Pemerintah akan mengembangkan food estate pada lahan seluas ratusan hektare di Kalimantan Tengah yang bertujuan sebagai lumbung pangan nasional. Namun, apakah rencana ini akan berhasil?
Iklan
Indonesia berencana untuk mengembangkan food estate di Kalimantan Tengah pada lahan seluas 164.598 hektare (ha) untuk dijadikan sebagai lumbung pangan di masa depan. Konsep perkebunan besar ini akan mengintegrasikan antara tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan.
"Kita berbicara tentang perkebunan makanan yang tidak hanya memiliki beras dan jagung," kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri.
Pengamat pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, rencana mengembangkan food estate ini sebelumnya pernah dilakukan namun hasilnya gagal total.
Kepada DW, Dwi Andreas mengungkapkan berbagai langkah yang telah dilakukan pemerintah dalam hal mengembangkan food estate sejak zaman masa pemerintahan Soeharto. Kala itu puluhan ribu transmigran didatangkan ke Pulau Kalimantan namun sebagian diantara mereka tidak tahan dan akhirnya kembali.
Kemudian pada masa SBY rencana mengembangkan food estate muncul lagi. Lahan seluas 100 ribu ha di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat dipilih menjadi lokasi yang dinilai potensial. Namun rencana tersebut kembali gagal. Tidak berhenti di situ, pada masa awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo rencana food estate dengan pencetakan sawah di Merauke seluas 1,2 juta ha juga menemui kegagalan.
Dwi Andreas menjelaskan, memang ada beberapa wilayah yang memiliki potensi bisa berhasil, tapi tingkat keberhasilan tersebut relatif kecil dari luas total keseluruhan rencana yang ingin dikembangkan pemerintah.
‘’Kalau di Kalteng potensi gagalnya cukup tinggi, karena apa? Ketika kita mau mengembangkan suatu wilayah untuk pertanian pangan, ada empat persyaratan yang semuanya harus dipenuhi. Satu saja dari empat syarat tidak dipenuhi, jawabannya sudah pasti gagal,’’ ucapnya kepada DW melalui sambungan telepon.
Perkebunan Masa Depan di Dasar Laut
Rumah Kaca dan perkebunan konvensional sering dikeluhkan karena menghasilkan jejak karbon yang tinggi. Berbeda halnya dengan Taman Nemo. Karena konsep asal Italia tersebut memanfaatkan rumah kaca di dasar laut.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
Rumah Kaca Bawah Laut
Jika produksi satu kilogram selada di lahan perkebunan menghasilkan 140 gramm emisi Karbondioksida, maka di rumah kaca emisinya mencapai 4450 gramm, alias 30 kali lipat lebih banyak. Namun perkebunan konvensional di atas tanah juga tidak serta merta ramah lingkungan, karena maraknya penggunaan pestisida yang bisa mencemari air tanah.
Foto: Getty Images/AFP/O. Morin
Tanpa Emisi, Tanpa Pestisida
Sebab itu Sergio Gamberini mengembangkan konsep unik yang dapat mengurangi emisi tanpa menggunakan pestisida. Solusinya bernama Taman Nemo, sebuah perkebunan sayur di dasar laut. Untuk itu ia menggunakan balon transparan bervolume 2.000 liter yang ditambat sampai sepuluh meter dari dasar laut. Di dalam balon tersebut Gamberini membangun platform yang bisa digunakan buat menanam sayur-sayuran.
Foto: Getty Images/AFP/O. Morin
Hujan di Dasar Laut
Berbeda dengan perkebunan konvensional, Taman Nemo tidak membutuhkan air segar. Air didapat melalui proses alami desalinasi air laut. Melalui perbedaan temperatur, air laut menguap di dalam balon dan mengendap sebagai air tawar di atap balon. Air tersebut kemudian akan menetes dan membasahi tanaman layaknya air hujan.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
Solusi Perubahan Iklim
Absennnya sistem irigasi membuat konsep Taman Nemo cocok diterapkan di kawasan pesisir yang meranggas akibat dampak perubahan iklim. "Agrikultur tradisional menggunakan 70% air tawar di seluruh dunia dan kelangkaan air meningkat pesat. Jadi pertanian adalah sektor yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim," ujarnya.
Foto: Getty Images/AFP/O. Morin
Hemat Energi, Hemat Biaya
Sistem yang dikembangkan Gamberini ini tidak membutuhkan aliran listrik, sistem pengatur suhu ruangan atau pencahayaan buatan seperti yang biasa digunakan di rumah kaca atau perkebunan konvensional. Taman Nemo bahkan juga bisa dibangun di dalam rumah dengan menggunakan akuarium.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
"Berkelanjutan dan Mandiri"
"Taman kami adalah sistem yang berkelanjutan dan mandiri," ujarnya. "Artinya setelah sistemnya diaktifkan, taman ini tidak membutuhkan bantuan dari luar. Kami memanen tomat, kacang-kacangan dan selada tanpa menggunakan air tanah sama sekali." Ia mengklaim tanamannya hanya membutuhkan sinar matahari.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
Eksperimen Tanpa Akhir
Sayangnya konsep Taman Nemo belum bisa diterapkan secara komersil. Untuk itu Gamberini harus menyederhanakan desain agar penyelam tidak selalu harus datang untuk menanam, memanen atau merawat balon yang menambah beban biaya dan waktu. Saat ini ia masih bereksperimen dengan menggunakan ukuran, bentuk dan kedalaman balon yang berbeda-beda.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
Efektif, Meski Rapuh
Terlebih konsepnya itu masih harus berhadapan dengan bencana alam. Tahun lalu salah satu Taman Nemo yang dibangunnya hancur oleh badai. Sejak itu Gamberini mendesain ulang pondasi yang digunakan buat menambat balon di dasar laut. Meski begitu konsepnya tersebut tetap dianggap lebih efektif ketimbang perkebunan konvensional.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
8 foto1 | 8
Adapun empat persyaratan yang Dwi Andreas maksud ialah, kesesuaian atau kelayakan agroklimat dan tanah, kelayakan infrastruktur, teknologi, dan aspek sosial ekonomi.
‘’Keempat persyaratannya harus betul-betul dipenuhi sebelum suatu wilayah dikembangkan. Kalau satu saja tidak terpenuhi, apa lagi dua, tiga, empat-empatnya tidak dipenuhi semua, ya pasti gagal. Jawabannya pasti gagal,’’ tegas Dwi Andreas.
Menurutnya, program yang bisa dilakukan saat ini adalah intensifikasi, yang memang sudah sering dilakukan tetapi terkadang salah arah. Namun langkah intensifikasi dinilainya mampu meningkatkan produksi hingga 20-25%.
‘’Enggak, enggak, enggak, tidak ada krisis pangan. Bahkan bulan Mei lalu beberapa produk pangan jatuh semua kecuali yang proporsi impornya tinggi, gula yang meningkat cukup tinggi sampai Rp 18 ribu walaupun sekarang harganya jatuh lagi. Saya tidak mengkhawatirkan dan tidak percaya krisis pangan akan terjadi di Indonesia,’’ tambahnya. (ha/yf )