1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Frustrasi di Iran setelah Serangan Israel

Amir Soltanzadeh
29 Oktober 2024

Ketidakpuasan dan frustasi penduduk di Iran semakin tinggi. Situasi ekonomi yang buruk membuat orang semakin kritis terhadap dukungan finansial negara itu ke Hizbullah dan Hamas.

Mural petinggi Hamas, Haniyeh dan Soleimani, di Iran
Warga Iran menyesalkan tiadanya sirene peringatan ketika Israel menyerang.Foto: Fatemeh Bahrami/AA/picture alliance

Menyusul serangan udara Israel terhadap Iran pada Sabtu (26/10) pagi, banyak orang di Iran melampiaskan rasa frustrasi mereka di media sosial. Israel melancarkan serangan udara dini hari terhadap sasaran militer di Iran sebagai pembalasan atas penembakan Iran terhadap Israel awal bulan ini.

Sebelum serangan ini, Iran telah menderita masalah ekonomi yang serius. Menurut laporan dari platform berita IranWire, yang dijalankan oleh jurnalis Iran di pengasingan, mata uang nasional Iran, real, anjlok di tengah ketegangan dengan Israel.

Kekhawatiran akan perang regional telah menyebabkan nilai tukar dolar melemah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, menurut informasi resmi, tingkat inflasi melonjak sebesar 33% pada tahun lalu. Harga diperkirakan akan terus meningkat secara dramatis.

Menurut parlemen Iran, tingkat kemiskinan di negara tersebut terus meningkat selama lima tahun. Sepertiga penduduk tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasarnya dengan pendapatan mereka.

Kemarahan rakyat Iran terhadap Hizbullah dan Hamas

Sementara itu, para investor berusaha untuk melikuidasi aset mereka di Bursa Efek Teheran. Hal ini menyebabkan terhentinya transaksi-transaksi besar karena banyak orang menunggu arah konflik ini.

Banyak warga Iran yang mengaitkan keruntuhan ekonomi negara mereka dengan dukungan keuangan pemerintah terhadap Hizbullah dan Hamas.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Milisi Hizbullah berhubungan erat dengan pemerintah Iran. Hizbullah dan Hamas, yang berkuasa di Jalur Gaza, diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Jerman, Amerika Serikat dan negara-negara lain.

Menurut laporan dari saluran berita Iran yang berbasis di London, Iran International, banyak orang di Iran menuduh pemerintah lebih fokus pada konflik luar negeri daripada mengatasi masalah-masalah mendesak di dalam negeri.

Kesenjangan antara narasi resmi dan suasana di lapangan dapat berdampak luas terhadap stabilitas internal Iran, terutama jika ketegangan militer terus meningkat.

Sensor di mana-mana

Menurut Reporters Without Borders, Iran adalah "salah satu negara paling represif di dunia dalam hal kebebasan pers." Sensor yang ketat menjadi lebih parah lagi setelah serangan Israel.

Seorang jurnalis yang berbasis di Teheran, yang tidak ingin disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan kepada DW pada hari Sabtu bahwa "tidak ada yang bisa ditulis. Media tidak berani menulis apa pun selain posisi resmi." Pers dilarang memposting, bahkan di laman media sosial pribadinya. 

Gambar toko-toko dan kios-kios pasar ini diposting negara untuk menunjukkan keadaan normal setelah serangan IsraelFoto: Arne Immanuel Bänsch/dpa/picture alliance

Pakar media Iran, Babak Dorbeiki, mengkritik pembatasan terhadap media independen setelah serangan Israel. Dorbeiki adalah mantan penasihat dan kepala Pusat Hubungan Masyarakat dan Informasi Kementerian Kebudayaan pada masa pemerintahan Presiden Hassan Rouhani (2013-2021).

Di media sosial di negara ini, orang-orang menggunakan VPN (Virtual Non-Public Networks) untuk melewati batasan online. Di medsos, pengguna mengungkapkan kemarahan mereka kepada pemerintah dan mempertanyakan mengapa mereka tidak diberi peringatan tentang serangan tersebut sehingga mereka dapat mencari perlindungan. Mereka juga menyatakan keprihatinan mengenai kurangnya tempat perlindungan karena negara tersebut mungkin sedang menuju perang.

Beberapa pihak mengaitkan meningkatnya konflik militer dengan Israel karena tindakan sembrono Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei dan Garda Revolusi.

Propaganda antisemit

Menurut analisis yang dilakukan oleh platform berita independen IranWire, "perkataan kebencian antisemit di saluran sosial dan situs web Persia mencapai total volume sekitar 61.000 postingan pada bulan September." 

Jumlah tersebut meningkat 98 persen dibandingkan bulan Agustus, menurut temuan IranWire. Saluran-saluran resmi dan semi-resmi "terdepan dalam menyebarkan materi antisemit ini."

Namun, tidak seperti di negara-negara Arab lainnya, upaya pemerintah dalam memicu sentimen anti-Israel dan antisemit secara umum tidak mengarah pada protes anti-Israel di Iran.

Di Mesir, Yordania, Maroko, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak, ribuan orang turun ke jalan untuk berdemonstrasi menentang perang Israel melawan organisasi teroris Hamas di Jalur Gaza. Perang tersebut merupakan respons terhadap penyerangan di Israel oleh Hamas pada 7 Oktober 2023. 

"Rakyat Iran tidak berkeinginan untuk berperang dengan Israel... (dan) hanya memiliki sedikit rasa permusuhan terhadap Israel," tulis sejarawan Arash Azizi, seorang peneliti tamu di New York University yang meneliti Iran, di Majalah The Atlantic.

Reaksi di media sosial setelah serangan hari Sabtu juga menunjukkan bahwa banyak warga Iran tidak menginginkan konflik dengan Israel, karena khawatir akan pecahnya perang regional.

Kritik terhadap rezim tersebut memperkirakan bahwa perang melawan Israel dapat semakin memperburuk penindasan terhadap penduduk di Iran.

"Kenyataannya adalah perang menyebabkan peningkatan penindasan dan tekanan terhadap pihak oposisi, ini tidak memberikan kontribusi terhadap demokrasi di Iran," kata Nazila Golestan, tokoh oposisi di pemerintahan Iran yang berbasis di Paris, kepada DW.

 

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait