1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikBolivia

Gagal Kudeta, Jendral Bolivia Klaim Demi "Demokrasi"

27 Juni 2024

Dipimpin oleh panglima militer yang bersumpah akan "memulihkan demokrasi," tentara menerabas gerbang istana negara di ibu kota Sucre pada Rabu (26/6). Sang jendral akhirnya ditangkap pasukan sendiri.

 Juan Jose Zuniga
Jendral Juan Jose Zuniga setelah ditangkap aparat keamanan BoliviaFoto: Juan Karita/AP Photo/picture alliance

Dalam hitungan jam, negeri berpopulasi 12 juta jiwa itu menyaksikan tentara menduduki istana negara Bolivia di bawah arahan Jendral Juan José Zúñiga, yang menolak diturunkan sebagai panglima militer, dan imbauan Presiden Luis Acre yang meneguhkan pergantian di pucuk pimpinan tentara. Para serdadu akhirnya mundur dari ibu kota setelah diperintahkan panglima militer baru.

Kudeta yang dilancarkan Zúñiga hanya bertahan selama tiga jam. Dia diyakini berkomplot dengan bekas wakil panglima angkatan laut, Juan Arnez Salvador. Keduanya ditangkap dan ditahan atas perintah kejaksaan. Buntutnya, pendukung pemerintah turun ke jalan untuk merayakan tegaknya supremasi sipil. Mereka terlihat mengibarkan bendera negara dan menanyikan lagu-lagu nasional.

"Apa tujuan kudeta ini? Tujuannya adalah untuk menjatuhkan otoritas yang terpilih secara demokratis," kata Menteri Pemerintahan, Eduardo del Castillo kepada wartawan.

Pada Rabu malam, Menteri Pertahanan Edmundo Novillo memastikan "situasi telah terkendali," kata dia dalam jumpa pers, sembari ditemani oleh panglima militer José Wilson Sánchez. Novillo mengatakan,  "Bolivia telah menyintasi sebuah kudeta yang gagal".

Aksi kudeta di BoliviaFoto: EPA/Luis Gandarillas

Kudeta demi 'demokrasi'?

Sejak beberapa bulan terakhir, Bolivia didekap kegentingan akibat pertikaian antara Presiden Arce dan sekutunya sendiri, mantan presiden sayap kiri Evo Morales, yang berebut kursi di pucuk partai penguasa. Ketidakstabilan politik menggandakan tekanan di tengah gejolak ekonomi. Barisan pendukung Morales di Kongres, misalnya, mematahkan sejumlah insiatif Presiden Acre yang ingin menambah utang untuk menghalau krisis.

Jendral Zúñiga merujuk pada kelumpuhan di Bolivia sebagai dalih kudeta. Kepada wartawan, dia mengklaim telah muak dengan pertikaian politik dan mengambil jalan pintas "untuk memulihkan demokrasi."

"Kami mendengarkan tangisan rakyat karena selama bertahun-tahun, para elit telah mengambilalih kendali atas negeri ini," kata dia, sembari menambahkan betapa para politisi "telah merusak negara. Lihatlah situasi saat ini, ke dalam krisis semacam apa mereka menjebloskan kita."

Bolivia: Main coup plotter in custody

02:54

This browser does not support the video element.

Sebelum ditahan, sang jendral sempat mengklaim hanya menjalankan arahan. "Presiden mengatakan kepada saya bahwa situasinya memburuk dan kritis. Sangat penting untuk mempersiapkan sesuatu demi menaikkan popularitas saya," kata dia mengutip Acre. Dia bahkan sempat menanyakan, "apakah harus membawa serta unit kendaraan lapis baja?," yang dijawab sang presiden "bawalah mereka keluar," dari barak.

Klaim tersebut dibantah oleh Menteri Kehakiman Ivan Lima, yang menyebut Zúñiga berbohong dan harus menjawab tindakannya di muka pengadilan. Kejaksaan dikabarkan sedang mempersiapkan dakwaan dengan ancaman penjara 15 sampai 20 tahun, "karena telah menyerang demokrasi dan konstitusi," tulis Lima di platform X atau Twitter.

"Keterlibatan" negara asing?

Upaya kudeta di Bolivia mengundang kecaman internasional, terutama Rusia yang belakangan menjadi sekutu dekat pemerintahan di Sucre. "Kami mengecam keras upaya kudeta militer dan menawarkan dukungan penuh bagi pemerintahan Presiden Luis Acre," tulis Kementerian Luar Negeri di Moskow, Kamis (27/6), seperti dilansir kantor berita AFP. "Rusia berdiri dalam solidaritas dan persaudaraan dengan Bolivia, mitra strategis kami yang selalu bisa diandalkan."

Tentara di istana negara BoliviaFoto: Claudia Morales/REUTERS

Arce sempat mengunjungi Rusia dan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Forum Ekonomi Internasional di St. Petersburg awal bulan ini. Putin memuji "rasa hormat yang kuat” antara kedua negara dan berharap dapat meningkatkan hubungan ekonomi, menurut keterang pers Kremlin. Kunjungan Acre tergolong langka di tengah isolasi internasional sejak Rusia menginvasi Ukraina.

Bolivia belum lama ini bersepakat membeli minyak Rusia untuk menutupi kekurangan di dalam negeri. Langkah itu diambil ketika surutnya sumur lama disusul resesi yang mengekang investasi. Padahal, negeri di dataran tinggi Andes itu sejatinya menyimpan cadangan litihium terbesar di dunia, yang sebagian besar dikelola dengan dana investasi dari Cina dan Rusia.

Moskow menuduh adanya keterlibatan pihak asing yang ingin mencampuri proses politik di ibu kota Sucre. "Kami memperingatkan terhadap upaya campur tangan asing yang merusak urusan dalam negeri Bolivia dan negara-negara lain, yang telah berulang kali menimbulkan konsekuensi tragis bagi sejumlah negara dan masyarakat, termasuk di kawasan Amerika Latin,” kata Kementerian Luar Negeri Rusia.

Meski tidak secara langsung, ungkapan tersebut di masa lalu acap dilayangkan terhadap Amerika Serikat, yang punya sejarah panjang memaksakan pergantian politik di Amerika Selatan lewat kudeta. Pada 1971, misalnya, AS mendukung kudeta Jendral Hugo Banzer terhadap pemerintahan sosialis Bolivia.

rzn/as (ap,afp,rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait