1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Fobia 1965

Made Supriatma16 Mei 2016

Berbagai insiden & intimidasi terhadap orang-orang yang memakai atribut komunis meningkat. Reformasi belum mampu mengubah kegamangan masyarakat menyikapi sejarah. Simak ulasan fobia 65 ini dari Made Supriatma.

Niederlande Indonesien Menschenrechtstribunal - Gerichtssaal Nieuwe Kerk
Foto: IPT 1965

Simposium nasional tragedi 1965 boleh dibilang berlangsung sukses. Untuk pertama kali, mereka yang menjadi korban dalam tragedi politik ini bisa berbicara kepada publik.. Selama berhari-hari, topik ini menjadi bahan diskusi secara nasional. Hal seperti ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Namun, akhir-akhir ini, harapan yang membubung tinggi dalam simposium itu agak mendatangkan pukulan balik (backlash). Di media sosial, orang-orang ramai mulai membicarakan lagi “kebangkitan kembali PKI.” Juga tercatat meningkatnya berbagai insiden dan intimidasi terhadap orang-orang yang memakai atribut yang terkait dengan simbol-simbol komunis, palu arit misalnya.

Intimidasi meningkat

Di Yogyakarta, peringatan hari kebebasan pers oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 3 Mei lalu dibubarkan oleh aparat keamanan. Ini karena peringatan tersebut dilakukan dengan memutar film dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta.” Pihak kepolisian dan militer tidak mengizinkan acara yang dilangsungkan di sekretariat AJI itu diteruskan dengan alasan “mengundang konflik.”

Dalam perkembangan kemudian, pihak AJI Yogyakarta bahkan terancam akan terusir dari sekretariat yang mereka kontrak. Pihak kepolisian menekan pemilik rumah dan warga sekitar karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan AJI dianggap meresahkan masyarakat.

Sementara itu, di Jakarta, acara ASEAN Literary Festival (ALF) 2016 juga mendapatkan protes. Sekelompok orang yang menamakan dirinya Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Muslim (AM3) menuntut pembubaran acara tersebut. Mereka menuduh ALF 2016 menyebarkan ajaran komunis, mendukung Papua merdeka, dan “menyebarkan paham-paham pembenaran terhadap LGBT.”

Membungkam kebebasan berbicara

Yang paling memprihatinkan adalah reaksi aparat keamanan terhadap apa saja yang berbau komunis. Reaksi yang paling tipikal ditunjukkan di Yogyakarta. Aparat keamanan beralasan bahwa acara menonton bersama film dokumenter tentang Pulau Buru itu mengundang konflik.

Setelah tidak berhasil membubarkan acara, sekitar 20 orang anggota FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia) mengancam akan menyerbu. Mereka ditemani oleh Burhanudin dari Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Kedatangan ‘massa' ini kemudian diikuti oleh satu truk polisi. Akhirnya, Kompol Sigit Haryadi, Kabag Operasional Polresta Yogyakarta membubarkan acara.

Tindakan pihak kepolisian ini sungguh aneh. Pihak kepolisian jelas-jelas melakukan pelanggaran atas tugas konstitusionalnya. Sebagaimana kita ketahui, Undang-undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berbicara dan berpendapat (pasal 28).

Jika kepolisian melakukan tugas konstitusionalnya maka seharusnya melindungi kebebasan mereka yang berbicara – dalam hal ini menonton apa saja yang mereka suka. Terlepas pada apakah para polisi itu setuju atau tidak setuju dengan isi yang ditonton. Itu bukan urusan mereka. Polisi yang profesional tidak akan mencampurkan pendapat pribadi dan kedudukan sebagai penjaga hukum (konstitusi).

Namun, pada kenyataannya, polisi berpihak pada mereka yang menginginkan pemberangusan kebebasan berbicara. Persoalannya kemudian adalah mengapa pihak kepolisian memilih untuk berpihak pada pemberangusan ketimbang melindungi kebebasan berbicara? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi di tingkat masyarakat.

Keluar dari Stigma

Harus diakui bahwa stigmatisasi terhadap PKI dan komunisme, yang sudah berlangsung selama 50 tahun, sulit untuk dihapuskan. Bagaimana pun generasi yang sekarang hidup di Indonesia adalah generasi yang hanya mendapat satu versi cerita sejarah. Dan, cerita ini pun tidak didapat lewat pengkajian yang kritis namun dibentuk oleh penguasa ketika itu (Orde Baru-red).

Tentu kita perlu pula bertanya, mengapa setelah masa reformasi stigmatisasi dan ketakutan terhadap komunisme ini masih saja hidup dengan kuatnya? Mengapa ‘ketakutan' terhadap PKI dan komunisme masih tetap merajalela?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus ingat bahwa otoriterisme Orde Baru bukan hanya sebuah sebuah struktur politik. Sebagaimana umumnya otoriterisme, Orde Baru pertama-tama adalah sebuah struktur kontrol terhadap sistem berpikir masyarakat. Yang dikontrol tidak saja tingkah laku masyarakat namun juga pikiran. Sehingga selama 32 tahun Orde Baru berhasil menciptakan cara berpikir yang khas yang mengabdi pada pembenaran (legitimatizing) keberadaan Orde Baru. Tidak peduli bahwa cara berpikir yang dicangkokkan itu tidak sesuai dengan kenyataan sejarah.

Reformasi tidak mampu mengubah cara berpikir ini. Sebaliknya, reformasi membawa kegamangan. Generasi yang biasanya dikontrol cara berpikirnya, dan memahami sejarah hanya lewat suapan penguasa – lewat ruang-ruang kelas, ruang-ruang publik, surat kabar, TV, dan film-film – menjadi gamang ketika disodorkan fakta yang berbeda.

Tidak terlalu mengherankan jika dalam situasi gamang ini mereka memilih untuk percaya kepada apa yang sudah mereka percayai. Tidak ada versi lain dari sejarah selain yang sudah disuapkan kepada mereka.

Kegamangan ini juga lahir karena ketiadaan pegangan. Ketika Orde Baru berkuasa, semua sisi kehidupan dipandu oleh penguasa. Misalnya, penguasa menentukan mana buruh yang baik, yakni yang ikut organisasi yang ditunjuk pemerintah, tidak mogok, ikut mensukseskan ‘pembangunan ekonomi' dan sebagainya, dan mana yang tidak baik. Demikian juga menjadi perempuan yang baik (Dharma Wanita untuk yang suaminya PNS, ikut PKK, ikut KB, setia menjadi konco wingking yang hanya mengurusi persoalan domestik dalam rumah tangga dan sebagainya).

Daftar menjadi bertambah panjang karena pemerintah punya definisi bagaimana menjadi siswa dan mahasiswa yang baik, bagaimana menjadi sopir yang baik, dan tentu saja polisi dan tentara yang baik.

Masyarakat terbiasa dengan jawaban-jawaban yang tidak perlu dikaji ulang kebenarannya. Masyarakat yang sudah malas berpikir jadi makin tak mau berpikir serta hanya "manut" pada keinginan penguasa. Sebab mempertanyakan jawaban-jawaban "baku yang benar" itu akan dianggap menentang dan sanksi untuk itu sangat berat. Ada penangkapan, interogasi, penyiksaan, penjara, bahkan pada tahap tertentu pembunuhan oleh negara.

Sikap TNI/Polri

Kegamangan seperti itu hinggap di tubuh militer dan kepolisian kita. Banyak ahli mengatakan bahwa Orde Baru adalah sebuah rezim militer. Namun pernyataan ini bisa sedikit dipertanyakan mengingat begitu rapuhnya militer setelah Soeharto jatuh. Orde Baru sesungguhnya adalah sebuah sistem kekuasaan yang berpusat pada satu orang, yaitu Soeharto, yang berkuasa dengan menggunakan mesin militer dan alat-alat keamanan.

Keberhasilan Soeharto mempertahankan Orde Baru selama 32 tahun adalah berkat kepiawaiannya menguasai militer, memelihara faksionalisme didalamnya, dan memetik keuntungan darinya.

Foto: privat

Sehingga, ketika Soeharto militer dan alat-alat keamanan pun kehilangan ‘patron' sekaligus pegangan mereka yang paling kuat. Kita mendengar pertarungan-pertarungan yang terjadi diantara faksi-faksi di dalam tubuh militer dan kepolisian. Kadang-kadang pertarungan-pertarungan ini melebar keluar. Faksi-faksi saling menyerang satu sama lain dan seringkali dengan mempergunakan ‘proxies' organisasi-organisasi sipil.

Dengan demikian, apa yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian di Yogyakarta sesungguhnya bukan sesuatu yang aneh. Jelas bahwa kepolisian menunjukkan pemihakannya kepada kelompok yang memberangus kebebasan berbicara.

Ada dua hal yang mungkin harus dicermati lebih lanjut atas kejadian ini. Pertama, pemakaian ‘proxy' organisasi massa sipil mengindikasikan adanya persaingan di tubuh alat-alat keamanan negara kita. Organisasi massa yang sama tidak saja bergerak di Yogyakarta namun juga berbagai daerah di Indonesia. Kedua, keberadaan organisasi-organisasi seperti ini berfungsi sangat efektif untuk memberi keyakinan kepada anggota masyarakat kita yang gamang. Kepercayaan kepada apa yang sudah mereka percayai semakin diperkuat oleh organisasi-organisasi massa sipil yang didukung polisi dan tentara ini.

Penulis:

Made Supriatma adalah peneliti dan jurnalis independen. Tulisan dan laporannya sering muncul di majalah online IndoProgress. Fokus penelitiannya adalah politik militer, konlfik dan kekerasan etnik, serta politik identitas.

@supriatma

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait