1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Indonesia Diprediksi Alami Gelombang ke-3 COVID-19 Awal 2022

19 November 2021

Mobilisasi besar-besaran saat liburan Natal dan tahun baru pada akhir Desember diprediksi akan memicu gelombang ke-3 wabah corona di Indonesia di awal tahun 2022.

Mural pandemi corona di Jakarta
Mural pandemi corona di JakartaFoto: Donal Husni/ZUMAPRESS/picture alliance

Indonesia berpotensi mengalami gelombang ke-3 wabah COVID-19 pada awal tahun 2022, mengingat akan ada mobilisasi besar-besaran saat liburan Natal dan tahun baru di akhir Desember nanti. Demikian disampaikan Pakar Epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman.

Menurut Dicky, potensi gelombang ketiga pasti ada karena beberapa kombinasi penyebab di antaranya yaitu pelonggaran PPKM diiringi mobilitas tinggi masyarakat. "Setiap mobilisasi besar pasti akan mendatangkan risiko. Setiap tahun baru di level dunia pun pasti alami kenaikan. Bicara kapan akan ada kenaikan mungkin pada kuartal pertama tahun depan," kata Dicky kepada DW Indonesia di Jakarta, Kamis (18/11).

Sejumlah pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) telah diterapkan dalam beberapa minggu terakhir. Aturan perjalanan dipermudah dengan tidak mewajibkan tes PCR melainkan hanya antigen untuk perjalanan jauh.

Aturan karantina bagi pendatang dari luar negeri juga diperpendek dari yang sebelumnya 5 hari menjadi hanya 3 hari. Dibarengi pula dengan pembukaan tempat wisata, bioskop, dan mal dengan kapasitas hampir 100%. Terakhir, pada 14 Oktober, pemerintah juga memutuskan membuka kembali Pulau Bali bagi pengunjung dari beberapa negara.

Dicky Budiman mengatakan bahwa penyebab lain yang menyebabkan kasus naik adalah cakupan vaksinasi yang belum merata, ditambah adanya varian Delta yang akhirnya berkontribusi menimbulkan banyak klaster di beberapa daerah.

Waspada meski telah divaksin

Meski demikian, Dicky memperkirakan lonjakan kasus tak akan seburuk gelombang ke-2 yang terjadi Juni-Juli lalu karena sudah banyak masyarakat yang divaksinasi dan adanya mitigasi yang dilakukan pemerintah.

"Banyak juga orang yang sudah terinfeksi sehingga punya kekebalan tubuh sehingga risiko akan menurun, tingkat ancaman moderat. Sekarang juga ke mana-mana harus scan barcode. Itu yang membedakan situasi tahun baru 2021 dan 2022," katanya. 

Namun ancaman itu tetap ada, seperti juga beban yang tinggi terhadap fasilitas kesehatan dan tingkat kematian yang bisa meningkat tajam. Ditambah lagi, adanya sub-varian dari varian Delta yakni AY.4.2 yang menyerang beberapa negara tetangga dan Eropa.

Oleh karenanya, mitigasi antisipasi liburan Natal dan tahun baru harus dilakukan dari sekarang ini dan sifatnya konsisten, termasuk dengan strategi komunikasi kepada masyarakat. "Jangan hanya gembar-gemborkan keberhasilan tapi juga harus bangun kewaspadaan."

"Deteksi dini harus dilakukan dengan penguatan testing dan tracing. Sekarang saja testing menurun, surveillance genomic menurun. Itu artinya mitigasi belum kuat. Ketika ada pelonggaran PPKM maka harus dipastikan juga kesiapan pengelola tempat umum dan masyarakatnya," ujarnya.

Untuk mengantisipasi adanya lonjakan kasus, pemerintah telah menghapuskan cuti bersama pada 24 Desember 2021. Selain itu tingkat PPKM juga dinaikkan menjadi level 3 untuk semua wilayah pada akhir tahun.

Tingginya pengaduan masyarakat soal vaksin

Koordinator Advokasi LaporCovid-19, Firdaus Ferdiansyah, mencatat setidaknya ada 260 laporan warga dari Agustus - November 2021 yang mengeluhkan berbagai masalah program vaksinasi. Masalah yang diadukan antara lain vaksin habis di puskesmas, pendistribusian vaksin tidak merata, penyalahgunaan vaksin booster hingga kendala sertifikat.

Beberapa aduan juga terkait tidak adanya identitas KTP sehingga tidak bisa mendapatkan vaksinasi.

"Mereka mengeluhkan harus bolak-balik datang ke Puskesmas padahal rumahnya jauh di pelosok, ada juga NIK yang sudah terpakai, sampai nomor petugas medis yang tertera di kartu vaksin tidak bisa dihubungi sehingga mereka kesulitan untuk konsultasi saat mengalami efek samping yang berat," ungkap Firdaus Ferdiansyah.

Indonesia sempat menjadi negara terdampak paling parah COVID-19 di Asia Tenggara dengan jumlah kasus melebihi 4 juta orang terinfeksi dengan angka kematian 142.000.

Menyebarnya varian Delta di Indonesia sempat menempatkan Indonesia ke posisi terburuk pandemi dengan jumlah kematian mencapai 2.000 orang per hari dan kasus harian mencapai 52.000 kasus pada Juni-Juli 2021.

Namun jumlah tersebut kini telah menurun drastis. Berdasarkan data Satgas per Kamis (18/11) terdapat 400 kasus per harinya, dengan angka kematian 11 orang atau terendah untuk kali pertama sejak Juni 2020.

Jadikan budaya

Ketua Bidang Kesehatan dan Sosial PMI Pusat Fachmi Idris mengingatkan gelombang ketiga akan hadir selama masyarakat mulai abaikan protokol kesehatan. Ia menyarankan masker dan alat-alat protokol yang dikenakan diubah narasinya menjadi budaya baru.

"Jadi orang pakai masker itu fashion, kalau lupa hand sanitizer seperti lupa bawa HP, harus ada di tas dan menjadi kebiasaan yang membudaya, fashion-demic," kata Fachmi Idris.

Ia mengakui bahwa pemberian vaksin masih menemui kendala di beberapa wilayah. Kendala utamanya adalah hoaks dan berita black campaign soal vaksin seperti efek samping vaksin yang bisa mematikan. "Padahal 'kan ini tidak benar. … Kuncinya jangan pernah lelah untuk menjelaskan berita-berita tidak benar," kata dia.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan efek dari berita hoaks adalah banyak masyarakat yang tidak mau divaksin dengan jenis vaksin tertentu dengan alasan takut efek samping. Hal ini menyebabkan angka yang divaksin menurun drastis.

"Edukasi vaksin penting supaya masyarakat mau menerima semua jenis vaksin. Jangan pilih-pilih vaksin. Hal ini dilakukan untuk segera mencapai kekebalan kelompok. Manfaat perlindungan kepada orang lain bukan hanya kepada diri sendiri," jelas Siti Nadia Tarmizi.

Ia mengatakan, mobilitas jelang akhir tahun jangan dijadikan euforia yang berlebihan karena berdasarkan data varian Delta masih mendominasi.

Indonesia masuk ke dalam peringkat ke-5 jumlah penduduk terbanyak divaksin setelah Brasil, Cina, India, dan Amerika Serikat. Indonesia menargetkan 70% penduduk atau sebanyak 208 juta penduduknya agar divaksin guna membentuk kekebalan kelompok.

Sejauh ini, sekitar 132 juta orang telah menerima vaksinasi dosis satu di Indonesia, 86 juta di antaranya sudah mendapat dosis lengkap. Sementara hampir 1,2 juta disuntik booster atau dosis ketiga. (ae)

Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.