Langkah politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders membubarkan pemerintahan dinilai sebagai manuver berisiko tinggi, karena bisa mengantarnya menuju kursi perdana menteri, atau jadi bumerang politik.
Ketua Umum PVV Geert WildersFoto: Piroschka Van De Wouw/REUTERS
Iklan
Politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders kembali menjadi buah bibir. Akibat aksinya membubarkan koalisi pemerintahan, warga harus bersiap kembali ke tempat pemungutan suara untuk pemilu baru sebelum akhir tahun ini. Robohnya koalisi pemerintahan di Den Haag dipicu akibat perselisihan tajam dengan partai PVV pimpinan Wilders mengenai kebijakan migrasi.
Dengan menarik menterinya dari koalisi empat partai itu, Wilders dinilai mengguncang stabilitas politik nasional dan menyeret Belanda ke dalam ketidakpastian politik selama berbulan-bulan. Tujuannya tak lain dan tak bukan: "Saya berniat menjadi perdana menteri berikutnya," tegas Wilders.
Untuk sementara, Perdana Menteri Dick Schoof akan memimpin pemerintahan transisi di Den Haag sampai pemilu digelar. Para pakar memperkirakan pemungutan suara kemungkinan besar tak akan dilakukan sebelum bulan Oktober.
Kini, pertanyaan besarnya adalah, mampukah Wilders meraih puncak kekuasaan sebagai perdana menteri? Atau justru dia malah kehilangan pesona di mata pemilih?
"Itulah pertanyaan yang bernilai sejuta dolar,” kata Armida van Rij, peneliti senior di Chatham House untuk program Eropa, kepada DW.
Dalam sistem politik Belanda yang terbiasa dengan pemerintahan koalisi multipartai, keberhasilan politik tak hanya bergantung pada dukungan publik, tapi juga kemampuan membangun aliansi.
Seradikal Apa Ekstrem Kanan Eropa?
Perkembangan ekonomi yang terseok-seok, ketidakpuasan akan kebijakan Uni Eropa dan krisis imigran menyebabkan partai ekstrem kanan Eropa meraih sukses besar. Inilah para tokohnya serta politik mereka:
Foto: picture-alliance/dpa
Frauke Petry, Partai Alternative (Jerman)
Ketua Alternative für Deutschland AfD, Frauke Petry, menyarankan penjaga perbatasan menggunakan senjata terhadap pelintas perbatasan ilegal. AfD awalnya partai yang skeptis terhadap Uni Eropa. Sekarang mereka sudah menjadi kekuatan anti Eropa dan anti pemerintah. AfD berhasil meraih suara cukup besar dalam pemilu di sejumlah negara bagian Jerman Maret 2016.
Foto: Reuters/W. Rattay
Marine Le Pen, Front National (Perancis)
Banyak orang khawatir, bahwa Brexit dan kemenangan Donald Trump di AS bisa menjadi dorongan baru bagi partai ekstrem kanan Perancis, Front National. Partai itu didirikan 1972, dan kini dipimpin Marine Le Pen, yang 2011 mengambilalih kepemimpinan dari ayahnya, Jean-Marie Le Pen. Partai nasionalis ini menggunakan retorika populis untuk mendorong sikap anti imigran dan anti Uni Eropa.
Foto: Reuters
Geert Wilders, Partai Kebebasan (Belanda)
Pemimpin Partij voor de Vrijheid Belanda ini adalah salah satu politisi ektrem kanan paling penting di Eropa. Ia dinyatakan bersalah atas komentar penuh kebencian yang dilontarkan 2014 terhadap warga Maroko. Partainya dianggap anti UE dan anti Islam. Hadapi pemilu Maret 2017, jajak pendapat tunjukkan, partainya yang menduduki 15 kursi di majelis rendah, dapat dukungan besar.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Koning
Nikos Michaloliakos, Chrysi Avgi (Yunani)
Partai Golden Dawn adalah partai neo fasis Yunani. Pemimpinnya, Michaloliakos ditangkap September 2013 bersama sejumlah anggota lainnya, dan dituduh membentuk organisasi kriminal. Michaloliakos dibebaskan Juli 2015. Golden Dawn memenangkan 18 kursi dalam pemilu parlemen September 2016. Partai itu bersikap anti imigran dan mendukung kesepakatan dengan Rusia mengenai pertahanan.
Foto: Angelos Tzortzinis/AFP/Getty Images
Gabor Vona, Partai Jobbik (Hongaria)
Partai Jobbik yang anti imigrasi, anti LGBT, populis dan dukung proteksi ekonomi berusaha masuk dalam parlemen Hongaria tahun 2018. Sekarang mereka sudah jadi partai ketiga terbesar di Hongaria. Dalam pemilu terakhir tahun 2014, partai ini mendapat 20% suara. Partai inginkan referendum keanggotaan negara dalam Uni Eropa. Jobbik dipimpin Gabor Vona.
Foto: picture alliance/dpa
Jimmie Akesson, Sverigedemokraterna (Swedia)
Nama partainya berarti Demokrat Swedia. Setelah kemenangan Trump di AS Akesson menyatakan, di Eropa, seperti di AS, ada gerakan yang melawan "establishment" dan pandangan yang selama ini berlaku. Partai Demokrat Swedia menyerukan restriksi imigrasi, dan menentang keanggotaan Turki dalam UE juga menginginkan referendum keanggotaan Swedia dalam UE.
Foto: AP
Norbert Hofer, Freiheitliche Partei (Austria)
Hofer dari Partai Kebebasan FPÖ yang nosionalis hanya kalah 30.000 suara dalam pemilu presiden terakhir. Mantan pemimpin Partai Hijau, Alexander Van der Bellen mendapat 50,3% suara, sementara Hofer 49,7%. Pemimpin FPÖ itu menyerukan penguatan perbatasan Austria dan pembatasan sokongan finansial bagi imigran.
Foto: Reuters/L. Foeger
Marian Kotleba, ĽSNS (Slovakia)
Pemimpin partai ekstrem kanan, Partai Rakyat-Slovakia Milik Kita mengatakan, "Satu imigranpun sudah terlalu banyak." Dalam kesempatan lain ia menyebut NATO organisasi kriminal. Partai Slovakia ini ingin negaranya meninggalkan Uni Eropa dan zona mata uang Euro. Mereka menang 8% suara dalam pemilu Maret 2016, dan mendapat14 kursi dari total 150 mandat parlemen. (ml/as)
Foto: picture-alliance/dpa
8 foto1 | 8
Dicap lari dari tanggung jawab?
Wilders pertama kali duduk di parlemen pada 1998, dan selama lebih dari satu dekade, dia berada di luar politik arus utama. Namun dukungan publik yang meningkat drastis membuat partainya ikut menopang pemerintahan Mark Rutte pada 2010, sebelum menarik dukungan pada 2012.
Iklan
Rekam jejak itu kini membuatnya dicap sebagai politisi yang gemar angkat kaki saat keadaan menjadi sulit.
"Semua ini memperburuk citra Wilders,” ujar Adriaan Schout, peneliti senior di lembaga pemikir Clingendael yang berbasis di Belanda. "Dulu dia sudah meninggalkan pemerintahan Rutte pada 2012 karena menolak kebijakan penghematan, dan kini dia ulangi pola yang sama. Publik melihat ini sebagai bentuk tidak bertanggung jawab.”
Meski begitu, saat ini PVV memegang kursi terbanyak di parlemen (37 dari 150) setelah hasil mengejutkan dalam pemilu 2023. Walaupun popularitas mereka sempat turun sejak bergabung dalam koalisi, jajak pendapat masih menempatkan PVV sebagai partai terbesar jika pemilu digelar sekarang.
"Pemilih mungkin justru akan menghadiahi Wilders, meskipun dia yang membubarkan pemerintahan, karena mereka kecewa dengan lambannya perubahan dalam kebijakan migrasi,” kata Pieter Cleppe, Pemimpin Redaksi BrusselsReport.eu, sebuah majalah politik Uni Eropa yang berhaluan kanan.
"Kalaupun nanti dibentuk pemerintahan tanpa Wilders, bisa jadi partai-partai lain tetap harus mengadopsi sebagian agenda anti-imigrasinya,” tambah Cleppe.
Namun masih ada konflik dengan mantan mitra koalisi yang kini terang-terangan menyatakan kemarahan atas keruntuhan pemerintahan ini, jika Wilders menang dalam pemilu mendatang, partai-partai lain mungkin akan menolak bergabung dalam koalisi yang dipimpinnya, apalagi memberinya kursi perdana menteri.
Dukungan bagi Populis Kanan Naik Pesat, Akankah Haluan Politik UE Berubah?
00:59
This browser does not support the video element.
Usulan suaka paling ketat di Eropa
Kisruh soal migrasi mencapai puncaknya ketika Wilders meluncurkan "rencana 10 poin" soal suaka yang disebut-sebut sebagai salah satu usulan paling ekstrem di Eropa. Di antaranya: pengerahan militer di perbatasan nasional, penghentian total penyediaan tempat tinggal bagi pengungsi, penangguhan sementara reunifikasi keluarga bagi pencari suaka yang telah mendapat status perlindungan, serta pemulangan paksa pengungsi Suriah ke tanah air mereka meski ada risiko penganiayaan.
Penolakan mitra koalisi terhadap proposal tersebut langsung disambut dengan keluarnya para menteri PVV dari kabinet.
"Rencana itu sangat bermasalah karena melanggar sejumlah hukum Uni Eropa dan ketentuan hukum internasional, khususnya hak atas suaka,” ujar Davide Colombi, peneliti urusan hukum dan keadilan di Centre for European Policy Studies (CEPS).
Menurutnya, isu migrasi dan suaka kini sering dijadikan alat politik di Eropa. "Ada kecenderungan yang mengkhawatirkan untuk menormalisasi usulan kebijakan yang tidak sah, seolah-olah isu imigrasi berada di luar ranah hukum,” katanya kepada DW.
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Retak sayap kanan Eropa
Kubu sayap kanan Eropa yang dulu tampak solid kini mulai terpecah, tapi bukan karena perbedaan ideologis, melainkan karena tekanan demokrasi.
Marine Le Pen di Prancis, misalnya, dilarang mencalonkan diri pada Pilpres 2027 karena dugaan penyelewengan dana Uni Eropa. Di Italia, pemerintahan Giorgia Meloni menghadapi tantangan besar karena kebijakan migrasinya diganjal oleh pengadilan dalam negeri.
"Di Swedia dan Denmark, kubu populis kanan berhasil memengaruhi kebijakan, tapi Belanda tidak punya tradisi pemerintahan minoritas,” jelas Cleppe. "Wilders seharusnya lebih siap menghadapi realitas pemerintahan dengan menarik tokoh-tokoh arus utama ke dalam gerakan politiknya.”
Namun sejauh ini, Wilders tampak tetap percaya diri. Dia justru menggandakan kampanyenya dengan menjual agenda anti-imigrasi ke publik, alih-alih menempuh jalan kompromi atau membangun jembatan politik ke partai lain
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris