1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gül Presiden Baru Turki

28 Agustus 2007

Abdullah Gül diangkat sumpahnya sebagai presiden baru. Ini mengakhiri kisruh politik berbulan-bulan.

Foto: picture-alliance/dpa

Dalam pidatonya di istana Cankaya usai dilantik, Abdullah Gül menegaskan lagi tekadnya untuk menjaga sekularisme yang merupakan bentuk negara dan karakter Republik Turki.

Dalam sidang parlemen putaran ketiga Selasa siang, upaya partai oposisi sekuler utama, CHP yang memboikot pemilihan, tak mampu membendung Abdullah Gül. Karena pada putaran ketiga ini seorang calon hanya membutuhkan mayoritas biasa. Yakni 276 dari 550 kursi parlemen. Padahal partai Gül sendiri, AKP, sudah menguasai 341 kursi.

Latar belakang Gül yang pernah menjadi politikus berhaluan Islamis menyebabkan pencalonannya melalui jalan berliku. Bahkan memunculkan perpecahan politik yang tajam. Sehari sebelum putaran ketiga ini, Panglima Militer Jendral Yasar Buyukanit melontarkan tuduhan adanya kekuatan jahat yang berusaha merongrong Republik Turki yang demokratis dan sekuler. Pernyataan itu membuat mata uang Turki, Lira, mengalami tekanan, dan diyakini ditujukan pada Abdullah Gul.

Namun mantan Ketua Komnas HAM Turki, Vahit Bicak menuturkan pernyataan itu merupakan pernyataan biasa yang memang kerap mereka serukan:

„Saya pikir militer Turki tidak ingin mencampuri politik. Mermang ada beberapa politisi dan kelompok kepentingan yang ingin mendorong militer untuk campur tangan. Tentu saja semua lembaga di Turki sangat peduli dengan prinsip sekularisme. Karena sebagian besar orang Turki menyepakati sekularisme.“

Vahit Bicak yang juga merupakan pengamat politik dari Universitas Ankara menganalisa meski ketegangan antar kelompok terjadi, tentara tidak akan mengambil tindakan militer.

„Saya rasa militer Turki tidak akan mengambil tindakan dalam mencampuri proses pemilihan ini. Namun nanti bila setelah pemilihan terjadi tindakan mengancam terhadap prinsip sekularisme, baru militer dan institusi lain, seperti mahkamah konstitusi akan campur tangan.“

Kaum sekuler dan militer sempat bersikukuh menolak Gul. Salah satunya adalah karena isterinya, Hayrunissa, mengenakan jilbab. Sesuatu yang dianggap sebagai simbolisasi agama. Meski demikian dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh KONDA Agency di harian Milliyet menyebutkan lebih dari 70 persen reponden menganggap pemakaian kerudung oleh istri seorang presiden adalah hal yang lumrah. Sementara hampir 20 persen responden merasa tidak nyaman dengan kondisi itu.

Kekhawatiran terhadap perspektif seorang presiden cukup beralasan, mengingat kekuasaan seorang presiden di Turki cukup besar. Di Turki, kebijakan memang ditetapkan dan diselenggarakan oleh pemerintah atau di tangan perdana menteri. Namun seorang presiden punya kekuasaan besar. Setiap aturan hukum atau keputusan resmi yang diambil di parlemen, harus lewat persetujuan presiden. Presiden juga punya hak dalam menetapkan orang-orang pada jabatan penting, seperti misalnya panglima militer, gubernur, duta besar, hingga rektor universitas.