Ketika pemilu usai, banyak di antara pendukung yang tampaknya sulit beranjak dari rasa patah hati ketika 'jagoannya' kalah. Sepahit-pahitnya kekalahan, kenyataan harus bisa diterima dengan lapang dada. Opini Uly Siregar.
Iklan
"Saya tidak bisa lagi menonton berita di televisi sekarang ini, saya tak kuat melihat tampang dia (Trump) setiap kali menyalakan televisi. Saya menangis berderai-derai memikirkan tentang berbagai undang-undang yang akan dijejalkan ke tenggorokan saya - semua aturan yang hanya mengangkat mereka yang kaya dan berkuasa, dan menyakiti kami yang masih sangat rentan,” ujar Kimberly, salah seorang pendukung Hillary Clinton di ruang komentar sebuah media online.
Gagal move on
Yang dirasakan pendukung Hillary Clinton sebenarnya tak terlalu asing bagi kita di Indonesia. Sejak awal pertarungan dua kandidat presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo di tahun 2014, kedua kubu pendukung menjadi sangat emosional. Ketika hasil penghitungan suara menunjukkan kemenangan Joko Widodo, pendukung Prabowo tak mau terima, apalagi Prabowo pun menunjukkan resistensi atas hasil penghitungan, bahkan ketika hasil pemungutan suara menunjukkan selisih lebih dari 8 juta untuk kemenangan Joko Widodo.
Karena sikap Prabowo dan fanatisme pendukungnya, muncul pula istilah ‘gagal move on', sebuah olok-olok yang terus-menerus didengungkan pendukung Presiden Jokowi ketika kritik dilontarkan pada presiden. Yang menyebalkan, istilah ‘gagal move on' ini tak hanya dilontarkan pada pihak pendukung Prabowo konsisten senewen karena jagoannya kalah, tapi juga pada pihak netral yang sungguh-sungguh mencermati kepemimpinan Presiden Jokowi dengan kritis dan adil bertahun setelah penghitungan suara usai.
Setiap kekalahan yang sifatnya kolektif bisa sama menyakitkannya dengan kekalahan personal. Jadi, kepedihan yang dirasakan pendukung Hillary Clinton bisa nyaris sama menyakitkan dengan kematian orang tercinta. Rasa ngilu mulai dirasakan pendukung Prabowo Subianto saat Joko Widodo menang di beragam survei, dan makin menggila ketika hasil pemungutan suara mengaminkannya.
Lewati tahapan patah hati
Elisabeth Kubler-Ross dalam bukunya On Death and Dying, pertama kali mengenalkan lima fase kesedihan karena kehilangan, yakni penyangkalan dan isolasi, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Tak semua orang mengalami lima fase ini secara berurutan; ada yang sukses melalui setiap fase dan akhirnya sampai pada fase penerimaan, ada juga yang tak beranjak dari fase penyangkalan dan isolasi, serta kemarahan. Dalam konteks politik, fase-fase ini pun tampaknya berlaku. Sebagian pendukung Prabowo Subianto, ada yang sudah khatam hingga pada tahap penerimaan, tapi banyak juga yang masih tahap misuh-misuh di medsos dengan mencela setiap keputusan politik yang ditempuh Jokowi, baik yang bagus apalagi yang memang agak butut.
Saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengisi jabatan yang ditinggal Joko Widodo, fase penyangkalan bahkan sampai sekonyol memunculkan gubernur tandingan. KH Fakhrurozy Ishaq yang menjadi gubernur versi Presidium Penyelamat Jakarta dengan gagah menyatakan kesiapannya memimpin DKI Jakarta, lengkap dengan ritual blusukan. Meskipun belakangan namanya tak lagi terdengar sebagai gubernur tandingan. Dalam istilah yang sekarang populer, yang dilakukan KH Fakhrurozy dan gerombolannya fase penyangkalan itu mungkin bisa disebut dengan ‘gagal move on' tadi.
10 Peristiwa yang Akan Mengubah Dunia di 2017
Tahun 2017 akan menjadi tahun politik terbesar sejak satu dekade terakhir. Kekuasaan Donald Trump, sejumlah pemilu penting di Eropa, Iran dan kongres nasional di Cina diyakini akan mengubah wajah dunia.
Foto: picture alliance /ZB/J. Kalaene
Perang di Suriah dan Irak
Tahun 2017 menandai momentum paling menentukan buat melumat ancaman Islamic State. Ketika militer Irak aktif merebut kembali wilayah yang dikuasai ISIS, perdamaian antara kelompok pemberontak dan pemerintah Suriah bisa menjadi titik balik dalam perang melawan kelompok Abu Bakar al-Baghdadi itu. Hanya saja dinamika di Suriah banyak bergantung pada politik internasional.
Foto: Getty Images/AFP/N. Al.Khatib
Pelantikan Donald Trump
Donald Trump resmi berkuasa tanggal 20 Januari 2017. Sederet isu menunggu keputusan sang presiden, mulai dari hubungan Amerika Serikat dengan Rusia, Perjanjian Iklim, perang di Suriah dan Ukraina, hubungan Transatlantik dan perang dagang dengan Cina. Kehadiran Trump diyakini akan banyak mengubah tatanan politik dunia di 2017.
Foto: Reuters/S. Stapleton
Pilkada DKI
Pada 15 Februari DKI Jakarta akan memilih gubernur baru. Serupa Pemilu 2014, Pilkada DKI banyak direcoki elit politik. Barisan konservatif kanan yang digalang Front Pembela Islam sejak awal berusaha memperluas pengaruh lewat aksi demonstrasi dan gugatan hukum terhadap calon gubernur, Basuki Tjahaja Purnama. Hasil pilkada diyakini bakal menjadi preseden buat wajah politik Indonesia di 2017
Foto: Reuters
Brexit
Perdana Menteri Inggris, Theresa May berjanji akan mengaktifkan artikel 50 yang mengawali negosiasi dua tahun untuk keluar dari Uni Eropa pada akhir Maret mendatang. Langkah tersebut diyakini bakal memicu reaksi pasar di seluruh dunia dan menempatkan Inggris dalam posisi pelik.
Foto: Sergey Elkin
Pemilu Kepresidenan di Perancis
Tahun 2017 akan menjadi tahun penentuan buat Uni Eropa menyusul pemilu di tiga negara terbesarnya. Perancis akan menggelar pemilu kepresidenan pada 23 April setelah Francois Hollande menolak mencalonkan diri. Pemilu kali ini bakal menjadi kesempatan politik terbesar buat kelompok anti Eropa yang digalang Front National.
Foto: AP
Referendum Turki
Sejak lama Recep Tayyip Erdogan mengimpikan jabatan eksekutif dengan kekuasaan tak berbagi. Untuk itu Partai AKP menggodok amandemen konstitusi yang akan menghapus jabatan perdana menteri dan menggabungkan kewenangannya pada jabatan presiden. Banyak yang menilai, referendum konstitusi pada April mendatang adalah kesempatan terakhir warga Turki buat mencegah kediktaturan Erdogan.
Foto: picture-alliance/Ap Photo/P. Karadjias
Pemilu Kepresidenan Iran
Kekuasaan Hassan Rouhani yang mewakili kelompok moderat Iran tidak selamanya berjalan mulus lantaran manuver kaum konservatif yang dibekingi Garda Revolusi dan elit politik lama. Di tengah ancaman Donald Trump untuk mengebiri perjanjian nuklir Iran, Rouhani menghadapi geliat kaum garis keras pada pemilu kepresidenan 19 Mai mendatang.
Foto: Behrouz Mehri/AFP/Getty Images
KTT G20 di Hamburg
Pertemuan puncak G20 pada 7 Juli mendatang akan menghadirkan konstelasi baru elit politik dunia. Selain Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga akan bertemu dalam satu meja. Tuan rumah Angela Merkel dipastikan akan sibuk menjamu daftar undangan tersebut.
Foto: Polizei Hamburg
Pemilu Jerman
Kepada Angela Merkel Uni Eropa berharap. Sejak lama kanselir Jerman itu menjadi jaminan persatuan Uni Eropa, entah itu di tengah krisis keuangan atau tsunami pengungsi. Menyusul Brexit dan pemilu di Perancis, pemilihan umum pada 27 Agustus dan 22 Oktober mendatang adalah etape terpenting buat Merkel untuk menyelamatkan masa depan Uni Eropa.
Foto: picture-alliance/dpa/M.Kappeler
Kongres Partai Komunis Cina
Pada musim gugur Partai Komunis Cina akan menggelar kongres nasional yang ke19. Kongres kali ini dinilai penting karena diadakan buat menentukan jajaran petinggi Partai Komunis, mulai dari posisi sekretaris jendral hingga Komite Tetap Politbiro yang sangat berkuasa. Komposisi baru petinggi PKC akan mengindikasikan arah kebijakan politik Beijing dalam isu Taiwan dan Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters
10 foto1 | 10
Lalu, bagaimana sebaiknya pendukung pihak yang menang bersikap? Setelah larut dalam euforia kemenangan, setelah meme-meme bernuansa olok-olok terhadap pihak yang kalah dipasang dengan suka cita di dinding Facebook dan meraih ratusan komentar, ada baiknya mencoba berempati dengan mereka yang kalah. Pasalnya, dalam politik kekecewaan itu adalah keniscayaan. Kandidat yang dielu-elukan saat kampanye dan didukung mati-matian pada titik tertentu akan mengecewakan kita, entah dengan mengingkari janji-janji politik semasa kampanye, atau dengan terlalu banyak berkompromi. Belum lagi kekuasaan memiliki dinamika tinggi: pihak yang menang sangat mungkin pada periode berikutnya akan kalah.
Kekalahan memang berasa amat pahit, apalagi setelah merasakan kemenangan berkali-kali. Seperti yang saya alami. Dua kali mendukung Barack Obama saat pilpres Amerika Serikat, dua kali pula ia menang. Demikian juga saat pemilihan presiden di tanah air, saat saya dengan bangga memasang foto profil Facebook berhias angka 2 sebagai tanda dukungan pada Jokowi dan Jusuf Kalla. Apalagi kemenangan itu ditambah paket lengkap Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta, menggantikan Jokowi yang naik menjadi presiden. Saat Hillary Clinton kalah dari Donald Trump, barulah saya mencicipi kekalahan yang menyesakkan. Namun pada saat yang bersamaan, muncul empati pada mereka yang kalah: pendukung militan Prabowo Subianto. Hingga tak sadar saya pun berucap, "Begini toh rasanya jadi pendukung Prabowo saat kalah lawan Jokowi. Duh, sakitnya. Jangan-jangan nanti saya juga terkena sindrom ‘gagal move on'... " Pemilu dan pilkada di Indonesia akan selalu datang kembali. Bagi para pendukung salah satu kandidat dalam pemilu akan lewati tahapan seperti yang diungkap Kubler-Ross—ketika jagoannya kalah. Namun harus segera bangkit dari ‘gagal move on‘ untuk kepentingan bersama.
Penulis:
Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
@sheknowshoney
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Delapan Warisan Politik Barack Obama
Setelah menjabat selama dua periode Presiden Obama bakal lengser Januari 2017. Inilah sejumlah pencapaian yang berhasil dibukukan presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat tersebut.
Foto: dapd
Jaminan Kesehatan Untuk Semua
Dengan membidani kelahiran asuransi kesehatan terjangkau, Barack Obama tidak cuma menjamin akses layanan medis bagi belasan juta penduduk miskin AS, tetapi juga mengakhiri presepsi lama, bahwa ongkos pengobatan bisa membuat seseorang jatuh bangkrut. Sebelumnya AS dikenal memiliki sistem jaminan kesehatan paling mahal dan paling timpang sedunia.
Foto: Reuters/Lucy Nicholson
Perlindungan Iklim
Adalah pertemuan antara Barack Obama dan Presiden Cina, Xi Jinping, yang melahirkan kesepakatan iklim bilateral antara dua produsen gas rumah kaca terbesar di dunia dan kemudian membuka jalan bagi tercapainya Perjanjian Iklim Paris. Sejak itu AS tidak hanya menyokong industri energi terbarukan, tetapi juga membatasi jejak karbon perusahaan-perusahaan di dalam negeri
Foto: Reuters/K. Lamarque
Eliminasi Osama bin Laden
Tanggal 1 May 2011 Presiden Obama memerintahkan penyerbuan terhadap rumah persembunyian milik Al-Qaida di Abbottabad, Pakistan. Dengan disaksikan secara langsung dari Gedung Putih (antara lain oleh Menteri Luar Negeri Hillary Clinton), pasukan khusus AS membunuh gembong teror nomer wahid, Osama bin Laden.
Foto: The White House/Pete Souza/Getty Images
Legalisasi Cinta
Gedung Putih berpendar cahaya pelangi setelah Mahkamah Agung AS melegalisasi pernikahan sesama jenis Januari silam. "Kini kita berhasil menjamin kebebasan di semua negara bagian untuk menikahi siapapun yang kita cintai," kata Obama. Putusan yang didukung lima dari sembilan hakim itu tercapai setelah sang presiden sebelumnya menempatkan dua hakim liberal di Mahkamah Agung.
Foto: Reuters/G. Cameron
Normalisasi Hubungan dengan Kuba
Setelah bermusuhan selama lebih dari 50 tahun, Amerika Serikat dan Kuba akhirnya sepakat menormalisasi hubungan kedua negara. Untuk itu Presiden Barack Obama mencabut embargo ekonomi terhadap negara kepulauan tersebut. Proses negosiasi yang berlangsung selama bertahun-tahun dilakukan secara rahasia di Vatikan dan Kanada, dengan melibatkan Paus Fransiskus.
Foto: Reuters/C. Barria
Kebangkitan Ekonomi
Perekonomian AS sedang terpuruk dalam resesi ketika Barack Obama dilantik menjadi presiden 2009 silam. Sejak tahun-tahun kegelapan tersebut, sektor swasta telah menciptakan dua juta lapangan kerja baru. Dampak terbesar program ekonomi Obama paling terasa pada industri otomotif AS yang sempat nyaris gulung tikar dan kini mengalami pertumbuhan pesat
Foto: Imago/UPI Photo
Perang Afghanistan dan Irak
Adalah Obama yang mengakhiri petualangan militer AS di Irak dan Afghanistan dengan menarik lebih dari 200.000 serdadu. Meski resmi berakhir, misi militer AS di kedua negara masih berlangsung hingga kini, meski dengan skala yang lebih kecil. Di kedua negara militer AS tetap aktif sebagai konsultan keamanan.
Foto: picture-alliance/dpa/U.S. Army Pfc. Andrya Hill
Perjanjian Nuklir Iran
Setelah ketegangan selama lebih dari satu dekade yang diwarnai oleh aksi boikot dan embargo, Iran akhirnya sepakat menandatangani perjanjian nuklir dengan AS dan lima negara lain. Intinya Teheran berjanji mengembangkan teknologi nuklir hanya untuk tujuan damai. Sebagai gantinya AS mencabut berbagai embarko ekonomi terhadap Iran.