Krisis ekonomi, keamanan, dan kemerosotan demokrasi tidak cuma memperlambat solusi iklim, tetapi juga mengancam tenun sosial di banyak negara. Kesimpulan tersebut diungkapkan dalam sebuah riset oleh Forum Ekonomi Dunia.
Iklan
Ketika Forum Ekonomi Dunia (WEF) mewanti-wanti terhadap merosotnya kepercayaan publik kepada penyelenggara negara, Uni Emirat Arab justru menunjuk seorang pengusaha minyak sebagai direktur KTT Iklim COP28 tahun ini.
Penunjukkan Direktur Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC), Sultan al-Jaber, pada Kamis (12/01), sontak mendulang kritik. Teresa Anderson dari organisasi iklim ActionAid misalnya, mengatakan "pemilihannya serupa menempatkan rubah untuk menjaga kandang ayam.”
Al-Jaber, yang berjanji akan bersikap "pragmatis” bertugas menyeimbangkan kepentingan banyak negara demi dekarbonisasi ekonomi. "Utusan khusus Iklim UEA itu bakal menghadapi dilema, antara mendorong kepentingan industri minyak dan impelentasi solusi iklim," kata Rachel Kyte, pakar iklim di Tufts University, Amerika Serikat.
Penujukkan al-Jaber dilakukan ketika solusi iklim kian menjauh, lapor Forum Ekonomi Dunia. Invasi Rusia ke Ukraina, krisis energi dan inflasi, serta membengkaknya utang di banyak negara berpotensi memperlambat penanggulangan krisis iklim di dunia.
Tahun 2022: Krisis Iklim Melanda Seluruh Dunia
Tahun 2022 seluruh dunia dilanda cuaca panas yang ekstrem, kekeringan, kebakaran, badai dan banjir yang terkait dengan perubahan iklim. Berikut sejumlah peristiwa cuaca yang terjadi tahun 2022.
Foto: Peter Dejong/AP Photo/picture alliance
Eropa: Lebih panas dan lebih kering dari sebelumnya
Musim panas di Eropa ditandai cuaca panas ekstrem dan kekeringan terburuk dalam 500 tahun. Lebih 500 orang tewas akibat gelombang panas di Spanyol, dengan suhu hingga 45 derajat Celsius. Di Inggris, cuaca panas juga mencapai lebih 40 derajat Celsius. Sebagian benua Eropa jadi wilayah paling kering selama lebih dari satu milenium, sehingga banyak daerah terpaksa menjatah air.
Foto: Thomas Coex/AFP
Kebakaran hutan melanda seluruh Eropa
Mulai dari Portugal, Spanyol, Prancis, Italia, Yunani, Siprus, hingga Siberia, dilanda kebakaran hutan. Bencana itu telah menghanguskan 660.000 hektar lahan pada pertengahan tahun 2022 — kebakaran terbesar sejak pencatatan iklim dimulai pada tahun 2006.
Hujan monsun yang ekstrem menenggelamkan sepertiga wilayah Pakistan. Banjir itu menewaskan lebih dari 1.100 orang, menyebabkan 33 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan memicu penyebaran penyakit. Hujan lebat juga melanda Afganistan. Banjir besar menghancurkan ribuan hektare lahan, memperburuk bencana kelaparan yang sudah akut di negara itu.
Foto: Stringer/REUTERS
Gelombang panas ekstrem dan topan terjang Asia
Sebelum dilanda banjir, Afganistan, Pakistan, dan India alami panas dan kekeringan ekstrem. Cina juga alami kekeringan terburuk dalam 60 tahun dan gelombang panas terburuk sejak pencatatan dimulai. Awal musim gugur, 12 topan telah mengamuk di seluruh Cina. Badai besar juga melanda Filipina, Jepang, Korea Selatan, dan Bangladesh. Perubahan iklim membuat Intensitas badai semakin kuat.
Foto: Mark Schiefelbein/AP Photo/picture alliance
Krisis iklim memperburuk kondisi Afrika
Afrika memanas lebih cepat dibanding rata-rata global. Itu sebabnya benua ini secara tidak proporsional dilanda perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir. Somalia sedang menghadapi kekeringan terparah dalam 40 tahun. Krisis itu telah memaksa lebih dari satu juta orang meninggalkan kawasan mereka.
Foto: ZOHRA BENSEMRA/REUTERS
Bencana kelaparan di Afrika
Banjir dan kekeringan telah membuat pertanian dan peternakan praktis tidak mungkin dilakukan di beberapa bagian Afrika. Akibatnya, 20 juta orang mengalami kelaparan. Banyak yang meninggal karena kelaparan di Etiopia, Somalia, dan Kenya.
Foto: Dong Jianghui/dpa/XinHua/picture alliance
Kebakaran dan banjir di Amerika Utara
Badai dahsyat menerjang sejumlah negara bagian AS, seperti California, Nevada, dan Arizona. Gelombang panas menghanguskan ketiga negara bagian dengan suhu mencapai lebih dari 40 derajat Celsius di akhir musim panas. Sebaliknya, hujan lebat di awal musim panas menyebabkan banjir parah di Taman Nasional Yellowstone dan di negara bagian Kentucky.
Foto: DAVID SWANSON/REUTERS
Badai menghancurkan Amerika
Pada September lalu, Badai Ian menghancurkan Florida. Otoritas setempat menggambarkan kerusakan itu sebagai "peristiwa bersejarah." Sebelumnya, badai itu melewati Kuba, di mana penduduknya hidup tanpa listrik selama berhari-hari. Badai Fiona juga menjadi topan tropis terburuk yang melanda Kanada setelah pertama kali menghantam Amerika Latin dan Karibia, mengakibatkan kerusakan parah.
Foto: Giorgio Viera/AFP/Getty Images
Badai tropis dahsyat landa Amerika Tengah
Badai Fiona bukan satu-satunya badai yang melanda Amerika Tengah. Pada Oktober lalu, Badai Julia menghantam Kolombia, Venezuela, Nikaragua, Honduras, dan El Salvador, menyebabkan kehancuran yang meluas. Pemanasan global meningkatkan suhu permukaan laut yang memperkuat intensitas badai.
Foto: Matias Delacroix/AP Photo/picture alliance
Kekeringan ekstrem di Amerika Selatan
Kekeringan yang terus-menerus melanda hampir seluruh Amerika Selatan. Cile, mengalami merosotnya curah hujan ekstrem sejak 2007. Di banyak daerah, sungai-sungai menyusut antara 50 dan 90%. Meksiko juga hampir tidak pernah mengalami hujan selama beberapa tahun berturut-turut. Argentina, Brasil, Uruguay, Bolivia, Panama, sebagian Ekuador, dan Kolombia pun mengalami kekeringan.
Foto: IVAN ALVARADO/REUTERS
Selandia Baru dan Australia tenggelam
Curah hujan yang intens menyebabkan rangkaian banjir ekstrem di Australia. Antara Januari dan Maret, pantai timur negara itu menerima curah hujan sebanyak yang dialami Jerman dalam setahun. Selandia Baru tidak luput dari banjir. Fenomena cuaca La Nina berada di balik peristiwa ekstrem tersebut. Atmosfer yang lebih hangat menyerap lebih banyak air, membuat curah hujan lebih deras. (ha/as)
Foto: Jenny Evans/Getty Images
11 foto1 | 11
Glombang krisis
"Krisis yang datang bergelombang akan menciptakan situasi lingkungan yang sangat sulit bagi para pemimpin dunia,” kata Saadia Zahidi, Direktur WEF. Laporan tersebut dibuat menjelang Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pekan depan.
Iklan
"Di dalam lingkungan yang sangat rapuh ini, jika ada krisis tambahan, situasinya mungkin akan sulit dikelola,” imbuhnya.
Dalam risetnya, WEF melibatkan 1.200 pejabat pemerintah, pelaku usaha dan peneliti risiko. Mereka terutama mengkhawatirkan inflasi dan lonjakan biaya hidup akan menggeser solusi iklim sebagai prioritas, disusul bencana alam dan cuaca ekstrem.
"Kita belum berbuat banyak dalam menanggulangi krisis iklim,” ujarnya. "Sejujurnya saya tidak yakin situasinya akan berubah dalam waktu dekat. Kita sekarang hidup di dunia di mana kepentingan politik dan tuntutan sains berpisah jauh.”
Nanas Lampung: Contoh Konsep Ekonomi Sirkular di Indonesia
03:49
Autoritarianisme dan disinformasi
Dalam acara terpisah yang digelar Stockholm Environment Institute (SEI), Rabu (11/01), lingkar akademisi Eropa juga memperingatkan hal serupa. Robert Watt dari SEI meyakini solusi iklim akan sulit tercapai dengan meningkatnya "defisit demokrasi” di dunia.
"Riset ilmiah membenarkan kemunduran demokrasi di dunia, dengan sekitar 70 persen penduduk Bumi hidup di bawah sistem autoritarianisme," katanya.
Banyak negara demokratis yang bahkan saat ini berkembang menjadi lebih autokratis. Watt menambahkan, sebanyak 35 negara demokratis di dunia mencatat "kemunduran besar” dalam kebebasan berpendapat dan hak sipil.
Menurutnya, upaya memperkuat demokrasi di banyak negara terhambat oleh gelombang disinformasi atau kabar hoaks di media sosial. "Sebab itu, kerja sama dalam menanggulangi krisis iklim akan lebih sulit, jika masing-masing negara bisa mengarang faktanya sendiri,” pungkasnya.
Peringatan serupa diungkapkan Direktur WEF Zahidi yang menilai disinformasi hanya memperkuat polarisasi sosial, yakni ketika dua masalah "saling melengkapi satu sama lain dan menciptakan krisis baru.”
Kegentingan yang disuarakan WEF setidaknya diakui Sultan al-Jaber, Direktur KTT Iklim COP28 di Abu Dhabi. "Tahun ini akan menjadi tahun kritis di dalam dekade yang kritis bagi solusi iklim,” kata dia kepada kantor berita UEA, WAM.
Al-Jaber berjanji akan memperjuangkan "agenda inklusif” yang menjamin "pendanaan iklim yang terjangkau dan substansial” bagi negara yang paling rentan oleh bencana iklim.