Aksi Protes Sambut Pertemuan Trump dan Putin di Helsinki
21 Juli 2018
Presiden AS Donald Trump dan Pimpinan Rusia Vladimir Putin hari Senin (16/7) bertemu di ibukota Finlandia, Helsinki. Pertemuan itu dibayangi aksi protes warga dan tuduhan spionase Rusia di pemilu AS.
Iklan
Pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin dibayangi penyelidikan di Washington terhadap 12 agen Rusia yang minggu lalu dituduh berusaha mencampuri pemilihan presiden di AS dengan upaya meretas jaringan komputer penting. Trump menyebut penyelidikan itu sebagai upaya "sabotase" dari sebagian anggota Kongres AS yang tidak senang dengan pertemuan di Helsinki.
Kunjungan Donald Trump ke Helsinki juga mengundang protes warga dan aktivis hak asasi, seperti yang dialaminya dalam kunjungan ke Inggris dan Irlandia minggu lalu.
Hanya berjarak dua blok dari lokasi pertemuan tingkat tinggi Donald Trump dan Vladimir Putin, digelar aksi protes dan konser band dengan motto "We Really Do Care". Organisasi hak asasi Amnesty International memasang spanduk besar dan poster-poster dengan motto "Make Human Rights Great Again" (Jadikan Hak Asasi Manusia Besar Lagi)." Poster yang menyindir slogan kampanye Trump "Make America Great Again" itu disebar di seluruh kota.
Meredakan ketegangan
Ellis Saavalainen, seorang warga Finlandia-Amerika berusia 20 tahun, mengatakan dia turun ke jalan untuk memrotes kebijakan imigrasi Trump dan "cara dia memperlakukan negara lain." Dia mengaku prihatin dengan ketegangan politik dan dagang yang meningkat secara global karena kebijakan. "Ketegangan ini tidak baik untuk komunitas global," katanya.
Warga Finlandia lain, Jaana Mikkila mengatakan, dia berharap pertemuan Trump dan Putin bisa mengurangi ketegangan itu. Tapi dia tidak yakin, itu akan terjadi tapi tetap berharap "mereka semoga akan mengambil keputusan yang baik setelah diskusi serius," katanya.
Sanna Leino khawatir Donald Trump terlalau mementingkan kepentingan AS dan melupakan negara-negara Baltik. "Mungkin Trump akan menyerahkan negara-negara Baltik (kepada Rusia)!" katanya. Tapi pertemuan kedua pemimpin itu adalah "promosi yang luar biasa untuk Finlandia," kata Leino.
Helsinki dan diplomasi perdamaian
Helsinki memang dikenal sebagai kota diplomasi internasional. Tahun 1975, Presiden AS Gerald Ford dan pimpinan Rusia Leonid Brezhnev bertemu di sini. Tahun 1990, Presiden George Bush melakukan pertemuan dengan Mikhail Gorbachev dan tahun 1997 Presiden Bill Clinton bersalaman dengan pemimpin baru Rusia Boris Yeltsin.
Finlandia yang punya perbatasan sepanjang 1.340 kilometer dengan Rusia memang sejak lama berperan penting dalam diplomasi tingkat tinggi, terutama dalam keseimbangan kepentingan antara Barat-Timur dan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik.
Januari 2005, kota Helsinki juga menjadi lokasi perundingan putaran pertama antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perjanjian damai akhirnya ditandatangan di Helsinki tanggal 15 Agustus 2005. Indonesia ketika itu diwakili Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, sedangkan pihak GAM mengutus Malik Mahmud Al Haytar untuk menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) yang menjadi dasar proses perdamaian di Aceh.
Dosa Tentara di Serambi Mekah
Bertahun-tahun rakyat Aceh menanggung kebiadaban TNI selama operasi militer menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Serupa kasus 65, darah yang membalur Serambi Mekah adalah dosa yang selamanya menghantui militer Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
Perintah dari Istana
Pada 19 Mei 2003, pemerintahan Megawati melancarkan operasi militer di Aceh dengan mengirimkan lebih dari 30.000 serdadu dan 12.000 polisi. Sebelumnya Gerakan Aceh Merdeka menolak status otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. Perang yang dikobarkan Megawati berlangsung selama setahun.
Foto: Getty Images/AFP/Raka
Senjata Gelap TNI
GAM sudah berperang demi kemerdekaan Aceh sejak tahun 1976. Kegigihan gerakan separatis itu menyulut perang berkepanjangan dengan TNI. Ironisnya GAM banyak membeli senjata secara gelap dari TNI. Tahun 2000 silam Polda Metro Jaya menggerebek sebuah rumah dan menemukan bukti pembelian senjata TNI oleh GAM dengan nilai sebesar tiga miliar Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Berpaling Simpati
Perang pemberontakan Aceh 1990-1998 termasuk yang paling rentan pelanggaran HAM. Selama delapan tahun sekitar 12.000 nyawa menghilang, kebanyakan adalah warga sipil Aceh. Kebiadaban TNI selama itu diyakini justru menambah simpati rakyat Aceh terhadap gerakan separatis.
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Kejahatan Demi NKRI?
Tahun 2013 silam Komnas HAM menyelidiki lima kasus kejahatan perang selama DOM 1990-1998, yakni tempat penyiksaan Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian massal di Bumi Flora, Aceh Timur dan Simpang KKA di Aceh Utara, serta kasus penghilangan paksa dan kuburan massal di Bener Meriah.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Intimidasi Demi Informasi
TNI berikrar akan lebih hati-hati selama operasi militer di Aceh 2003. Tapi serupa di Timor Leste, tentara dilaporkan sering mengintimidasi penduduk desa untuk mengungkap tempat persembunyian pemberontak. Human Rights Watch mencatat berbagai kasus penculikan dan penganiayaan anggota keluarga terduga gerilayawan. Desember 2003 Polri memerintahkan "menembak mati" siapapun yang "membawa bendera GAM."
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Pondok Kelabu
Pada 17 Mei 2003 tiga truk tentara mendatangi desa Jambo Keupok, Aceh Selatan. Di sana mereka menginterogasi penduduk desa ihwal persembunyian GAM. Hasilnya 16 penduduk tewas. Sebagian ditembak, ada yang disiksa atau bahkan dibakar hidup-hidup, tulis Komisi untuk Orang Hilang, Kontras. Insiden tersebut kemudian dikenal dengan istilah Tragedi Jambo Keupok.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Media Propaganda
Berbeda dengan DOM 1990-1998, TNI menggandeng media untuk menguasai pemberitaan ihwal perang di Aceh. Wartawan misalnya dilarang mengutip sumber dari GAM. "Saya berharap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Kalau saya terkesan keras, harap dimaklumi," tutur penguasa darurat militer Aceh saat itu, Mayjen Endang Suwarya.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Adu Klaim Soal Korban
Selama satu tahun antara Mei 2003 hingga 2004, sebanyak 2000 orang tewas dalam pertempuran. TNI mengklaim semuanya adalah gerilayawan GAM. Namun berbagai LSM dan termasuk Komnas HAM membantah klaim tersebut. Sebagian besar korban ternyata warga sipil biasa.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Pagar Manusia
Salah satu strategi TNI adalah membangun "pagar betis" yang terdiri dari warga sipil. Mereka diperintahkan untuk menyisir sebuah kawasan yang diduga dijadikan tempat persembunyian GAM. Dengan cara itu, TNI berharap GAM tidak akan menembak dan mau keluar dari sarangnya. Strategi serupa sering diterapkan saat Operasi Seroja di Timor Leste.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Tanpa Keadilan
Berbagai penyelidikan yang dilakukan LSM Kemanusiaan dan Komnas HAM terkait kejahatan perang di Aceh gagal membuahkan keadilan buat korban. Hingga kini sebagian rakyat Aceh masih hidup dengan trauma perang.