Berbagai insiden & intimidasi terhadap orang-orang yang memakai atribut komunis meningkat. Reformasi belum mampu mengubah kegamangan masyarakat menyikapi sejarah. Simak ulasan fobia 65 ini dari Made Supriatma.
Iklan
Simposium nasional tragedi 1965 boleh dibilang berlangsung sukses. Untuk pertama kali, mereka yang menjadi korban dalam tragedi politik ini bisa berbicara kepada publik.. Selama berhari-hari, topik ini menjadi bahan diskusi secara nasional. Hal seperti ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Namun, akhir-akhir ini, harapan yang membubung tinggi dalam simposium itu agak mendatangkan pukulan balik (backlash). Di media sosial, orang-orang ramai mulai membicarakan lagi “kebangkitan kembali PKI.” Juga tercatat meningkatnya berbagai insiden dan intimidasi terhadap orang-orang yang memakai atribut yang terkait dengan simbol-simbol komunis, palu arit misalnya.
Intimidasi meningkat
Di Yogyakarta, peringatan hari kebebasan pers oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 3 Mei lalu dibubarkan oleh aparat keamanan. Ini karena peringatan tersebut dilakukan dengan memutar film dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta.” Pihak kepolisian dan militer tidak mengizinkan acara yang dilangsungkan di sekretariat AJI itu diteruskan dengan alasan “mengundang konflik.”
Dalam perkembangan kemudian, pihak AJI Yogyakarta bahkan terancam akan terusir dari sekretariat yang mereka kontrak. Pihak kepolisian menekan pemilik rumah dan warga sekitar karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan AJI dianggap meresahkan masyarakat.
Sementara itu, di Jakarta, acara ASEAN Literary Festival (ALF) 2016 juga mendapatkan protes. Sekelompok orang yang menamakan dirinya Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Muslim (AM3) menuntut pembubaran acara tersebut. Mereka menuduh ALF 2016 menyebarkan ajaran komunis, mendukung Papua merdeka, dan “menyebarkan paham-paham pembenaran terhadap LGBT.”
Membungkam kebebasan berbicara
Yang paling memprihatinkan adalah reaksi aparat keamanan terhadap apa saja yang berbau komunis. Reaksi yang paling tipikal ditunjukkan di Yogyakarta. Aparat keamanan beralasan bahwa acara menonton bersama film dokumenter tentang Pulau Buru itu mengundang konflik.
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Setelah tidak berhasil membubarkan acara, sekitar 20 orang anggota FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia) mengancam akan menyerbu. Mereka ditemani oleh Burhanudin dari Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Kedatangan ‘massa' ini kemudian diikuti oleh satu truk polisi. Akhirnya, Kompol Sigit Haryadi, Kabag Operasional Polresta Yogyakarta membubarkan acara.
Tindakan pihak kepolisian ini sungguh aneh. Pihak kepolisian jelas-jelas melakukan pelanggaran atas tugas konstitusionalnya. Sebagaimana kita ketahui, Undang-undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berbicara dan berpendapat (pasal 28).
Jika kepolisian melakukan tugas konstitusionalnya maka seharusnya melindungi kebebasan mereka yang berbicara – dalam hal ini menonton apa saja yang mereka suka. Terlepas pada apakah para polisi itu setuju atau tidak setuju dengan isi yang ditonton. Itu bukan urusan mereka. Polisi yang profesional tidak akan mencampurkan pendapat pribadi dan kedudukan sebagai penjaga hukum (konstitusi).
Namun, pada kenyataannya, polisi berpihak pada mereka yang menginginkan pemberangusan kebebasan berbicara. Persoalannya kemudian adalah mengapa pihak kepolisian memilih untuk berpihak pada pemberangusan ketimbang melindungi kebebasan berbicara? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi di tingkat masyarakat.
Keluar dari Stigma
Harus diakui bahwa stigmatisasi terhadap PKI dan komunisme, yang sudah berlangsung selama 50 tahun, sulit untuk dihapuskan. Bagaimana pun generasi yang sekarang hidup di Indonesia adalah generasi yang hanya mendapat satu versi cerita sejarah. Dan, cerita ini pun tidak didapat lewat pengkajian yang kritis namun dibentuk oleh penguasa ketika itu (Orde Baru-red).
Tentu kita perlu pula bertanya, mengapa setelah masa reformasi stigmatisasi dan ketakutan terhadap komunisme ini masih saja hidup dengan kuatnya? Mengapa ‘ketakutan' terhadap PKI dan komunisme masih tetap merajalela?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus ingat bahwa otoriterisme Orde Baru bukan hanya sebuah sebuah struktur politik. Sebagaimana umumnya otoriterisme, Orde Baru pertama-tama adalah sebuah struktur kontrol terhadap sistem berpikir masyarakat. Yang dikontrol tidak saja tingkah laku masyarakat namun juga pikiran. Sehingga selama 32 tahun Orde Baru berhasil menciptakan cara berpikir yang khas yang mengabdi pada pembenaran (legitimatizing) keberadaan Orde Baru. Tidak peduli bahwa cara berpikir yang dicangkokkan itu tidak sesuai dengan kenyataan sejarah.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Reformasi tidak mampu mengubah cara berpikir ini. Sebaliknya, reformasi membawa kegamangan. Generasi yang biasanya dikontrol cara berpikirnya, dan memahami sejarah hanya lewat suapan penguasa – lewat ruang-ruang kelas, ruang-ruang publik, surat kabar, TV, dan film-film – menjadi gamang ketika disodorkan fakta yang berbeda.
Tidak terlalu mengherankan jika dalam situasi gamang ini mereka memilih untuk percaya kepada apa yang sudah mereka percayai. Tidak ada versi lain dari sejarah selain yang sudah disuapkan kepada mereka.
Kegamangan ini juga lahir karena ketiadaan pegangan. Ketika Orde Baru berkuasa, semua sisi kehidupan dipandu oleh penguasa. Misalnya, penguasa menentukan mana buruh yang baik, yakni yang ikut organisasi yang ditunjuk pemerintah, tidak mogok, ikut mensukseskan ‘pembangunan ekonomi' dan sebagainya, dan mana yang tidak baik. Demikian juga menjadi perempuan yang baik (Dharma Wanita untuk yang suaminya PNS, ikut PKK, ikut KB, setia menjadi konco wingking yang hanya mengurusi persoalan domestik dalam rumah tangga dan sebagainya).
Daftar menjadi bertambah panjang karena pemerintah punya definisi bagaimana menjadi siswa dan mahasiswa yang baik, bagaimana menjadi sopir yang baik, dan tentu saja polisi dan tentara yang baik.
Masyarakat terbiasa dengan jawaban-jawaban yang tidak perlu dikaji ulang kebenarannya. Masyarakat yang sudah malas berpikir jadi makin tak mau berpikir serta hanya "manut" pada keinginan penguasa. Sebab mempertanyakan jawaban-jawaban "baku yang benar" itu akan dianggap menentang dan sanksi untuk itu sangat berat. Ada penangkapan, interogasi, penyiksaan, penjara, bahkan pada tahap tertentu pembunuhan oleh negara.
Sikap TNI/Polri
Kegamangan seperti itu hinggap di tubuh militer dan kepolisian kita. Banyak ahli mengatakan bahwa Orde Baru adalah sebuah rezim militer. Namun pernyataan ini bisa sedikit dipertanyakan mengingat begitu rapuhnya militer setelah Soeharto jatuh. Orde Baru sesungguhnya adalah sebuah sistem kekuasaan yang berpusat pada satu orang, yaitu Soeharto, yang berkuasa dengan menggunakan mesin militer dan alat-alat keamanan.
Keberhasilan Soeharto mempertahankan Orde Baru selama 32 tahun adalah berkat kepiawaiannya menguasai militer, memelihara faksionalisme didalamnya, dan memetik keuntungan darinya.
Sehingga, ketika Soeharto militer dan alat-alat keamanan pun kehilangan ‘patron' sekaligus pegangan mereka yang paling kuat. Kita mendengar pertarungan-pertarungan yang terjadi diantara faksi-faksi di dalam tubuh militer dan kepolisian. Kadang-kadang pertarungan-pertarungan ini melebar keluar. Faksi-faksi saling menyerang satu sama lain dan seringkali dengan mempergunakan ‘proxies' organisasi-organisasi sipil.
Dengan demikian, apa yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian di Yogyakarta sesungguhnya bukan sesuatu yang aneh. Jelas bahwa kepolisian menunjukkan pemihakannya kepada kelompok yang memberangus kebebasan berbicara.
Ada dua hal yang mungkin harus dicermati lebih lanjut atas kejadian ini. Pertama, pemakaian ‘proxy' organisasi massa sipil mengindikasikan adanya persaingan di tubuh alat-alat keamanan negara kita. Organisasi massa yang sama tidak saja bergerak di Yogyakarta namun juga berbagai daerah di Indonesia. Kedua, keberadaan organisasi-organisasi seperti ini berfungsi sangat efektif untuk memberi keyakinan kepada anggota masyarakat kita yang gamang. Kepercayaan kepada apa yang sudah mereka percayai semakin diperkuat oleh organisasi-organisasi massa sipil yang didukung polisi dan tentara ini.
Penulis:
Made Supriatma adalah peneliti dan jurnalis independen. Tulisan dan laporannya sering muncul di majalah online IndoProgress. Fokus penelitiannya adalah politik militer, konlfik dan kekerasan etnik, serta politik identitas.
@supriatma
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.