PBB: Bencana Iklim Makin Sering, Tapi Korban Jiwa Berkurang
2 September 2021
Organisasi Meteorologi Dunia dalam laporannya menyebutkan bahwa bencana iklim melanda dunia lebih sering dan menyebabkan kerugian yang lebih banyak. Namun, bencana tersebut sebabkan lebih sedikit korban jiwa.
Iklan
Bencana iklim melanda dunia empat hingga lima kali lebih sering dan menyebabkan kerusakan tujuh kali lipat lebih banyak dibanding tahun 1970an, menurut Badan Meteorologi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Tetapi bencana-bencana iklim ini merenggut nyawa lebih sedikit. Pada tahun 1970an dan 1980an misalnya, bencana-bencana tersebut rata-rata menyebabkan kematian 170 jiwa setiap harinya di seluruh dunia. Sementara pada tahun 2010an, angka tersebut turun menjadi sekitar 40 per hari, kata Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam laporannya pada Rabu (01/09) yang meninjau lebih dari 11.000 bencana iklim dalam setengah abad terakhir.
Laporan WMO ini muncul di periode musim panas yang dipenuhi bencana secara global, termasukbanjir mematikan di Jerman , gelombang panas di Mediterania, Badai Ida, dan serangan kebakaran hutan yang diperparah oleh musim kering yang melanda Amerika Serikat (AS).
Iklan
Peningkatan kerugian ekonomi diperkirakan terus berlanjut
"Kabar baiknya adalah kita telah bisa meminimalkan jumlah korban di saat kita mulai mengalami kenaikan jumlah bencana: gelombang panas, banjir, musim kering, dan terutama… badai tropis ekstrem seperti Ida, yang baru-baru ini melanda Louisiana dan Mississippi di Amerika Serikat,” kata Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO, dalam sebuah konferensi pers.
"Namun, kabar buruknya adalah kerugian ekonomi telah meningkat dengan cepat dan peningkatan ini diperkirakan akan terus berlanjut,” tambahnya. "Kita akan semakin sering menyaksikan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, dan tren negatif dalam iklim ini akan berlanjut dalam beberapa dekade mendatang.”
Pada tahun 1970an, dunia rata-rata mengalami 711 bencana iklim dalam setahun. Tapi dari tahun 2000 hingga 2009 angka tersebut naik menjadi 3.536 bencana dalam setahun atau hampir 10 bencana dalam satu hari, demikian menurut laporan yang menggunakan data dari Pusat untuk Riset Epidemiologi Bencana (Centre for Research on the Epidemiology of Disasters) di Belgia itu. Laporan itu juga menyebutkan bahwa jumlah rata-rata bencana tahunan mengalami sedikit penurunan pada tahun 2010an, yakni menjadi 3.165 bencana.
Laporan itu juga mengungkap bahwa banyak dari kematian dan kerusakan selama 50 tahun bencana iklim disebabkan oleh badai, banjir, dan musim kering.
Dari lebih dari 2 juta kematian, 90% di antaranya terjadi di negara-negara yang dikategorikan PBB sebagai negara berkembang, sementara hampir 60% kerugian ekonomi terjadi di negara-negara kaya.
PBB menemukan bahwa pada tahun 1970an bencana iklim menyebabkan kerugian sekitar 175 miliar dolar AS secara global, jika disesuaikan dengan nilai dolar pada tahun 2019. Jumlah tersebut naik menjadi 1,38 triliun dolar AS untuk periode tahun 2010 hingga 2019.
Menurut WMO, hal yang mendorong kehancuran tersebut adalah karena semakin banyak orang pindah ke daerah berbahaya, dengan perubahan iklim menyebabkan bencana iklim lebih kuat dan makin sering. Meski begitu, para pakar menyebutkan bahwa peringatan cuaca yang lebih baik serta kesiapsiagaan telah berhasil mengurangi jumlah kematian.
Susan Cutter, Direktur Hazards and Vulnerability Research Institute di University of South Carolina melihat ada kemajuan dalam hal belajar hidup dengan risiko dan juga melindungi diri sendiri.
"Di sisi lain, kita masih membuat keputusan bodoh tentang peletakan infrastruktur,” kata Cutter. "Tapi tidak apa-apa. Kita tidak kehilangan nyawa, kita hanya kehilangan benda-benda.”
Cuaca Ekstrem Mematikan Kejutkan Dunia
Dari Jerman, Kanada hingga Cina, gambar-gambar dramatis dari dampak buruk cuaca ekstrem telah mendominasi kepala berita baru-baru ini. Apakah krisis iklim yang menjadi penyebabnya?
Foto: AFP/Getty Images
Banjir bandang dahsyat di Eropa
Banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya ini disebabkan oleh hujan lebat selama dua hari berturut-turut. Aliran air yang sempit meluap menjadi amukan banjir hanya dalam hitungan jam dan menghantam perumahan warga. Sedikitnya 209 orang tewas di Jerman dan Belgia. Upaya pemulihan rumah, bisnis, dan infrastruktur yang rusak diperkirakan menelan biaya miliaran euro.
Foto: Thomas Lohnes/Getty Images
Musim hujan ekstrem
Banjir juga melanda sebagian wilayah di India dan Cina bagian tengah. Hujan turun sangat lebat, bahkan lebih deras dari yang biasanya turun di musim hujan. Para ilmuwan memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan curah hujan yang lebih sering dan intens, karena udara yang lebih hangat menahan lebih banyak air, sehingga menciptakan lebih banyak hujan.
Foto: AFP/Getty Images
Banjir menggenangi Cina bagian tengah
Curah hujan yang memecahkan rekor selama berhari-hari menyebabkan banjir dahsyat di seluruh provinsi Henan, Cina, pada akhir Juli. Puluhan orang tewas, ratusan ribu lainnya mengungsi, dan banyak warga masih dilaporkan hilang. Di Zhengzhou, ibu kota provinsi Henan, warga terjebak di rel kereta bawah tanah ketika banjir datang. Daerah pedesaan dilaporkan terkena dampak lebih parah.
Foto: Courtesy of Weibo user merakiZz/AFP
Rekor suhu panas di AS dan Kanada
Suhu yang semakin panas juga menjadi lebih umum terjadi. Seperti di negara bagian Washington dan Oregon di AS dan provinsi British Columbia di Kanada pada akhir Juni lalu. Ratusan kematian terkait suhu panas dilaporkan terjadi di sana. Desa Lytton di Kanada bahkan mencatat suhu tertinggi hingga 49,6 Celcius.
Foto: Ted S. Warren/AP/picture alliance
Kebakaran hutan memicu badai petir
Gelombang panas mungkin sudah berakhir tetapi kondisi kering telah memicu salah satu musim kebakaran hutan paling intens di Oregon, AS. Kebakaran yang dijuluki Oregon’s Bootleg Fire itu menghanguskan area seluas Los Angeles hanya dalam waktu dua minggu. Saking besarnya, asap dari kebakaran dilaporkan sampai ke New York.
Foto: National Wildfire Coordinating Group/Inciweb/ZUMA Wire/picture alliance
Amazon mendekati ‘titik kritis’?
Brasil bagian tengah dilaporkan mengalami kekeringan terburuk dalam 100 tahun, sehingga meningkatkan risiko kebakaran dan deforestasi lebih lanjut di hutan hujan Amazon. Menurut para ilmuwan, sebagian besar wilayah tenggara Amazon telah berubah fungsi dari yang awalnya menyerap emisi, kini berubah menjadi memancarkan emisi CO2, menempatkan Amazon lebih dekat ke ‘titik kritis’.
Foto: Andre Penner/AP Photo/picture alliance
‘Di ambang bencana kelaparan’
Setelah bertahun-tahun alami kekeringan, lebih dari 1,14 juta orang di Madagaskar mengalami kerawanan pangan. Beberapa dari mereka terpaksa memakan kaktus mentah, daun liar, dan belalang, dalam kondisi yang mirip seperti ‘wabah kelaparan’. Nihilnya bencana atau konflik membuat situasi di sana disebut sebagai kelaparan pertama dalam sejarah modern yang semata-mata disebabkan oleh perubahan iklim.
Foto: Laetitia Bezain/AP photo/picture alliance
Melarikan diri dari bencana
Tahun 2020, jumlah orang yang melarikan diri dari konflik dan bencana alam mencapai level tertinggi dalam 10 tahun. Jumlah orang yang berpindah di dalam negera mereka sendiri mencapai rekor 55 juta, sementara 26 juta lainnya melarikan diri hingga melintasi perbatasan. Sebuah laporan dari pemantau pengungsi pada bulan Mei menemukan tiga perempat dari pengungsi internal adalah korban cuaca ekstrem.
Foto: Fabeha Monir/DW
London terendam banjir
Tidak hanya negara-negara di Eropa utara, Inggris juga dilanda banjir bandang. Beberapa bagian London dibanjiri oleh air yang naik dengan cepat karena hujan lebat dalam satu hari. Stasiun kereta bawah tanah dan jalan-jalan juga terendam banjir. Menurut Wali Kota London Sadiq Khan, banjir bandang menunjukkan bahwa “bahaya perubahan iklim kini bergerak lebih dekat ke rumah.”
Foto: Justin Tallis/AFP/Getty Images
Yunani ‘meleleh’ akibat gelombang panas
Sementara negara-negara di Eropa utara mengalami banjir, negara di bagian selatan seperti Yunani justru dicengkeram oleh gelombang panas di awal musim panas. Di minggu pertama bulan Juli, suhu melonjak hingga 43 derajat Celcius. Tempat-tempat wisata seperti Acropolis terpaksa ditutup pada siang hari, sementara panas ekstrem memicu kebakaran hutan di luar kota Thessaloniki.
Foto: Sakis Mitrolidis/AFP/Getty Images
Sardinia dilanda kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya
“Ini adalah kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Sardinia,” kata Gubernur Sardinia Christian Salinas tentang kebakaran hutan di sana. “Sejauh ini, 20.000 hektar hutan yang mewakili sejarah lingkungan selama berabad-abad di pulau kami telah hangus menjadi abu," tambahnya. Sedikitnya 1.200 orang dievakuasi akibat kebakaran tersebut. (gtp/hp)
Foto: Vigili del Fuoco/REUTERS
11 foto1 | 11
Angka korban jiwa akan terus menurun?
Samantha Montano, seorang profesor manajemen darurat di Akademi Maritim Massachusetts dan penulis buku "Disasterology”, mengatakan ia khawatir bahwa jumlah kematian mungkin akan berhenti menurun karena peningkatan cuaca ekstrem yang disebabkan perubahan iklim melanda terutama negara-negara miskin.
"Kesenjangan di mana negara-negara telah memiliki fasilitas atau cara yang didedikasikan untuk meminimalkan kematian akibat bencana adalah kekhawatiran besar, terutama karena perubahan iklim,” tutur Montano. "Menurunnya kematian dalam beberapa dekade terakhir tidak berarti hal itu akan berlanjut, kecuali kita terus berinvestasi dalam upaya tersebut.”
Badai Ida merupakan sebuah contoh bencana yang menyebabkan kerusakan besar dan mungkin korban jiwa yang lebih sedikit dibanding badai-badai besar sebelumnya, kata Cutter. Ia menambahkan bahwa tahun ini, bencana iklim "tampaknya melanda tiap beberapa minggu,” seperti misalnya Ida, kebakaran hutan AS dan banjir di Jerman, Cina, dan Tennessee.
Lima bencana iklim paling mahal sejak tahun 1970 merupakan badai di AS, dengan Badai Katrina pada tahun 2005 menduduki peringkat pertama. Sedangkan lima bencana iklim paling mematikan terjadi di Afrika dan Asia, di mana kekeringan dan kelaparan di Etiopia pada pertengahan 1980an dan Siklon Bhola di Bangladesh pada tahun 1970 menempati posisi teratas.