1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gambaran Klise Muslim di Jerman

Klaudia Prevezanos26 April 2013

Warga Muslim sering ditampilkan negatif di media-media Jerman. Benarkah demikian? Peneliti media menunjukkan, bahwa sejak aksi teror 11 September 2001, ada perkembangan ini.

Muslimische Frauen verfolgen am 30.10.2012 eine Feierstunde in der Westfälischen Wilhelms-Universität in Münster (Nordrhein-Westfalen) anlässlich der Eröffnung des Zentrums für Islamische Theologie. Foto: Rolf Vennenbernd/dpa
Muslime in DeutschlandFoto: picture-alliance/dpa

Mulai dari pembunuhan para penjual kebab atau di Jerman dikenal sebagai "pembunuhan Döner" sampai "Mafia Turki". Bertahun-tahun media Jerman memakai istilah itu untuk pemberitaan rangkaian pembunuhan 9 warga imigran Turki dan seorang warga keturunan Yunani, serta serangan pemboman di kawasan niaga yang mayortas pedagangnya warga migran dalam kurun waktu hampir satu dekade.

Dalam buku "Tanah Air yang Menyakitkan" Semiya Simsek, putri korban pembunuhan pertama sel teror neonazi NSU melukiskannya sebagai "tidak menghormati, sinis dan rasistis." Kini untuk pertama kalinya semua melihat bahwa itu hal rasistis, tapi dulu tidak begitu," kata Simsek kepada DW terkait sikap media Jerman.

Baru November 2011 terungkap bahwa pelaku serial pembunuhan selama satu dekade itu adalah kelompok radikal kanan NSU, dengan motif kebencian terhadap warga asing. Juga terkuak kegagalan aparat keamanan, penyidik dan dinas rahasia terkait sel teror neonazi tersebut.

Dewan Peneliti Yayasan Jerman untuk Integrasi dan Migrasi SVR Maret 2013 mempublikasikan studi, jajak pendapat dari musim panas 2011 dengan menanyai 9200 responden. Hasilnya 74 persen responden berlatar belakang migran dan hampir 71 persen tanpa latar belakang migran menjawab, pemaparan muslim di media Jerman "cenderung negatif" atau "terlalu negatif". Di antara responden muslim, bahkan lebih dari 82 persen berpendapat demikian, lapor SVR.

Simbol Gambar Media dan Islam di JermanFoto: picture-alliance/ dpa

Menurut Aiman Mazyek ketua Dewan Pusat Muslim di Jerman (ZMD), salah satu dari 4 perhimpunan muslim terpenting di Jerman, terutama setelah peristiwa 11 September sering ada kecurigaan umum terhadap warga muslim dan laporan negatif tentang muslim makin meningkat.

"Karena dalam diskusi publik dan di media sering tidak ada pembatasan antara ekstremisme dan Islam," tukas Mazyek. Dalam serangan teror 11 September 2001 yang dilancarkan ekstremis Islam ke Amerika Serikat, lebih dari 3000 orang tewas.

Gambaran Islam di MediaFoto: Ulrike Hummel

Gambaran Klise

Menurut Badan untuk Migrasi dan Pengungsi, di Jerman ada lebih dari 4 juta warga muslim, atau sekitar 4 persen populasi. Dipertanyakan, apakah perempuan berjilbab dan pria berpandangan ketus dengan jambang lebat adalah gambaran klise warga muslim di Jerman?

"Riset media menunjukkan bahwa muslim dalam pemaparan media menjadi simbol orang yang berbeda. Dan perempuan berjilbab adalah stereotip warga muslim, tapi juga secara umum untuk warga non kristen, non barat, yang tidak termasuk dalam kultur nasional," demikian Margreth Lünenborg, peneliti media untuk tema media dan migrasi di FU Berlin.

Memang jurnalisme harus menyederhanakan dan tidak bisa menampilkan seluruh aspek kehidupan. Tapi dalam hal muslim di media Jerman, itu bermasalah, dimana pemaparan mereka selalu bersifat stereotip. "Fakta dalam media menyodorkan gambaran yang amat dikurangi dari kehidupan warga muslim di Jerman. Kebanyakan berupa masalah dan hal yang mengandung konflik. Dan hanya sesekali cerita sukses," ujar Lünenborg.

Vorschau Integrationsgipfel der BundesregierungFoto: dapd

Mazyek mengamati, jurnalis kini tahu lebih banyak tentang Islam dibanding 20 tahun lalu. "Ada peningkatan kualitas pemberitaan dan itu tentu positif, jika kini di media melaporkan selebritis terkait bulan Ramadan". tambah dia.

Juga pemberitaan tema-tema terkait Islam meningkat. Tapi ia masih melihat masalah kurangnya pembatasan. "Kecurigaan ekstremisme terhadap Islam dan dengan begitu terhadap warga muslim masih terlalu banyak dalam laporan media Jerman."

Di Amerika Serikat atau Inggris ada pembedaan tegas dalam pemberitaan tentang Islam dan radikalisme Islam, karena di sana penduduk muslimnya kebanyakan berpendidikan tinggi. Berbeda dengan di Jerman atau Perancis, yang mayoritas muslimnya berasal dari keluarga berpendidikan kurang.

Lünenborg yang dalam studinya banyak mewawancarai para migran, tahu persis bahwa banyak warga muslim ingin menjadi bagian kehidupan sehari-hari di Jerman, dan juga eksis di media. Tapi keragaman dalam keseharian Jerman hanya dapat terwujud, jika keragaman ini juga ada dalam jajaran redaksi media. Realitanya, hingga kini di antara jurnalis Jerman, kuota yang berlatar belakang migran kurang 5 persen.