapi saya ingin semua orang tahu bahwa kami akan mengambil jalan sendiri," tuturnya.
Pandangan sang presiden bersebrangan dengan kebijakan pemerintah di Washington. "Kami tidak akan bergantung pada Amerika," tuturmya. Belum lama ini Filipina menandatangani perjanjian pertahanan dengan AS untuk membangun lima pangkalan militer untuk angkatan laut.
Cina sejak awal menginginkan konflik di Laut Cina Selatan diselesaikan lewat jalur bilateral. Sebaliknya ASEAN menginginkan pembahasan multilateral. Beijing dikhawatirkan akan menggunakan pengaruhnya untuk menekan negara-negara yang ikut bertikai seperti Malaysia, Brunei dan Vietnam.
South China Sea dispute
02:55
Duterte yang awalnya mendukung negosiasi multilateral kini malah berbalik arah. Menteri Luar Negeri Perfecto Yasay mengklaim sang presiden menginginkan agar perundingan bilateral dengan Cina dilanjutkan.
Februari silam Duterte mengatakan akan menyudahi konflik dengan Cina selama mendapat ganjaran yang setimpal. "Bangun jalur kereta api untuk kami seperti yang kalian bangun di Afrika. Baru kemudian kita bisa melupakan konflik ini," tukasnya seperti dilansir Washington Post.
Bekas walikota Davao itu bahkan mengklaim Filipina tidak membutuhkan campur tangan pengadilan arbitrase internasional yang saat ini sedang menggodok gugatan Manila ihwal Laut Cina Selatan. "Saya punya posisi serupa dengan Cina. Saya tidak ingin menuntaskan sebuah konflik lewat pengadilan internasional," ujarnya.
Sengketa Wilayah Paling Berdarah di Bumi
Ribuan orang harus melepas nyawa demi mempertahankan atau berebut sepetak tanah di Bumi. Inilah konflik perbatasan paling mematikan di dunia saat ini.
Foto: Marco Longari/AFP/Getty Images
Laut Cina Selatan
Enam negara berebut dua gugusan pulau di Laut Cina Selatan: Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Taiwan. Konflik seputar salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia ini belakangan semakin memanas. Kepulauan Spratly pernah dua kali menjadi medan pertempuran antara Cina dan Vietnam, yakni tahun 1974 dan 1988. Terakhir kali kedua negara bertempur, Vietnam kehilangan 64 serdadunya.
Foto: imago/Westend61
Nagorno Karabakh
Sejak Perang Dunia I Armenia dan Azerbaidjan sudah saling bermusuhan. Perseteruan itu berlanjut saat kedua negara berebut Nagorno Karabakh, wilayah subur seluas pulau Bali. Antara 1988 dan 1992, Armenia dan Azerbaidjan terlibat konflik yang menewaskan lebih dari 35.000 serdadu dan warga sipil. April 2016 perang kembali berkecamuk selama empat hari. Lebih dari 100 orang dinyatakan tewas
Foto: Getty Images/B. Hoffman
Kashmir
Sejak 1989 India berperang melawan kelompok bersenjata yang disokong Pakistan di Jammu Kashmir. Sejak saat itu lebih dari 21.000 gerilayawan tewas dan sekitar 5000 pasukan India gugur dalam tugas. Perang di Jammu Kashmir merefeleksikan konflik wilayah antara India dan Pakistan yang sebagiannya juga direcoki oleh Cina. Hingga kini konflik Kashmir masih berlanjut tanpa jalan keluar
Foto: picture-alliance/dpa/J. Singh
Semenanjung Krimea
Semenanjung di Laut Hitam ini sebenarnya kenyang konflik. Kekaisaran Rusia pernah bertempur melawan koalisi Kesultanan Usmaniyah yang didukung Inggris dan Perancis di abad ke19. Pada 2014 silam Rusia kembali unjuk gigi dengan menyokong pemberontakan melawan Ukraina. Kini Krimea menyatakan diri merdeka dan menjadi negara boneka Moskow.
Foto: picture-alliance/ITAR-TASS
Preah Vihear
Kamboja dan Thailand saling serang berebut kawasan Preah Vihear antara 2008 hingga 2011. Lebih dari 40 orang tewas, termasuk warga sipil. Wilayah di sekitar candi Preah Vihear ini sudah menjadi sengketa sejak Perang Dunia II. Tahun 1962 pengadilan internasional mengakui klaim Kamboja atas kompleks candi yang dibangun pada abad ke 11 itu. Namun Thailand tetap mengklaim kawasan di sekitarnya
Foto: picture-alliance/dpa
Dataran Tinggi Golan
Wilayah pegunungan yang membelah Israel dan Suriah ini sudah sering membuahkan perang antara kedua negara. Pertama tahun 1967 pada Perang Enam Hari, dan terakhir tahun 1973 ketika Israel bertempur melawan koalisi Arab dalam Perang Yom Kippur. Dataran Tinggi Golan diminati karena letaknya yang strategis. Sejak 1967 kawasan subur ini dikuasai oleh Israel.
Foto: Reuters/B. Ratner
Sahara Barat
Sejak 46 tahun Maroko bertempur melawan Republik Sahrawi yang mengklaim seluruh Sahara Barat sebagai wilayahnya. Hingga kini sebagian besar kawasan sengketa seluas dua kali pulau Jawa ini masih dikuasai Maroko. Menurut catatan sejarah, sejak awal perang sudah 21.000 nyawa melayang.
Foto: DW/A. Errimi
Pulau Malvinas/Falkland
Digerakkan oleh rasa nasionalisme, Argentina 1982 menduduki pulau Malvinas yang dikuasai Inggris. Akibatnya perang berkecamuk dan hampir 1000 serdadu meninggal dunia. Malvinas alias Falkland adalah konflik peninggalan era kolonialisme. Kepulauan seluas Nusa Tenggara Barat itu sudah diperebutkan oleh Spanyol dan Inggris sejak abad ke18
Foto: picture alliance/dpa/F. Trueba
Osetia Selatan & Abkhazia
Lebih dari 500 serdadu dan warga sipil tewas ketika Rusia mencaplok wilayah Georgia dan mendeklarasikan negara boneka. Abkhazia sudah bertempur demi kemerdekaan sejak awal 90an. Saat itu kelompok separatis melakukan pembersihan etnis Georgia. Lebih dari 10.000 orang tewas dan ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi. Perang etnis juga terjadi di Osetia Selatan antara 1989 hingga 1998.