Kosakata 'gebuk' kembali terdengar, ketika Jokowi mengucapkannya baru-baru ini. Di masa Orde Baru kata gebuk juga sempat membahana. Déjà-vu? Simak opini Aris Santoso.
Iklan
Selalu ada yang linier dalam sejarah. Kosakata gebuk (pukulan sangat keras) kembali terdengar, ketika Presiden Jokowi mengucapkannya baru-baru ini, sebagai peringatan pada pihak yang ingin mengganti ideologi Pancasila. Di masa Orde Baru kata gebuk juga sempat membahana, sebagai cara mantan Presiden Soeharto untuk meredam lawan-lawan politiknya.
Soeharto dulu mengeluarkan kata tersebut, sebagai respons langsung atas perlawanan warga sekitar proyek Wadung Kedungombo (Jateng), pada awal 1990-an. Warga setempat memprotes pembangunan waduk, dengan cara tetap bertahan di lokasi proyek, sementara waduk akan segera digenangi. Pada kesempatan yang sama, Soeharto juga mengeluarkan kosakata (jawa) lain yaitu mbalelo (membangkang).
Jadi dua kata tersebut, gebuk dan mbalelo, digunakan dalam satu tarikan nafas. Mengingat warga Kedungombo mbalelo, maka perlu dikeluarkan jurus berikutnya yaitu gebuk. Seperti halnya dalam tradisi politik elite kita, yang penuh simbol, makna dua kosakata itu juga bersayap. Warga Kedungombo hanya dijadikan dalih guna meluncurkan dua kata bernada ancaman tersebut, sebagai media pembawa pesan pada pihak lain, yang di mata Soeharto lebih berbahaya.
Apa yang dilakukan Jokowi juga mirip, selain ditujukan kepada kelompok yang kurang menghargai pluralisme, kata gebuk itu dimaksudkan sebagai sinyal pada pihak – yang dengan berbagai cara – ingin melengserkannya. Sudah menjadi cerita umum di Jakarta, bahwa upaya "kudeta senyap” terhadap Jokowi terus berjalan. Kita sebagai warga biasa tetap bisa tenang, Jokowi mengeluarkan kata itu sebagai upaya pembelaan diri, berbeda dengan Soeharto yang pada dasarnya memang otoriter. Dalam amatan saya, Jokowi tidak memiliki bakat otoriter.
Tujuh Fakta Syariah Islam di Aceh
Sejak diterapkan lebih dari satu dekade silam Syariah Islam di Aceh banyak menuai kontroversi. Hukum agama di Serambi Mekkah itu sering dikeluhkan lebih merugikan kaum perempuan. Benarkah?
Foto: AP
Bingkisan dari Jakarta
Pintu bagi penerapan Syariah Islam di Aceh pertamakali dibuka oleh bekas Presiden Abdurrachman Wahid melalui UU No. 44 Tahun 1999. Dengan cara itu Jakarta berharap bisa mengikis keinginan merdeka penduduk lokal setelah perang saudara berkepanjangan. Parlemen Aceh yang baru berdiri tidak punya pilihan selain menerima hukum Syariah karena takut dituding anti Islam.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Kocek Tebal Pendakwah Syariah
Anggaran penerapan Syariah Islam di Aceh ditetapkan sebesar 5% pada Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA). Nilainya mencapai hampir 700 milyar Rupiah. Meski begitu Dinas Syariat Islam Aceh setiap tahun mengaku kekurangan uang dan meminta tambahan anggaran. DSI terutama berfungsi sebagai lembaga dakwah dan penguatan Aqidah.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Polisi Agama di Ruang Publik
Sebanyak 22 milyar Rupiah mengalir ke lembaga polisi Syariah alias Wilayatul Hisbah. Lembaga yang berwenang memaksakan qanun Islam itu kini beranggotakan 1280 orang. Tugas mereka antara lain melakukan razia di ruang-ruang publik. Tapi tidak jarang aparat WH dituding melakukan tindak kekerasan dan setidaknya dalam satu kasus bahkan pemerkosaan.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Kenakalan Berbalas Cambuk
Menurut Dinas Syariat Islam, pelanggaran terbanyak Syariah Islam adalah menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 dan No. 14 Tahun 2003. Kedua qanun tersebut mengatur tata cara berbusana dan larangan perbuatan mesum. Kebanyakan pelaku adalah kaum remaja yang tertangkap sedang berpacaran atau tidak mengenakan jilbab. Untuk itu mereka bisa dikenakan hukuman cambuk, bahkan terhadap bocah di bawah umur
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Cacat Hukum Serambi
Kelompok HAM mengritik penerapan hukum Islam di Aceh tidak berimbang. Perempuan korban perkosaan misalnya harus melibatkan empat saksi laki-laki untuk mendukung dakwaannya. Ironisnya, jika gagal menghadirkan jumlah saksi yang cukup, korban malah terancam dikenakan hukuman cambuk dengan dalih perbuatan mesum. Adapun terduga pelaku diproses seusai hukum pidana Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin
Petaka buat Perempuan?
Perempuan termasuk kelompok masyarakat yang paling sering dibidik oleh Syariah Islam di Aceh. Temuan tersebut dikeluhkan 2013 silam oleh belasan LSM perempuan. Aturan berbusana misalnya lebih banyak menyangkut pakaian perempuan ketimbang laki-laki. Selain itu penerapan Syariat dinilai malah berkontribusi dalam sekitar 26% kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik.
Foto: picture-alliance/epa/N. Afrida
Pengadilan Jalanan
Ajakan pemerintah Aceh kepada penduduk untuk ikut melaksanakan Syariah Islam justru menjadi bumerang. Berbagai kasus mencatat tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap tersangka pelanggar Qanun. Dalam banyak kasus, korban disiram air comberan, dipukul atau diarak tanpa busana. Jumlah pelanggaran semacam itu setiap tahun mencapai puluhan, menurut catatan KontraS
Foto: AP
7 foto1 | 7
Presiden Sehari
Bagi komunitas politik di Jakarta, isu upaya melengserkan Jokowi berhembus demikian kencangnya, sebagaimana tergambar dalam media sosial. Memang teks dalam media sosial acapkali berlebihan (hoax), namun itu sudah cukup menjelaskan, bahwa memang tekanan pada Jokowi. Dan bagi yang sempat terjun ke lapangan, konflik elite di Jakarta bisa disaksikan secara kasat mata. Saya tidak akan menjelaskan gerakan itu secara detail, namun secara singkat bisa disebutkan, inilah sumber ketidaknyamanan kehidupan masyarakat akhir-akhir ini.
Pilkada Jakarta sudah cukup memberi pelajaran, bagaimana politik SARA dieksploitasi sedemikian rupa, demi ambisi kekuasaan sebagian kecil elite. Residu sosial sebagai dampak pertarungan di pilkada itu masih terasa sampai hari ini, meskipun calon gubernur (baru) sudah siap dilantik. Bagi orang kebanyakan, ambisi para elite seolah sudah di luar nalar, sebegitu menarikkah kekuasaan, sehingga seseorang tega merekayasa konflik berlarut di antara rakyat, bahkan dengan kerabatnya sendiri.
Metafora paling pas untuk menggambarkan perilaku elite pemburu kekuasaan adalah "Raja Sehari” yang biasa kita lihat dalam panggung kesenian tradisional, seperti ketoprak atau lenong. Kini muncul fenomena menjadi "Presiden Sehari”, maksudnya yang penting bisa menjadi presiden, meskipun hanya sehari. Meskipun hanya sehari atau sesaat, namun sudah bisa tercatat dalam sejarah, kira-kira begitulah angan-angan para elite pemburu kekuasaan tersebut.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Narasi di atas merupakan konteks yang menjadi latar belakang, mengapa Jokowi terpaksa harus mengeluarkan jurus pamungkas. Dalam bacaan saya, penggunaan gebuk merupakan cara Jokowi mendorong revolusi mental, yang dia dengungkan saat kampanye menjelang Pilpres 2014 dulu. Tentu Jokowi paham, soal kecenderungan masyarakat kita, khususnya bagi elite yang sangat menyanjung kekuasaan. Fenomena ini memunculkan dua perilaku antara atasan dan bawahan yang saling melengkapi: atasannya cenderung megalomania, sementara bawahannya bermental "cecunguk” (inferior syndrome).
Jokowi sudah sampai pada batas kesabarannya. Tidak ada pilihan lain, mungkin inilah momentum untuk meluncurkan kalimat keras, mengingat tenggat waktu Jokowi selaku Presiden sudah semakin dekat.
Unsur Penyangga
Gebrakan Jokowi melalui kosa kata gebuk, ada pada tataran gagasan, yang harus memiliki pijakan di lapangan. Dalam hal ini Jokowi bisa tenang, di segala sektor masyarakat selalu ada dukungan. Jokowi masih populer di mata rakyat, yang biasa diistilahkan sebagai mayoritas diam. Termasuk dari partai politik pendukung.
Dari parpol pendukung, justru Partai Golkar terlihat lebih proaktif ketimbang PDIP, partai dari mana Jokowi dibesarkan, terlepas apa motivasi Golkar di balik itu. Sementara PDIP acapkali terlambat mengantisipasi perkembangan isu mutakhir, seperti munculnya radikalisme dan maraknya gerakan intoleran. Ketika gerakan radikalisme sudah mulai mengancam posisi Jokowi, PDIP justru seolah "mati angin”. Kekalahan telak pasangan Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta baru-baru ini, juga bagian dari lemahnya unsur PDIP dalam membaca dinamika di lapangan.
Kekuatan penyangga lain yang patut disebut adalah Korps Marinir, satuan yang sejak lama dikenal apolitis, selain loyalitas penuh pada pimpinan negara. Korps Marinir memiliki hubungan historis dengan Bung Karno, sementara Jokowi bisa disebut "anak ideologis” Bung Karno. Hanya terjadi di masa pemerintahan Megawati (2001-2004) dan Jokowi, Komandan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) dua kali secara berturut-turut dipegang perwira yang berasal dari Korps Marinir.
Sejak awal sebenarnya saya khawatir, mirip dengan saat Soeharto mengeluarkan kata gebuk dulu, bahwa itu lebih ditujukan pada pihak atau figur yang mulai menentangnya, yang sebelumnya dianggap sangat dekat, seperti Jenderal Benny Moerdani. Demikian juga yang dilakukan Jokowi sekarang, pesan itu justru untuk orang-orang di lingkaran Istana sendiri, dan siapa figur yang dimaksud, baru akan kita ketahui kelak di kemudian hari.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.