1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Film "Aruna & Lidahnya" Tayang di Berlinale 2019

Anggatira Gollmer
11 Februari 2019

Film "Aruna & Lidahnya" ditayangkan di Berlinale 2019. Film yang menyabet dua Piala Citra di FFI 2018 ini disadur dari novel Laksmi Pamuntjak. DW sempat berbincang dengan Laksmi sebelum film ini tayang perdana di Eropa.

Berlinale 2019 Laksmi Pamuntjak
Foto: DW/A. Gollmer

Dalam novel keduanya "Aruna dan Lidahnya" yang kemudian diangkat ke layar perak, Laksmi Pamuntjak memadukan keunikan kuliner Indonesia dengan kisah persahabatan, cinta dan isu-isu politik. Tokoh utama Aruna dan teman-temannya menyelidiki kasus flu burung di sembilan kota di Indonesia. Obrolan-obrolan mereka dilakukan sambil menikmati berbagai macam makanan. Film "Aruna & Lidahnya” (2018) ditayangkan 11 Februari di Gropius Bau Cinema, Berlin, dalam rangka Berlinale 2019 untuk kategori Culinary Cinema. Tentu saja dengan menu khusus juga, dirancang dan disiapkan oleh Chef terkenal asal Vietnam di Berlin, The Duc Ngo.

Deutsche Welle berbincang-bincang dengan penulis novel Laksmi Pamuntjak sebelum "Aruna & Lidahnya” ditayangkan perdana di ajang film internasional bergengsi ini.

DW: Bagaimana perasaan Anda ketika mendengar "Aruna & Lidahnya” akan ditayangkan di Berlinale?

Saya senang sekali. Awalnya takjub, karena saya tidak pernah berpikir bahwa novel ini bisa diadaptasi menjadi film. Ini sebuah kehormatan yang besar bagi saya, karena bagaimanapun kalau karya kita dialih wacanakan menjadi medium lain, karya itu sudah tidak lagi menjadi karya kita, karya itu menjadi karya baru.  Karena saya sudah cukup lama tinggal di Berlin dan dua buku saya sudah diterbitkan di sini, hubungan emosional saya dengan Berlin sangat besar. Bahwa kemudian film saya juga ditampilkan di Berlinale, itu bagi saya seperti pengakuan bahwa saya diterima oleh kota ini sebagai seorang seniman secara lengkap. Jadi jelas saya sangat merasa tersanjung.

"Aruna & Lidahnya" tayang perdana di Eropa di Berlinale 2019

Sejauh mana Anda terlibat dalam proses adaptasi dan produksi filmnya?

Ketika saya tahu novel saya akan menjadi film, saya serahkan kepada Edwin untuk memilih skenario, karena saya memang tidak terlalu ingin terlibat. Saya pikir, ini sudah menjadi karya lain, jadi saya tidak mau terlalu terlibat. Karena pasti akan ada friksi-friksi dan itu terlalu rumit, maka dari itu dari awal sudah saya percayakan 100%.  Saya sangat percaya dengan Edwin selaku sutradara karena visi dan estetika dia bagus dan hal-hal yang dia baca dalam novel itu sejalan dengan bagaimana saya melihat novelnya. Jadi apapun yang akan dia lakukan dalam medium film, saya percaya betul bahwa itu tidak akan jelek. Tokoh-tokoh dari novel saya juga hidup sekali di tangan aktor-aktor pilihan Edwin. Saya sangat puas dengan hasilnya.

Bisa ceritakan tentang asal mula ide menulis sebuah novel yang tema kulinernya begitu dominan?

Novel pertama saya "Amba” adalah novel yang berat, mengenai episode yang kelam dari sejarah Indonesia. Saya lalu waktu itu ingin menulis sebuah novel yang agak lebih ringan, bukan artinya tidak berbobot, yang akan mengambil keuntungan dari disiplin sudah lama saya dalami sendiri. Setiap kali saya mengunjungi restoran, saya mencatat  dan mencoba membahasakan rasa. Dan itu lebih seru lagi sebagai novel, karena tidak seperti menulis buku panduan restoran, hanya seubyektif. Novel menarik karena bisa menjadi pandangan beberapa tokoh. Jadi bagaimana menjalin kesadaran kuliner, atau cinta terhadap makanan ke dalam sebuah cerita.

Ketika saya menulis "Aruna & Lidahnya” tahun 2014, belum terlalu banyak karya tulis tentang makanan, tetapi budaya kuliner sudah merasuk kemana-mana. Jadi dsxs pikir, bagus kalau food writing itu diangkat dan kosakata untuk mendeskripsikan rasa, tekstur, warna dan sensasi diperkaya. Rasa itu susah untuk dideskripsikan, tetapi harus bisa. Banyak sekali kosakata dan metafora yang bisa kita pakai dari seni rupa atau seni musik. Saya gemas kalau melihat food writing yang tidak imajinatif dan tidak kaya. Padahal Bahasa Indonesia kan kaya sekali. Kita mungkin juga bisa memperkenalkan istilah-istilah baru. Misalnya dari bahasa daerah, yang akhirnya dijadikan kata baru untuk mendeskripsikan sebuah sensasi. Jadi itu yang sebenarnya ingin saya lakukan. Sasarannya publik Indonesia.

Para pemeran utama dari kiri ke kanan: Dian Sastrowardoyo, Hannah Al Rashid, Nicholas Saputra, Oka AntaraFoto: CJ Entertainment, Palari Films

Di satu sisi saya ingin menjelajahi kepulauan kita, dan mempelajari kemajemukan makanan kita. Saya ingin tunjukkan Indonesia itu terdiri dari berbagai tradisi kuliner. Di sisi lain, itu juga bagi saya suatu pembelajaran, karena dari pengalaman makan di berbagai kota dan provinsi kita bisa belajar sejarah yang telah berlangsung di daerah itu, kita bisa melihat sosiologi orang-orang yang makan disitu dan relasi orang misalnya terhadap agama.

Ada alasan khusus di balik pemilihan profesi tokoh utama sebagai ahli wabah?

Waktu itu saya memang mencoba mencari sebuah konspirasi, atau sebuah cerita seputar korupsi. Di satu sisi saya tertarik dengan masalah-masalah kesehatan publik. Di sisi lain, saya jadi bisa punya plot, bagaimana Aruna jadi harus bepergian untuk menyelidiki kasus-kasus flu burung, dan bagian kulinernya bisa disisipkan di situ. Saya juga tidak mau novel ini jadi melulu tentang kuliner. Karena saya selalu ingin ada elemen sosial di dalam karya-karya saya. Keragaman makanan kan memang realita Indonesia, makanan jadi pemersatu. Tapi Indonesia juga negara yang korup, jadi saya juga ingin menunjukkan sisi gelap itu.

Motto Berlinale tahun ini adalah 'Hal-hal pribadi selalu bersifat politis' (das Private ist politisch). Sejauh mana "Aruna & Lidahnya” bersentuhan dengan motto itu?

Itu tergantung sudut pandang kita tentang seni. Ketika menulis atau melukis, bisa saja kita bilang, ini karya kita yang paling pribadi. Ini tidak tentang politik. Tetapi laku apapun bisa menjadi statement politik juga. Jadi kalau dibilang karya-karya saya tidak politis, itu tidak mungkin. Meskipun misalnya saya menulis tentang tokoh-tokoh yang tidak peduli politik sama sekali, tetap saja dalam perjalanan mereka dalam kehidupan, tidak mungkin tidak bersinggungan dengan sesuatu yang berhubungan dengan politik.

*Wawancana untuk DW dilakukan oleh Anggtira Gollmer