Gebrakan dalam Kebuntuan Politik Belgia
15 September 2011Setelah 459 hari tanpa pemerintahan, mediator yang menengahi perundingan pembentukan pemerintahan koalisi partai-partai politik utama Belgia mengumumkan kemajuan besar, tengah malam menjelang Kamis (15/09).
"Delapan partai bersama mengatasi rintangan yang ada," kata pemimpin Partai Sosialis Elio Di Rupo yang berbahasa Perancis.
Salah satu rintangan utama adalah menentukan batasan distrik pemilihan di ibukota Brussel dan sekitarnya yang menggunakan dua bahasa, Belanda dan Perancis. Masalah itu telah lama menjadi sumber perpecahan politisi berbahasa Belanda dan Perancis selama sepuluh tahun terakhir ini. Usai berunding selama sepuluh jam, para pemimpin delapan partai politik utama Belgia tersebut mengumumkan kesepakatannya.
"Ini merupakan prestasi terbesar dalam menyelesaikan masalah politik Belgia yang sudah berlangsung sepuluh tahun terakhir ini dan delapan partai berhasil menyelesaikannya," ujar Alexander De Croo, pemimpin Partai Liberal Flandria yang berbahasa Belanda.
Berbulan-Bulan Menghadapi Jalan Buntu
Sehari sebelumnya Di Rupo menggambarkan perundingan mengalami "jalan buntu". Ia dititah Raja Albert II untuk mengatasi secepat mungkin perseteruan politik di Belgia.
Walau pun kini terjadi kemajuan besar, diperlukan beberapa minggu lagi hingga pemerintahan yang baru terbentuk. Belgia mengalami kebuntuan politik sejak pemilihan parlemen yang digelar Juni 2010, yakni gagal mencapai mayoritas. Dalam pernyataan bersama, partai-partai politik sepakat bahwa perundingan mengenai isu lain seperti kebijakan ekonomi dan politik dilanjutkan Kamis (15/09).
Saat ini Belgia dipimpin oleh pemerintahan ad interim yang dipimpin Yves Leterme. Ia mengumumkan pengunduran dirinya Selasa lalu (13/09). Alasannya, akhir tahun 2011 Leterme akan menerima posisi di Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).
Kekacauan politik di Belgia berpengaruh buruk pada kredibilitas negara itu. Tidak adanya pemerintah yang berfungsi di Belgi berarti negara itu tidak mampu melakukan reformasi dalam menangani utang negara.
Catherine Bolsover/rtr/ap/afp/Luky Setyarini
Editor: Edith Koesoemawiria