1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikBelanda

Geert Wilders Bertaruh Ingin Jadi Perdana Menteri Belanda

5 Juni 2025

Langkah politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders membubarkan pemerintahan dinilai sebagai manuver berisiko tinggi, karena bisa mengantarnya menuju kursi perdana menteri, atau jadi bumerang politik.

Ketua Umum PVV Geert Wilders
Ketua Umum PVV Geert WildersFoto: Piroschka Van De Wouw/REUTERS

Politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders kembali menjadi buah bibir. Akibat aksinya membubarkan koalisi pemerintahan, warga harus bersiap kembali ke tempat pemungutan suara untuk pemilu baru sebelum akhir tahun ini. Robohnya koalisi pemerintahan di Den Haag dipicu akibat perselisihan tajam dengan partai PVV pimpinan Wilders mengenai kebijakan migrasi.

Dengan menarik menterinya dari koalisi empat partai itu, Wilders dinilai mengguncang stabilitas politik nasional dan menyeret Belanda ke dalam ketidakpastian politik selama berbulan-bulan. Tujuannya tak lain dan tak bukan: "Saya berniat menjadi perdana menteri berikutnya," tegas Wilders.

Untuk sementara, Perdana Menteri Dick Schoof akan memimpin pemerintahan transisi di Den Haag sampai pemilu digelar. Para pakar memperkirakan pemungutan suara kemungkinan besar tak akan dilakukan sebelum bulan Oktober.

Kini, pertanyaan besarnya adalah, mampukah Wilders meraih puncak kekuasaan sebagai perdana menteri? Atau justru dia malah kehilangan pesona di mata pemilih?

"Itulah pertanyaan yang bernilai sejuta dolar,” kata Armida van Rij, peneliti senior di Chatham House untuk program Eropa, kepada DW.

Dalam sistem politik Belanda yang terbiasa dengan pemerintahan koalisi multipartai, keberhasilan politik tak hanya bergantung pada dukungan publik, tapi juga kemampuan membangun aliansi.

Dicap lari dari tanggung jawab?

Wilders pertama kali duduk di parlemen pada 1998, dan selama lebih dari satu dekade, dia berada di luar politik arus utama. Namun dukungan publik yang meningkat drastis membuat partainya ikut menopang pemerintahan Mark Rutte pada 2010, sebelum menarik dukungan pada 2012.

Rekam jejak itu kini membuatnya dicap sebagai politisi yang gemar angkat kaki saat keadaan menjadi sulit.

"Semua ini memperburuk citra Wilders,” ujar Adriaan Schout, peneliti senior di lembaga pemikir Clingendael yang berbasis di Belanda. "Dulu dia sudah meninggalkan pemerintahan Rutte pada 2012 karena menolak kebijakan penghematan, dan kini dia ulangi pola yang sama. Publik melihat ini sebagai bentuk tidak bertanggung jawab.”

Meski begitu, saat ini PVV memegang kursi terbanyak di parlemen (37 dari 150) setelah hasil mengejutkan dalam pemilu 2023. Walaupun popularitas mereka sempat turun sejak bergabung dalam koalisi, jajak pendapat masih menempatkan PVV sebagai partai terbesar jika pemilu digelar sekarang.

"Pemilih mungkin justru akan menghadiahi Wilders, meskipun dia yang membubarkan pemerintahan, karena mereka kecewa dengan lambannya perubahan dalam kebijakan migrasi,” kata Pieter Cleppe, Pemimpin Redaksi BrusselsReport.eu, sebuah majalah politik Uni Eropa yang berhaluan kanan.

"Kalaupun nanti dibentuk pemerintahan tanpa Wilders, bisa jadi partai-partai lain tetap harus mengadopsi sebagian agenda anti-imigrasinya,” tambah Cleppe.

Namun masih ada konflik dengan mantan mitra koalisi yang kini terang-terangan menyatakan kemarahan atas keruntuhan pemerintahan ini, jika Wilders menang dalam pemilu mendatang, partai-partai lain mungkin akan menolak bergabung dalam koalisi yang dipimpinnya, apalagi memberinya kursi perdana menteri.

Dukungan bagi Populis Kanan Naik Pesat, Akankah Haluan Politik UE Berubah?

00:59

This browser does not support the video element.

Usulan suaka paling ketat di Eropa

Kisruh soal migrasi mencapai puncaknya ketika Wilders meluncurkan "rencana 10 poin" soal suaka yang disebut-sebut sebagai salah satu usulan paling ekstrem di Eropa. Di antaranya: pengerahan militer di perbatasan nasional, penghentian total penyediaan tempat tinggal bagi pengungsi, penangguhan sementara reunifikasi keluarga bagi pencari suaka yang telah mendapat status perlindungan, serta pemulangan paksa pengungsi Suriah ke tanah air mereka meski ada risiko penganiayaan.

Penolakan mitra koalisi terhadap proposal tersebut langsung disambut dengan keluarnya para menteri PVV dari kabinet.

"Rencana itu sangat bermasalah karena melanggar sejumlah hukum Uni Eropa dan ketentuan hukum internasional, khususnya hak atas suaka,” ujar Davide Colombi, peneliti urusan hukum dan keadilan di Centre for European Policy Studies (CEPS).

Menurutnya, isu migrasi dan suaka kini sering dijadikan alat politik di Eropa. "Ada kecenderungan yang mengkhawatirkan untuk menormalisasi usulan kebijakan yang tidak sah, seolah-olah isu imigrasi berada di luar ranah hukum,” katanya kepada DW.

Retak sayap kanan Eropa

Kubu sayap kanan Eropa yang dulu tampak solid kini mulai terpecah, tapi bukan karena perbedaan ideologis, melainkan karena tekanan demokrasi.

Marine Le Pen di Prancis, misalnya, dilarang mencalonkan diri pada Pilpres 2027 karena dugaan penyelewengan dana Uni Eropa. Di Italia, pemerintahan Giorgia Meloni menghadapi tantangan besar karena kebijakan migrasinya diganjal oleh pengadilan dalam negeri.

"Di Swedia dan Denmark, kubu populis kanan berhasil memengaruhi kebijakan, tapi Belanda tidak punya tradisi pemerintahan minoritas,” jelas Cleppe. "Wilders seharusnya lebih siap menghadapi realitas pemerintahan dengan menarik tokoh-tokoh arus utama ke dalam gerakan politiknya.”

Kini kartu politik Belanda dikocok ulang. Bulan-bulan ke depan akan dipenuhi manuver dan negosiasi antarpartai—dan banyak di antaranya akan berusaha menghalangi Wilders mendekati kekuasaan.

Namun sejauh ini, Wilders tampak tetap percaya diri. Dia justru menggandakan kampanyenya dengan menjual agenda anti-imigrasi ke publik, alih-alih menempuh jalan kompromi atau membangun jembatan politik ke partai lain

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha

Editor: Agus Setiawan

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya