Film Indonesia Menang Kategori Generation Kplus Berlinale
26 Februari 2018
Film ‘Sekala Niskala’ (The Seenand Unseen) karya Kamila Andini memenangkan penghargaan film terbaik di Berlin International Film Festival 2018 dalam program Generation Kplus International Jury.
Iklan
Menurut juri Berlinale, film Kamila Andini memiliki visi sinematik yang khusus, di mana film ini bertutur secara puitis mengenai hidup dan perjalanan emosi melalui pengamatan semesta yang unik. Juri juga menambahkan bahwa film ini berhasil mencakup risiko, otentisitas, unsur mistis, serta tarian yang filmis.
"Aku merasa seperti bulan. Begitu terang Tapi setelah beberapa saat terangnya memudar.... " demikian cuplikan kalimat dalam film Sekala Niskala (The Seen and Unseen) di Berlinale, festival film bergengsi internasional yang berlasung setiap tahunnya di ibukota Jerman, Berlin. Produser fim Sekala Niskala, Ifa Isfansyah menggambarkan: "Ketika premier film berlangsung di Zoo Palast, bioskopnya penuh penonton. Responnya bagus, film selesai diputar tepuk tangan serasa tak berhenti. Karena ini film untuk kalangan anak-anak dan remaja, banyak anak dan remaja yang datang dan komentar-komentar merekapun tulus dan jujur.”
Film Sekala Niskala berkisah tentang saudara kembar yang berusia 10 tahun, lelaki dan perempuan, bernama Tantra dan Tantri. Anak kembar laki dan perempuan di Bali menjadi symbol keseimbangan. Suatu ketika Tantra menderita sakit serius dan perlahan kehilangan kesadaran. Film ini mengungkap bagaimana beratnya seorang anak yang akan berpisah dengan saudara kembarnya yang meregang nyawa.
Ifa menceritakan salah satu aspek kelebihan film yang ia produksi: "Dalam film itu semua bahasa yang dipakai bahasa daerah, Bahasa Bali, dan semua pemainnya orang Bali dan lokasi syutingnya pun 100 persen di Bali.”
Retrospektif Technicolor di Berlinale
Technicolor yang cikal bakal teknik pewarnaan film dan jadi kebanggaan dunia sinematografi dari 1930 hingga 1950-an seolah terlupakan. Di Berlinale ditampilan 30 film terkenal sebagai retrospeksi 100 tahun Technicolor.
Foto: Twentieth Century Fox Film Corporation Inc. All Rights Reserved
Kerinduan Sinema
Technicolor sebuah perusahaan AS yang didirikan 100 tahun lalu, mengembangkan beragam teknik pewarnaan film. Tahun 1930 Technicolor menjadi standar pewarnaan film dan menghasilkan sejumlah mahakarya dalam warna cemerlang. Film pertama yang menerapkan teknik 3 warna ini adalah film pendek "La Cucaracha" yang dibuat 1934.
Foto: George Eastman House, Rochester
Membuka Jalan Bersama Disney
Pada era 1930-an film animasi menyumbang kontribusi besar bagi sukses sistem Technicolor. Herbert T. Kalmus penemu teknik 3 warna itu bekerjasama dengan Walt Disney pencipta Mickey Mouse. Film animasi lebih gampang menerapkan teknik pewarnaan itu dibanding film dengan pelakon manusia. "Funny Little Bunnies" dari 1934 adalah salah satu tonggak sukses Technicolor dalam film animasi.
Foto: Disney
Warna Cemerlang
Film musikal "Wizard of Oz" buatan 1939 adalah salah satu puncak sukses Technicolor. Sutradara Victor Fleming dan King Vidor memanfaatkan warna sebagai elemen dramatik- dan penonton menyukainya. Berkat terobosan revolusioner para pionir film berwarna di belakang kamera, film-film dengan Technicolor biasanya jadi hit dan raih predikat Box Office.
Technicolor adalah penemuan Amerika dan juga mapan di negara itu. Tapi Hollywood juga berusaha berjejak di Eropa, dan industri film Inggris dengan cepat terimbas. Film fantasi "Thief of Bagdad" buatan 1940 dengan aktor Jerman Conrad Veidt sebagai mahapatih merupakan film Inggris terbaik yang menggunakan Technicolor.
Foto: ITV/Park Circus
Warna Melodramatis
Pertengahan 1940-an, film-film Technicolor merajai baik dari segi artistik maupun secara komersial. Bahkan hingga hari ini, warna cemerlang dari film melodramatis "Leave Her to Heaven" buatan 1945 yang dibintangi Gene Tierney masih tetap mempesona. Protagonisnya menonjol dalam taburan warna. Film ini sebetulnya termasuk genre "Film Noir" yang ironisnya jadi cemerlang berkat Technicolor.
Foto: Twentieth Century Fox Film Corporation Inc. All Rights Reserved.
Warna Surealis dan Dansa
Film musikal komedi "Yolanda and the Thief," buatan 1945 yang dibintangi Fred Astaire dan Lucille Bremer, sebetulnya disambut kurang antusias oleh penonton, karena tidak menyukai peran Astaire sebagai penjahat. Sekarang, adegan dansa selama 15 menit yang jadi sekuens andalan dalam film tersebut jadi legenda sebuah adegan sinematik yang surealis dalam warna dan gerak.
"Black Narcissus" karya sutradara dan produser Inggris Michael Powell dan Emeric Pressburger dibuat 1947, mengisahkan sekelompok biarawati yang mendirikan sebuah rumah sakit di desa terisolasi di Himalaya. Sejatinya syuting seluruh film dilakukan di sebuah studio di London.
Foto: ITV/Park Circus
Nuansa Wild West
Film western "She Wore a Yellow Ribbon" buatan 1949 karya sutradara John Ford adalah salah satu film cowboy melankolis terbaik. Ford dan juru kameranya melakukan syuting di Monument Valley berbasis imaji yang dilukis Frederic Remington. Film menunjukkkan kontras batu pasir berwarna kemerahan dengan latar langit biru.
Film "African Queen" buatan 1951 karya sutradara John Huston yang dibintangi Humphrey Bogart menjadi contoh paling impresif dari film petualangan dengan sistem Technicolor. Syuting film dilakukan di rimba Afrika, dan menghasilkan warna hijau hutan yang terus terpatri dalam ingatan para penonton.
Foto: ITV/Park Circus
Film Terakhir DenganTechnicolor
"Gentlemen Prefer Blondes," dari 1953 yang dibintangi Marilyn Monroe, menjadi salah satu film terakhir yang masih menggunakan Technicolor. Teknik warna yang lebih efektif datang dan kamera Technicolor tergeser. Yang kini tersisa adalah reproduksi film dengan sistem warna tersebut. Berlinale ke 65 tampilkan seksi retrospektif sebagai penghargaan pada era yang sudah lama lewat itu.
Foto: Twentieth Century Fox Film Corporation Inc. All Rights Reserved
Ifa Isfansyah bekerjasama dengan dengan produser Gita Fara dalam memproduksi film ini. Naskah ditulis sendiri oleh sutradara film ini, Kamila Andini, yang juga ikut menjadi produser. Selain pemain film terkenal, Ayu Laksmi dan Happy Salma, pemain-pemain lainnya tak punya latar belakang bermain film. Turut bermain dalam film ini, Thaly Titi Kasih dan Gus Sena.
Menurut Ifa tidak ada hambatan berat dalam proses pembuatan film ini termasuk masalah faktor bahasa daerah dalam proses pembuatan film tersebut.”Kendalanya hanya pada waktu. Anak yang menjadi pemeran utama cepat tumbuh, dari 10 tahun sudah jadi 15 tahun, selama masa pembuatan film. Sehingga perlu ada pergantian pemain.”
Film yang digarap selama lima tahun ini mendapat beragam dukungan beberapa organisasi dari beberapa negara, seperti Hubert Bals Fund, Asia Pacific Screen Awards Children's Film Fund, Cinefondation La Residence, dan Doha Film Institute.
Indonesia di Festival Fim Internasional Berlinale 2015
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia kerap terwakilkan di ajang kompetisi film bergengsi ini. Kali ini giliran para sineas muda yang unjuk gigi. Siapa saja mereka?
Foto: 71st Venice International Film Festival
Pemutaran Perdana "Senyap"
Sutradara Joshua Oppenheimer memperkenalkan film terbarunya "Senyap" atau "The Look of Silence" pada Berlinale tahun ini. Usai pemutaran film, Oppenheimer dan produser Werner Herzog berdiskusi dengan para penonton dan pers yang hadir.
Foto: picture-alliance/dpa
Lembusura di Berlin
Beruang Emas untuk film pendek terbaik akan diperebutkan untuk ke-60 kalinya. Ada 27 film dari 18 negara, termasuk film "Lembusura" dari Indonesia. Film ini disutradarai oleh Wregas Bhanuteja. Kisahnya tentang situasi saat hujan abu akibat letusan Gunung Kelud di Jogja. Wregas bereksperimen mengisahkan sekelompok anak muda yang membuat film tentang sosok mitologis Jawa itu.
Foto: Berlinale
Sutradara Termuda
Wregas Bhanuteja lahir pada tanggal 20 Oktober 1992. Di usia 22 tahun ia menjadi sutradara termuda di ajang Berlinale tahun ini. Film pertamanya ia buat saat masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Temanya: knalpot!
Foto: Berlinale
Film Tanpa Bujet
Ini tim di balik pembuatan film "Lembusura": Henricus Pria, Yohanes Budyambara, Wregas Bhanuteja, Wulang Sunu, dan Rangga Yudhistira. Wregas bercerita: "Saya buat bersama teman-teman masa kecil saya di Jogja. Ini film untuk senang-senang yang berawal dari spontanitas."
Foto: Berlinale
Onomastika
Selain Lembusura, ada satu lagi film Indonesia yang diputar di Berlinale 2015. Sutradara muda Loeloe Hendra hadir dengan filmnya Onomastika. Film ini bersaing dengan 65 film dari 35 negara di kategori Generation Kplus. Ceritanya tentang seorang anak yang tidak punya nama. Film lantas mempertanyakan pentingnya sebuah nama.
Foto: Berlinale
Sineas Muda Penuh Talenta
Lima sineas dari Indonesia lolos seleksi untuk mengikuti pelatihan bagi insan perfilman dari seluruh dunia di ajang Berlinale Talents. Tahun ini Indonesia diwakili oleh Arifin Putra dan Tara Basro (aktor), Ahmad Aditya (sutradara), M. Rasidy Ariefiansyah atau Tuanmuda Chacha (produser) dan Gregorius Arya (editor). DW bertemu dengan Adit, Tuanmuda Chacha dan Greg di Berlin.
Foto: DW/V. Legowo-Zipperer
Hollywood di Berlinale
Tidak hanya film-film eksperimental saja yang bisa ditemukan di Berlinale. Bahkan tahun ini gemerlap dunia film Hollywood sangat terasa. Bintang-bintang terkenal seperti Nicole Kidman, James Franco, Damian Lewis, Natalie Portman dan Christian Bale turut hadir untuk memperkenalkan film terbaru mereka.
Foto: Reuters/ H. Hanschke
7 foto1 | 7
Cara bertutur yang istimewa
Panitia festival film Berlinale menyampaikan langsung apresiasinya terhadap film ini. Dituturkan Ifa: "Ini film kedua Kamila Andini. Film pertamanya juga pernah diputar di Berlin. Jadi penting sekali bagi festival mengikuti jejak pembuat film. Kedua, jarang sekali ada film anak-anak yang cara bertuturnya seperti ini. Bisa dilihat perbedaannya jika dilihat filmnya, dimana cara bertururnya berbeda sekali, tidak seperti cara bertutur biasa. Saya rasa audiens festival di sini juga merasa sangat penting untuk bisa merasakan keberagaman film, terutama pada anak-anak dan remaja.”
Di Berlin, Ifa mengingat lagi, bagaimana proses diskusi ide ketika film ini baru akan dibuat beberapa tahun lalu: "Sebagai produser saya punya kesan pertama yang mendalam ketika sutradara menyampaikan idenya dulu atas film ini. Cara berpikir sangat kuat dan berbeda. Dan sangat susah sekali dalam cara bertutur dalam film. Butuh waktu cukup lama agar orang memahami seperti apa visi film ini. Film ini punya cara bertutur yang baru, bagaimana cara bercerita, menyampikan emosi, semua dengan cara baru, berbeda dengan film-film yang pernah ada."
Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Bekraf Endah Wahyu Sulistianti mengungkapkan, Bekraf ikut memfasilitasi keberangkatan tim film Seen and Unseen ke Berlinale ini, sebab menurut Bekraf film Seen and Unseen adalah salah satu film yang juga berprestasi di beberapa ajang festival di Indonesia. "Keterwakilan Indonesia di ajang bergengsi Berlinale melalui film Seen and Unseen sebuah kebanggaan dan patut diapresiasi dan juga memberi kesempatan bagi pembuiat film Indonesia untuk hadir meluaskan jaringan kerjasama dan pasar global."
Sekala Niskala ditayangkan di bioskop Indonesia pada bulan Maret 2018. Film besutan Kamila Andini ini tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) tahun 2017. Setelah itu, film ini juga diputar di festival-festival film lainnya, seperti di Jepang, dan memenangkan penghargaan seperti di Asian Pasific Screen Award, untuk kategori film remaja terbaik.
ap/yf(berbagai sumber)
Film Istimewa "Boyhood"
Sutradara AS Richard Linklater berhasil membuat film berkualitas seni tinggi. Film buatannya yang berjudul "Boyhood" dibuatnya selama 12 tahun, dan dengan bintang film sama.
Foto: Reuters
Boyhood, Sebuah Film tentang Perkembangan Jadi Dewasa
Ini baru pertama dalam sejarah perfilman. Seorang sutradara mulai buat film dengan bintang yang masih kanak-kanak, terus membuatnya selama 12 tahun dan akhirnya memotong hingga hanya sepanjang satu setengah jam. Penonton bisa melihat bagaimana bintang film semakin tua, tanpa 'make up' atau trik lain. Yang jadi sorotan: Ellar Coltrane yang awalnya berusia enam tahun, dan dalam film bernama Mason.
Foto: Universal Pictures
Penghargaan Beruang Perak
"Boyhood" dipetunjukkan pertama kali bulan Februari di Berlinale. Di akhir festival, sutradara Richard Linklater mendapat penghargaan Beruang Perak dari juri. Jika menuruti publik dan kritikus, film yang jadi eksperimen ini pasti mendapat Beruang Emas. "Boyhood" jadi film kesukaan di Berlin, dan sekarang mulai diputar di bioskop-bioskop.
Foto: Getty Images
Orang Awam dan Pemain Film
"Boyhood" terutama film yang menyoroti proses Mason menjadi dewasa, dalam 12 tahun pembuatan film. Tetapi bukan ia saja, semua pemain juga bertambah umur. Demikian halnya dengan tokoh saudara perempuan Mason, yang dimainkan anak perempuan Linklater, Lorelei. Apakah mereka berdua akan jadi pemain film? Belum jelas.
Foto: Universal Pictures
Keberhasilan Tim
Film Linklater juga jadi eksperimen berisiko tinggi selama masih di tahap produksi yang panjang. Selama itu tidak jelas, apa semua pemainnya akan tetap ikut dalam proyek ini, demikian Linklater dalam Berlinale. Tetapi baik pemain berusia muda, maupun pemain film profesional selalu bisa meluangkan waktu. Dalam jangka waktu panjang itu, setiap tahun mereka bertemu untuk membuat film selama sepekan.
Foto: Getty Images
Anak-Anak - Masa Puber - Remaja
Penonton tergerak hatinya karena mengikuti proses berkembanganya Mason dari anak-anak menjadi remaja. Di sisi ibunya, yang dalam film dimainkan artis Patricia Arquette, Mason tumbuh dari anak yang pemalu dan tertutup menjadi pria muda, yang menemukan tempat dalam hidup.
Foto: Universal Pictures
Film Visioner
Sutradara Linklater punya konsep dasar film ketika mulai membuatnya tahun 2002. "Konsep besar sudah ada sejak awal. Misalnya, skenario terakhir film sudah saya miliki di kepala, ketika baru memasuki tahun kedua", diceritakan sutradara asal AS itu. Tetapi alur ceritanya terbentuk dari tahu ke tahun.
Foto: Universal Pictures
Penulis Kronik Penuh Perasaan
Walaupun "Boyhood" lain daripada yang lain dalam hal cara pembuatan, Linklater sudah kumpulkan pengalaman dari film jangka panjang. Pada foto tampak trilogi "Before Sunrise", "Before Sunset" dan "Before Midnight" (sebelum matahari terbit, matahari terbenam dan tengah malam). Dalam trilogi yang dimainkan Ethan Hawke dan Julie Delpy ini, ia juga ikuti hidup beberapa karakter selama beberapa tahun.
Foto: Despina Spyrou
Richard Linklater, Sutradara Lain daripada Yang Lain
Linklater mulai berkarir tahun 1991 dengan film berjudul "Slacker". Film itu tentang remaja yang hidup luntang-lantung, yang jadi simbol sebuah generasi. Di samping itu, ia juga pernah bekerja di Hollywood dengan film beranggaran besar. Tetapi ia selalu kembali melakukan proyek-proyek independen dengan biaya kecil. "Boyhood", yang mulai diputar di bioskop, adalah karya terbesarnya selama ini.