Garuda Jaya Sang Idola
13 November 2013Mickey Knox dan Mallory Knox adalah duo maut yang secara harfiah kerap membawa maut. Mereka selalu datang dengan kekerasan. Keduanya adalah potret kacau balau kelompok sosial tertentu di Amerika Serikat atau lebih besar lagi di dunia.
Mallory tak jarang diperkosa oleh ayahnya sendiri setelah melihat sang ibu dihantam kepalanya dengan kepalan tangan sang ayah. Mickey sering diancam dengan belati terhunus di leher oleh ayahnya yang pemabuk, dan sang ibu juga kerap mabuk di rumah. Mereka adalah gambaran orang-orang yang ditaklukkan oleh situasi keluarga mereka. Terbentuk menjadi sosok-sosok penuh trauma dan luka yang kemudian melampiaskannya pada sekelilingnya di saat mereka dewasa…
Wayne Gale adalah jurnalis tanggung yang tengah berusaha mewujudkan impian populernya di dunia media. Dengan cerdik ia membawa Mickey dan Mallory yang sebenarnya hanyalah bagian kecil dari potret kerusakan masyarakat, ke dalam media yang ia “kuasai” yaitu televisi. Maka jadilah Mickey dan Mallory Knox pasangan terpanas yang disajikan media, yang terus memenuhi layar kaca.
Ketiga tokoh ini mendominasi film Natural Born Killers (1994) karya Oliver Stone. Woody Harrelson adalah Mickey Knox, Juliette Lewis adalah Mallory Knox dan Wayne Gale adalah Robert Downey Jr. Mereka memang tidak nyata, tapi apa yang terjadi di dunia mereka adalah nyata, betapa media memiliki peran luar biasa dalam pembentukan opini.
Setelah menyajikan kekejaman dan kekerasan secara vulgar dari Mickey dan Mallory, paruh kedua film menyajikan bagaimana Wayne membawa pemirsa televisi untuk melihat “lebih dalam” kehidupan kedua orang ini.
Maka alih-alih merasa jijik pada apa yang mereka lakukan, pemirsa justru bersimpati dan kemudian “mendukung” apa yang dilakukan oleh kedua pelaku kejahatan itu. Masyarakat berpihak, karena media memberikan perspektif pada mereka bahwa “Everything happen for a reason,” dan walau reason itu tetap bukanlah sebuah pembenaran yang shahih, namun masyarakat telah diberi opsi perspektif dan telah memberi nilai dengan cara mereka sendiri.
Hampir 20 tahun setelah film itu saya melihat bagaimana media kita memuja sekelompok anak-anak Indonesia yang sedang berusaha menapaki karir mereka di tangga paling bawah upaya menuju kesuksesan. Anak-anak yang jika ditapaki lagi pada apa yang pernah terjadi di dunia Sepakbola kita sebenarnya belum melakukan apa-apa. Mencapai putaran final AFC kelompok umur di bawah 19 tahun terakhir kita capai di generasi Boaz Solossa di tahun 2004. Situasi yang praktis belum lama dan bahkan hari ini praktis hanya nama Boaz saja yang hari ini masih kita tahu sebagai pemain aktif.
Media lalu akan menyebut “Di usia junior pemain kita adalah raja, namun melewati 20 tahun mental mereka telah terkontaminasi,” pendapat yang lalu diamini oleh warga Indonesia lainnya yang seolah tak tahu bahwa di belahan dunia manapun seorang pemain berusia di bawah 19 tahun lazimnya akan mengisi tim kelas usia tersebut dan berkompetisi di level klub di usia bersangkutan. Hanya ada satu-dua pemain luar biasa macam Lionel Messi, CR7 atau beberapa nama lainnya saja yang mampu mentas di level senior pada usia sangat muda.
Kita tak punya kompetisi U19 tahun level klub “Bahkan para pemain itu saja disebut datang dari kota asal, bukan dari klub seperti para pemain U17 Nigeria,” tulis sebuah akun twitter saat final Piala Dunia U17 Nigeria vs Meksiko tengah berlangsung. Media kita secara berjamaah bahkan seolah membenarkan cara mencari pemain muda yang benar adalah dengan blusukan ke kampung-kampung dan pedalaman….padahal cara ini dilakukan oleh Indra Sjafri karena negeri ini tak punya kompetisi usia muda yang bisa ia pantau.
Di situasi seperti inilah remaja-remaja yang mungkin masih perjaka itu diangkat tinggi bagai orang yang sudah mampu membawa negaranya ke Piala Dunia beneran….yaitu Piala Dunia yang 4 tahun sekali kita elu-elukan di televisi itu. Anak-anak ini dilontarkan oleh media jauh keatas dan dirangkul tinggi oleh masyarakat bagai selebriti sembari menggaruk lebih dalam lagi kehidupan pribadi mereka sampai ke rahasia mereka saat tidur. Sang Sutradara tim kerap muncul di media memaparkan “rahasia-rahasia” suksesnya membawa tim ini menuju Piala Asia U19 seolah kita telah mampu menaklukkan tim mapan berulang kali di ajang resmi, di tempat yang netral.
Media—dan lalu kita—bagai terhipnotis dan lupa bahwa Piala AFF U19 2013 adalah kali pertama yang dijalankan dengan format standar Asia Tenggara setelah berulang kali dicobakan dengan menghadirkan tim tamu macam Australia atau justru hanya diikuti oleh 4 negara peserta. Pencapaian yang sebenarnya belum luar biasa ini telah “diganjar” media dengan undangan bertubi-tubi pada tim U19 terutama para pembesutnya, lengkap dengan harapan besar agar pelatih Indra Sjafri mau menjadi sosok Menteri Pemuda dan Olahraga.
Saya jelas tak menampik jika tim berjulukan serupa dengan nama sasana tinju Garuda Jaya ini memang bermain prima, punya jumlah passing luar biasa serta berfisik sungguh baik. Tapi saya minta masyarakat dan media mengingat bahwa lolos ke turnamen Piala Asia U19 hanyalah sebuah awal dan para lawan masih punya waktu sekitar satu tahun untuk mematangkan pemain mereka di kompetisi level usia muda—19 tahun—milik mereka, sementara kita……anak-anak muda harapan masa depan Sepakbola Indonesia itu saat ini tak akan berkompetisi resmi setidaknya untuk dua musim, bukan karena mereka tak layak…tapi karena Sepakbola kita memang tak mengenal kompetisi level klub di kelompok Usia 19 tahun dan terus ke yang lebih muda. Padahal, itulah dasar prestasi Sepakbola sebuah negara.
Percayalah…siapapun nama bintang yang Anda sebut, mereka adalah hasil pembinaan kompetisi usia muda. Jalan pun masih panjang dan masih terjal, karena arena sebenarnya adalah saat anak-anak ini matang di usianya dan kemudian membawa negeri ini ke Piala Dunia sesungguhnya…yang 4 tahunan yang kita tonton di televisi dengan gegap gempita itu.
Andibachtiar Yusuf
@andibachtiar
Filmmaker & Football Reverend