Bencana gelombang panas membersitkan ancaman kelangkaan pangan di Bangladesh. Suhu yang tinggi berpadu dengan tingkat kelembapan yang rendah dan melumat sawah petani, serta menghancurkan hasil panen.
Iklan
Di atas lahan sawahnya di timur laut Bangladesh, Shafiqul Islam Talukder berdiri menggenggam setangkai padi yang meranggas hanya menyisakan sekam, tanpa biji.
Petaka datang April silam, ketika gelombang panas menyapu Bangladesh selama dua hari berturut-turut. Hasil panen yang seharusnya menafkahi keluarga Shafiq hingga penghujung tahun, lenyap dalam sekejap, ratap petani berusa 45 tahun itu.
"Mimpi saya memanen sudah sirna,” kata dia. "Saya tidak tahu lagi bagaimana bisa membiayai keluarga untuk tahun ini. Saya menginvestasikan semua tabungan untuk menanami lima hektar sawah dengan bibit unggul. Sekarang semuanya berakhir,” imbuhnya dengan mata berkaca-kaca.
Gelombang panas yang memadukan suhu tinggi dengan tingkat kelembapan dan curah hujan yang rendah, menghancurkan ribuan hektar sawah di lumbung padi Bangladesh. Lebih dari 36 distrik terdampak ketika suhu menyentuh angka 36 derajat Celcius selama dua hari di bulan April, menurut Institut Penelitian Padi Bangladesh (BRRI).
Bangladesh Diterjang Dampak Perubahan Iklim
06:52
Suhu rata-rata di Bangladesh pada bulan April biasanya tidak lebih dari 33 derajat Celcius. Data resmi menunjukkan sekitar 68.000 hektar sawah hancur atau berada dalam kondisi rusak. Lebih dari 300.000 petani dikabarkan ikut terdampak.
Negeri seribu sungai itu tergolong rajin disambangi bencana alam seperti banjir, kekeringan atau badai. Tapi gelombang panas merupakan hal baru, kata Entomolog BRRI, Nazmul Bari. "Kami belum pernah mencatat syok semacam ini sebelumnya,” kata dia.
"Suhunya meningkat dari hari ke hari dan tidak ada hujan. Jadi kelembapan di udara sangat rendah. Inilah penyebab gelombang panas ekstrem ini.”
Iklan
Ketahanan pangan terancam
Romij Uddin, Guru Besar Agronomi di Universitas Pertanian Bangladesh, menjelaskan tanaman padi sangat rentan terhadap gelombang panas. Suhu ekstrem yang melanda di bulan April misalnya mengganggu musim penyerbukan, dan siklus alami reproduksi padi.
"Suhu sangat krusial bagi proses penyerbukan dan temperatur yang tinggi pada fase ini bisa memicu ketidaksuburuan,” kata dia.
Saat ini sepertiga dari 160 juta penduduk Bangladesh dikategorikan mengalami kerentanan pangan. Artinya mereka tidak bisa menjamin pola makan bernutrisi atau makan makanan yang aman untuk dikonsumsi, menurut Program Pangan PBB.
Kekeringan Melanda Dunia
Kekeringan mengubah banyak wilayah dunia menjadi lahan kritis yang kering. Gelombang panas menelan korban jiwa, merusak tanaman dan meyebabkan krisis air. Efeknya dirasakan dari Amerika Selatan sampai ke lingkar kutub.
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Tanah kering di Australia
Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull mengatakan, negaranya sekarang menjadi "tanah kering". Terutama di negara bagian New South Wales, yang memproduksi seperempat hasil pertanian negara itu, dilanda kekeringan parah. Baru-baru ini Australia meloloskan undang-undang untuk mengucurkan bantuan senilai ratusan juta dolar kepada petani, termasuk dana untuk dukungan kesehatan mental.
Foto: Getty Images/B. Mitchell
Ethiopia: Berakhirnya kehidupan nomaden?
Ethiopia menderita kondisi kekeringan sejak 2015, yang menyebabkan kekurangan pangan di mana-mana. Pemerintah Ethiopia mengatakan, sekitar 8,5 juta warga membutuhkan bantuan pangan darurat pada tahun 2017 dan hampir 400.000 bayi menderita kekurangan gizi akut. Kekeringan mengancam berakhirnya penggembalaan nomaden tradisional di wilayah tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Meseret
India: Krisis air
India dilanda kekuarangan air antara lain karena meningkatnya populasi dan salah urus, namun juga diperparah oleh kekeringan. Banyak daerah di negara itu kehabisan air. Bangalore baru-baru ini ditambahkan ke daftar kota-kota global yang kemungkinan besar akan kehabisan air minum. Kota-kota lain dalam daftar termasuk Cape Town, Afrika Selatan; Jakarta, Indonesia dan Sao Paolo, Brasil.
Panas terik di Eropa diperparah dengan minimnya curah hujan. Tidak hanya warga yang merasakan akibatnya, melainkan juga tanaman. Petani di seluruh dunia khawatir panen akan gagal. Pusat Penelitian Gabungan Uni Eropa memperkirakan akan terjadi "peningkatan frekuensi dan intensitas kekeringan di masa depan."
Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul
Yunani: Banjir dan kekeringan
Yunani telah menghadapi masalah ganda: banjir bandang di beberapa daerah dan kekeringan di daerah lain. Petani Kreta mengatakan mereka bisa kehilangan hingga 40 persen panen mereka tahun ini karena musim dingin yang sangat kering. Meskipun mereka menyiram, mereka mengatakan itu tidak cukup untuk menyuburkan tanaman.
Swedia, yang tidak melihat hujan selama lebih dari tiga bulan, mengalami kekeringan terburuknya sejak 1944. Situasi ini bisa menyebabkan kerugian panen yang parah yang bakal merugikan petani. Selain itu, Swedia mengalami kebakaran hutan besar-besaran. Suhu 30 derajat Celsius bahkan dialami di lingkar kutub.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/M. Fludra
Amerika Serikat: Hampir 20 persen wilayah dilanda kekeringan
Pemerintah AS mengatakan, 29 persen wilayah negara itu saat ini mengalami kekeringan, dengan kondisi yang mempengaruhi kehidupan sekitar 75 juta orang. Meskipun kebakaran hutan di California terutama menjadi sorotan dunia, kawasan pertanian, seperti Kansas, juga sangat menderita. Kansas adalah salah satu negara yang pernah dilumpuhkan oleh Dust Bowl tahun 1930-an. (Teks: Jon Shelton/hp/yf)
Foto: picture-alliance/Everett Collection
7 foto1 | 7
Saleemul Huq, Direktur Pusat Perubahan Iklim dan Pembangunan Internasional di Dhaka, memprediksi jika insiden gelombang panas terus terjadi, tahun ini Bangladesh akan kehilangan 20% panen padi. "Kita harus mewaspadai gelombang panas,” katanya.
Huq dan pakar pertanian lain mengimbau pemerintah memastikan pasokan air irigasi bagi pertanian, dan agar petani menggunakan bibit padi yang tahan panas.
Sazzadur Rahman, Direktur Fisiologi di BRRI, mengatakan pihaknya sedang mengembangkan padi varietas baru yang lebih kebal cuaca ekstrem. Menurutnya sejauh ini hasil penelitian bersifat menjanjikan.
"Padinya berkembang baik dan cepat. Varietas yang kami kembangkan akan mampu mentolelir suhu hingga 38 derajat Celcius,” kata dia. "Gelombang panas akan mengancam ketahanan pangan, dan kita harus berusaha mencegah bencana ini.”