1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Film Oray- Bukan Sekadar Soal Talak Tiga

30 Mei 2019

Talak tiga telah dijatuhkan, namun kedua sejoli masih saling cinta. Melawan hukum perceraian? Film Oray tidak sekadar berkisah tentang asmara, namun pergumulan identitas minoritas muslim di Eropa.

Berlinale 2019 Filmstill Oray
Foto: Christian Kochmann / filmfaust

Seberapa besar pergulatan identitas minoritas muslim di Eropa? Hal ini dikupas dalam sebuah sinema layar lebar karya seorang sineas muda berdarah Turki, Mehmet Akif Büyükatalay yang sedang diputar di Jerman.

Drama sosial Oray menyoroti konflik pribadi seputar fenomena talak tiga yang kontroversial. Gesekan itu bermula dari ucapan talak tiga yang dilayangkan seorang pria muslim bernama Oray kepada istrinya Burcu menyusul percekcokan hebat antara pasangan suami istri tersebut.

Menurut Fiqh Islam, ucapan Oray harus diikuti dengan masa Iddah selama tiga bulan dan bahkan perceraian. Usai insiden kecil itu sang suami pindah ke rumah temannya di kota lain. Dia aktif di masjid, meski masih gemar mengisap mariyuana. Oray bahkan menyempatkan diri mengurus seorang pemuda Sinti-Roma bernama Ebu yang datang dari Makedonia.

Namun ketika Burcu menyambangi sang suami sesaat sebelum berakhirnya masa Iddah, keduanya menyadari tidak ingin berpisah.

Oray pun terbelah antara hukum Islam yang mewajibkannya berpisah dengan sang istri dan rasa cintanya yang dalam.

Dilema tersebut membawa Oray bersitegang dengan imam masjid bernama Bilal yang mendesaknya untuk mengikuti kewajiban perceraian. Buntutnya Oray mengumpat Bilal sebagai seorang "murid" yang meski berilmu, tapi terasingkan dari realita kehidupan.

Dalam film tersebut Oray digambarkan sebagai seorang muslim pada umumnya, yang terbelah antara kehidupan modern dan doktrin agama. Teman-temannya berpandangan serupa. Meski rajin menunaikan sholat atau mengaji, mereka tetap menikmati kesenangan hidup. "Ayo sekarang pesta miras," demikian canda seorang teman Oray usai keluar dari masjid misalnya. Meski hanya kelakar, kebiasaan mengisap mariyuana atau mengonsumsi minuman beralkohol tetap menjadi kebiasaan mereka.

Paradoks antara kehidupan dan agama terasa kuat dalam film besutan Mehmet Akif Büyükatalay ini. Drama sosial di dalam film Oray berlangsung di halaman belakang, di dalam apartemen kusam khas 1960-an dan di sebuah masjid yang dibangun dari bekas pabrik.

Hampir semua tokoh dalam cerita Büyükatalay menemukan ruang sosial yang terpisah dari kehidupan masyarakat Jerman pada umumnya. Minimnya paritisipasi sosial itu terasa menyakitkan, namun tidak dianggap bermuatan politis.

Para tokoh dalam film berusia muda dan mendambakan kehidupan harmonis di masyarakat, individualisme dan solidaritas. Namun saat yang bersamaan mereka terbelah antara tekanan integrasi dan sikap acuh warga mayoritas.

Dengan deretan aktor dan aktris yang memiliki pengalaman berbeda dan menyerupai karakter fiktif masing-masing, Oray dinilai sukses mengisahkan pergulatan identitas minoritas muslim di Jerman. Film ini tidak dibebani oleh dorongan dramaturgi untuk mendekatkan tokoh utama cerita pada gagasan "jihad" atau "pembunuhan demi kehormatan" yang sering muncul dalam film serupa. Sutradara Büyükatalay tidak membiarkan filmnya dirasuki tren sinema yang cendrung menempatkan Islam dalam dunia hitam dan putih, antara yang jahat dan baik.

Sebaliknya sang sutradara berusaha menggambarkan kerumitan sebuah sistem yang harus membiarkan cakrawala ideologinya dibandingkan dengan realita kehidupan seperti yang juga terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Dengan tokoh pria yang 'nyaring' dan labil, serta tokoh perempuan yang percaya diri dan mampu menyokong dunia patriarki di sekelilingnya, Oray menjadi kisah cinta universal dengan sentuhan psikologi yang kuat, dibalut dalam luapan emosi berupa kerinduan, harapan, ketakutan dan pertentangan di dalam masyarakat.

kna(ap/vlz)