1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanAfrika

Gelombang Ketiga Corona dengan Brutal Hantam Afrika

25 Juni 2021

Pandemi COVID-19 kembali melanda Afrika dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Sementara puncak kasus infeksi baru COVID-19 di benua ini diperkirakan akan terjadi dalam waktu sekitar tiga minggu.

Vaksin COVID-19 dari skema Covax tiba di Madagaskar, Sabtu 8 Mei 2021
Vaksin COVID-19 dari skema Covax tiba di Madagaskar, Sabtu 8 Mei 2021Foto: Alexander Joe/AP Photo/picture alliance

Benua Afrika saat ini juga tengah menghadapi keganasan wabah corona. Pasien-pasien memenuhi rumah sakit dan tingginya angka kematian telah mendorong fasilitas kesehatan benua itu ke ambang kolaps, sementara upaya vaksinasi masih jauh tertinggal di belakang.

Sebelumnya, negara-negara di benua Afrika berhasil terhindar dari bencana wabah dengan skala seperti Brasil atau India. Tetapi pandemi ini muncul kembali pada tingkat yang mengkhawatirkan di setidaknya 12 negara. Sementara kasus-kasus infeksi baru COVID-19 di benua ini diperkirakan akan mencapai rekor puncak dalam waktu sekitar tiga minggu.

"Brutal dan sangat menghancurkan"

Secara keseluruhan, infeksi virus corona yang dikonfirmasi di Afrika berada di bawah 5,3 juta kasus dan sekitar 139.000 kematian di antara hampir 1,3 miliar penduduk. Dengan demikian Afrika masih termasuk benua yang paling sedikit terkena dampak di dunia setelah Oseania, demikian menurut penghitungan kantor berita AFP.

Akan tetapi, "Gelombang ketiga bertambah cepat, menyebar lebih cepat, menghantam lebih keras," demikian Direktur Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk Afrika, Matshidiso Moeti, memperingatkan, pada hari Kamis (24/06). "Lonjakan kasus terbaru bisa jadi yang terburuk di Afrika."

Sementara Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Afrika (CDC Afrika), John Nkengasong, pada hari Kamis menggambarkan gelombang ketiga sebagai sesuatu yang "sangat brutal" dan "sangat menghancurkan".

Presiden Liberia, George Weah, juga telah memperingatkan gelombang ini akan "jauh lebih mengkhawatirkan daripada setahun yang lalu" ketika rumah sakit di negaranya kewalahan menerima pasien.

Ledakan gelombang ketiga di Afrika ini adalah kombinasi dari berbagai faktor penyebab termasuk hambatan imunisasi, penyebaran varian virus yang lebih menular, dan rendahnya suhu di belahan Bumi selatan yang memasuki musim dingin.

Varian Delta yang pertama kali terdeteksi di India, sejauh ini telah dilaporkan di 14 negara Afrika. Varian Delta ini adalah sebagian besar kasus baru di Republik Demokratik Kongo dan Uganda, menurut WHO.

Di Afrika Selatan yang menyumbang lebih dari 35% dari semua kasus yang tercatat di benua itu, para dokternya kini sedang berjuang menghadapi derasnya arus masuk pasien yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Grafik kasus infeksi baru COVID-19 di Afrika hingga 36 Juni 2021

Tidak seperti gelombang sebelumnya, kali ini "sistem rumah sakit tidak dapat mengatasinya," kata kepala asosiasi dokter Angelique Coetzee. Rata-rata infeksi harian baru di Afrika Selatan telah meningkat 15 kali lipat sejak awal April, dengan penerimaan pasien di rumah sakit meningkat sekitar 60 persen.

Di Namibia dan Zambia kurva infeksi juga meningkat curam. Kementerian Kesehatan Zambia telah melaporkan jumlah kematian COVID-19 yang "belum pernah terjadi sebelumnya" yang menumpuk di kamar mayat sementara CDC Afrika mengatakan negara itu "kewalahan".

Dengan tren serupa di Uganda, Menteri Kesehatan Jane Ruth Acheng mengatakan varian yang sangat menular bertanggung jawab atas penyebaran ini. Ia mengatakan bahwa kini sejumlah besar anak muda juga dirawat di rumah sakit.

Uganda adalah salah satu negara yang dilaporkan menghadapi kekurangan oksigen. Meski demikian Acheng membantah klaim sebuah kelompok masyarakat sipil yang mengatakan bahwa bahwa kekurangan oksigen di negara itu mencapai 24,5 juta liter per hari.

Kembali perketat perbatasan

Pemerintah negara-negara di benua itu kembali memperketat pembatasan, termasuk penguncian (lockdown) skala nasional di Uganda dan jam malam yang lebih ketat di 13 wilayah di Kenya.

Pada saat yang sama, benua itu juga tengah berjuang untuk mempercepat laju vaksinasi kepada penduduknya. Menurut WHO, hanya sekitar satu persen dari populasi di Afrika yang telah sepenuhnya mendapatkan vaksinasi. Ini adalah rasio terendah di dunia.

"Kami berpacu di belakang waktu, pandemi ada di depan kami. Di Afrika, kami tidak menang dalam pertempuran melawan virus ini," kata Nkengasong dari CDC Afrika. "Menakutkan apa yang terjadi di benua ini," tambahnya. 

Sementara janji para pemimpin Barat untuk menyumbangkan satu miliar dosis vaksin ke negara-negara miskin telah banyak dikritik karena terlalu lambat. Kasusnya sudah melebihi tingkat vaksinasi, kata Moeti. "Afrika sangat membutuhkan satu juta vaksin lagi. Kami butuh kecepatan.”

Vaksin kedaluwarsa dan terpaksa dihancurkan

Beberapa negara juga gagal memberikan vaksin dari skema Covax yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelum tanggal kedaluwarsa karena masalah logistik dan keraguan terhadap vaksin.

Bulan Mei lalu, Malawi terpaksa harus menghancurkan hampir 20.000 dosis AstraZeneca yang sudah kedaluwarsa, sementara Republik Kongo dan Sudan Selatan telah mengembalikan lebih dari dua juta dosis ke PBB untuk menghindari masalah serupa.

Pihak berwenang di Kongo-Brazzaville prihatin atas lambatnya penerimaan hampir 100.000 vaksin buatan Cina yang akan segera kedaluwarsa pada bulan Juli.

Lonjakan kasus virus corona di India yang merupakan pemasok utama AstraZeneca telah menunda pengiriman vaksin dalam skema Covax ke Afrika. Malawi kehabisan stoknya minggu lalu. Sementara ratusan warga Zimbabwe yang frustrasi pada bulan lalu melakukan protes setelah pusat vaksinasi di Harare kehabisan dosis.

Afrika Selatan mengatakan telah mendapatkan cukup dosis vaksin Johnson & Johnson dan Pfizer/BioNTech untuk mengimunisasi 67 persen dari 59 juta penduduknya. Tetapi hingga kini hanya 2,2 juta orang petugas kesehatan dan orang yang berusia di atas 60 tahun yang telah menerima suntikan.

"Tidak adanya vaksin di wilayah dengan tingkat kemiskinan dan ketidaksetaraan yang tinggi membuat banyak orang merasa mereka hanya menunggu mati,” kata Direktur Regional Amnesty International, Deprose Muchena.

ae/hp (AFP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait